"Pak Salim" di Kairo
Bagikan

"Pak Salim" di Kairo

Selama menginap lebih kurang empat bulan di hotel tempat pertemuan golongan bunga dan cendekiawan Mesir itu, Pak Salim, yang benar-benar ‘encyclopaedia’ hidup, lincah dan penuh humor itu telah dapat memikat semua kelompok yang menghubunginya, ..

Selama menginap lebih kurang empat bulan di hotel tempat pertemuan golongan bunga dan cendekiawan Mesir itu, Pak Salim, yang benar-benar ‘encyclopaedia’ hidup, lincah dan penuh humor itu telah dapat memikat semua kelompok yang menghubunginya, sehingga dari tiap-tiap kelompok itu beliau mendapat ‘gelar’ pengaguman. Kelompok politikus menamakannya ‘siasi mumtaz’ (politikus istimewa), golongan cendekiawan menyebutnya ‘failosof’ (filosof), dan kalangan wartawan memanggilnya ‘sahafi labiq’ (wartawan gelir, licik) dan kadang-kadang menamainya juga ‘ifrit’ (syaitan), dengan arti mewalahkan, tetapi tetap disukai, karena humornya yang penuh sindiran. Seorang pemimpin partai politik pernah mengatakan bahwa Indonesia sangat beruntung mempunyai seorang diplomat yang demikian lincah dan cepat membaca apa yang tersembunyi dalam kepala orang lain, di saat menghadapi perkembangan sejarahnya yang menentukan itu. Duta Besar Lebanon, Abu Ezzeddin, menyatakan bahwa seorang seperti Pak Salim itu, sekiranya terdapat di tengah-tengah masyarakat Barat, tidak akan kalah kesohorannya daripada filsuf terkenal itu, Bernard Shaw.

Di Mesir ketika itu pula Pak Salim telah tiga kali menyampaikan ceramah di hadapan para cendekiawan Mesir. Pada tiap-tiap ceramah beliau mempergunakan bahasa yang berlain-lainan. Bahasa Perancis di Institut Geografi Kerajaan, bahasa Inggris di Aula Universitas Fouad I (Sekarang Universitas Kairo) dan bahasa Arab di Gedung Persatuan Mesir.

Di tempat terakhir ini beliau membuat suatu ‘surprise’ yang mengagumkan. Pada mulanya seorang pun tidak mengira bahwa beliau akan berpidato dalam bahasa Arab, karena dari permulaan pertemuannya dengan para wartawan Mesir dan Arab itu, beliau memberi penerangan mengenai Indonesia ataupun menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam bahasa Indonesia dan saya sendiri ditugaskan menerjemahkan langsung.

Selepas memberikan penerangan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu beliau dan semua hadirin pindah ke ruangan besar untuk menikmati jamuan besar yang disediakan Persatuan Wartawan Mesir itu guna menghormati beliau. Sebelum jamuan dimulai, Ketua Persatuan itu, Hafiz Mahmud, mengucapkan kata-kata ‘welcome’, persahabatan dan persaudaraan Islam yang ikhlas dan akrab, dan dijawab oleh Pak Salim dengan irama yang serupa, serta berterima kasih atas sokongan mass-media Mesir khususnya dan negara-negara Timur Tengah umumnya. Dalam hal ini saya seperti sebelumnya —telah bersiap-siap untuk menerjemahkannya. Tetapi diiringi ngangaan hadirin yang terpesona, —termasuk saya sendiri yang tidak diberi tahu terlebih dahulu— beliau langsung berbicara dalam bahasa Arab yang fasih, dengan kata-kata halus yang terpilih dan susunan (style) yang bermutu tinggi... Dapat kiranya dikira-kirakan bagaimana gemuruh tepuk tangan hadirin sehabis beliau mengucapkan sepatah-katanya itu sebagai penghargaan dan pernyataan kekaguman (i’jaab). Masih segar dalam ingatan saya pemandangan Hafiz Mahmud, Ketua Persatuan Wartawan itu, buru-buru menjabat tangan Pak Salim dengan semesra-mesranya.

Sebagai seorang yang luar biasa, Pak Salim mempunyai hal-hal yang ‘luar biasa’ pula. Suatu malam, sebelum beliau berkeliling ke negara-negara Arab menjalankan tugas delegasi R.I., beliau diundang makan malam oleh Muhammad Ali Taher, Pemimpin Palestina yang sangat simpati kepadanya dan Indonesia. Pada malam itu turut diundang beberapa Pemimpin Mesir, Arab dan Islam yang berada di Kairo, guna menghormati beliau. Baru saja selesai makan dan orang-orang masih saja siap-siap akan ‘ngobrol’ sambil minum kopi, serta merta beliau berdiri dan terus berjalan menuju pintu ‘lift’, tanpa mengucapkan sepatah pun ‘kalam’ atau ‘salam’ kepada hadirin yang kelihatannya ternganga-nganga, tercengang-cengang.

Saya dan H.M. Rasjidi segera mengejar beliau yang telah hendak melangkahkan kakinya ke dalam lift itu dan menanyakan apa yang terjadi. Sambil merengut beliau menjawab “Gila orang-orang itu, sudah tahu saya akan berangkat besok, masih juga diundang makan!” Sungguh berat bagi kami menghadapi orang-orang besar itu, yang mungkin merasa diremehkan, sekalipun mereka tetap tersenyum memberi maaf yang kami minta. Adapun Pak Salim, beliau terus saja turun tanpa menoleh pun ke belakang ....

Suatu malam lagi, selagi kami duduk di beranda atas Continental Hotel menikmati cahaya bulan yang keperak-perakan itu, sambil bergurau sekadarnya, tiba-tiba Pak Salim menyanyikan lagu perjuangan dengan suara lantang yang memecah keheningan itu. Kami yang hadir berdiam seperti terpukau. Lebih sunyinya lagi ketika melihat Pak Salim berdiam dan kemudian menangis tersedu-sedu, seperti hendak melepaskan segala sesak dada yang menekan dirinya.... Seorang pun tidak berani bertanya ataupun memulai bersuara. Kesunyian itu dipecahkan lagi oleh Pak Salim sendiri yang berkata: “Lagu itulah yang dinyanyikan anak saya, ketika pelor Belanda menembus dadanya.” Kemudian beliau pun berhenti sejurus dan kami pun tak ada yang berkutik. Beliau menghalau lagi keheningan itu dengan menunjuk baju seragam yang selalu dipakainya sehari-hari, sambil bercerita: “Baju inilah yang dipakainya ketika ia jatuh menjadi syahid.” Kelihatannya kalimat ‘syahid’ menjadi penawar yang ampuh bagi hatinya yang luka dan duka itu.

Diolah dari buku: M. Zein Hassan Lc.Lt, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Penerbit Bulan Bintang, 1980. halaman 204-210