Saya tidak pernah bermimpi, menyangka, apa lagi merencanakan pergi ke Israel, negara yang hingga saat ini tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia. Maka ketika menerima undangan ke sana, saya pun sempat bimbang, bekali-kali menimbang dan memperhitungkan baik dan buruknya. Beberapa sahabat dekat yang saya mintai pendapat tidak sekata. Sebagian mendorong, sebagian mencegah, dengan berbagai alasan tentunya. Namun, setelah berdoa istikharah, akhirnya saya putuskan jua untuk berangkat. Urusan visa tidak mudah. Saya terpaksa pergi ke Berlin dan langsung datang ke kedutaan mereka untuk mendapatkannya.
Penerbangan saya dari Frankfurt ke Tel Aviv melalui Istambul. Suana “angker†bermula saat antre menuju boarding di lapangan terbang Istanbul. Di samping pemeriksaan keamanan yang lazim, setiap penumpang “diinterogasi†oleh para petugas berpakaian preman selama 15 hingga 30 menit. Yang ditanyakan macam-macam: Siapa nama Anda? Apa pekerjaan Anda? Asal dari mana? Tinggal di mana? Mau apa ke Israel? Siapa yang akan Anda temui di sana? Mengapa berangkat sekarang? Dan, banyak lagi.
Mereka tidak peduli meskipun Anda sudah mengantongi visa. Tentu saja, itu hak mereka dan risiko Anda yang mau ke Israel. Hal lain yang juga di luar kebiasaan saya temui ketika berada di dalam pesawat: peralatan makan, seperti sendok, garpu, dan pisau semuanya terbuat dari plastik. “Kami dilarang menyediakan barang-barang yang terbuat dari logamâ€, demikian keterangan yang tertera di atas secarik kertas yang diselipkan pada nampan hidangan.
Pesawat tiba di Bandara Internasional Ben Gurion, Tel Aviv, lepas tengah malam. Pemeriksaan paspor oleh imigrasi memakan waktu hampir dua jam. Syukurlah sopir taksi yang ditugaskan menjemput saya, seorang keturunan Yahudi asal Irak, masih sabar menunggu. Hujan gerimis di luar mengiringi perjalanan kami menuju Sheraton Moriah di tepi pantai Laut Tengah (Mediterrania).
Esok paginya, setelah sarapan, sebuah minibus membawa kami ke Bar Ilan University yang terletak di Ramat Gan, sebuah kota satelit terbesar di kawasan metropolis Tel Aviv-Yafo. Di sanalah pertemuan ilmiah itu digelar: “Post-Avicennian Science and Philosophy Conferenceâ€, di mana diperbincangkan sejarah dan perkembangan sains serta filsafat Islam pascaera Ibn Sina (w. 428/1037). Para peserta konferensi terdiri dari berbagai pakar di bidangnya, seperti Wilferd Madelung (Oxfor), Paul Fenton (Sorbonne), Tony Street (Cambridge), Frank Griffel (Yale), Sabine Schmidtke (Berlin), Jamil Ragep (Oklahoma), dan lain-lain. Ada pun tuan rumah diwakili oleh Tzvi Langermann dan Steven Harvey. Saya sendiri menyampaikan makalah tentang kitab an-Nur al-Bahir karya Sayfuddin al-Amidi (w. 631/1233) dan hubungannya dengan kitab as-Syifa' karya Ibn Sina.
Ada beberapa hal penting dan menarik untuk dicatat dari konferensi yang berlangsung dari 21 hingga 23 November 2005 itu. Pertama, berdasarkan data-data historis dan bukti-bukti tekstual, para spesialis sejarah Islam sekarang ini umumnya sepakat bahwa sains dan filsafat Islam justru berkembang pesat pada tiga abad setelah era Ibn Sina. Dengan demikian, mereka telah menolak tesis Ignaz Goldziher dan George Makdisi yang mengatakan sebaliknya. Anehnya, di dunia Islam, masih banyak orang yang mengamini pendapat Goldziher itu dan menyebut abad ke-11, 12, 13, dan 14 Masehi sebagai zaman kemandekan dan kemunduran ('ashru l-jumud wa l-inhithath). Kedua, nampak sekali bahwa para sarjana Barat yang mayoritas non-Muslim itu secara efektif bekerja sama dan berusaha memonopoli kajian khazanah keilmuan Islam dan merebutnya dari kaum Muslim. Perlahan-lahan namun pasti mereka membangun citra bahwa mereka lebih tahu dan lebih mengerti tentang seluk-beluk pemikiran dan peradaban Islam daripada orang Islam sendiri. Dan, pada gilirannya, mereka kelak mereduksi bahkan menegasikan sama sekali kontribusi kaum Muslim terhadap perkembangan sains, pemikiran, dan peradaban umat manusia. Namun, syukurlah belakangan ini telah muncul beberapa institusi yang berupaya membangun kembali kejayaan yang telah lama dikubur zaman, semisal Al-Furqan Foundation di London dan ISTAC di Kuala Lumpur.
Konferensi berlangsung dari pagi hingga sore hari. Selepas shalat Maghrib, seorang Arab Muslim warganegara Israel berbaik hati menjemput saya dan Dr. Rahim Acar (Marmara Universitesi) untuk keluar makan malam. Namanya Moussa Abu Ramadan, dosen hukum Islam di Universitas Haifa. Dibawanya kami keliling Jaffa, sebuah kota tua di selatan Tel Aviv, lalu singgah di warung sate tradisional di kawasan pemukiman Arab yang nampak kumuh dan terbelakang. “Beginilah nasib orang Arab dan Muslim khususnya, miskin dan tersisih,†ujar doktor lulusan Prancis itu. “Sengaja saya bawa Anda ke sini supaya menyaksikan sendiri realitas yang 'tersembunyi di bawah karpet': warga Arab Muslim yang buta huruf dan menganggur, tertekan, dan tanpa masa depan. Israel adalah negara rasis. Itulah sebabnya banyak orang di sini yang berhijrah ke negara lain meskipun akhirnya terlunta-lunta di pengungsianâ€. C'est la vie, kata orang Prancis. Begitulah hidup. Masing-masing ada gilirannya.
Pada hari terakhir, setelah jamuan penutupan, saya menyempatkan diri untuk ziarah ke Baitul Makdis. Hari sudah sore. Atas saran Profesor David Burrell (Notre Dame), saya pun memutuskan untuk naik kereta saja, bukan bus. Meskipun jarak Tel Aviv-Jerusalem hanya 63 km, perjalanan kereta memakan waktu hampir dua jam. Matahari terbenam sebelum kami sampai tujuan. Dari stasiun Jerusalem saya men-charter taksi untuk berkeliling selama empat jam dengan bayaran 80 Euro. Alhamdulillah, ternyata sopirnya orang Palestian Muslim yang kebetulan kurang bisa berbahasa Inggris sehingga komunikasi kami kemudian dengan bahasa Arab. Yang pertama dan ingin sekali saya kunjungi tentu saja al-Haram as-Syarif di mana terdapat Masjid al-Aqsha dan Qubabatu s-Shakhrah (Dome of the Rock). Mobil diparkir jauh di luar. Lalu, kami berjalan menyusuri lorong-lorong bazzar sampai di Bab as-Silsilah. Terdapat dua pos pemeriksaan di gang itu saja, masing-masing dijaga oleh tiga tentara dengan senjata otomatis; satu persis di depan pintu gerbang kompleks dan satu lagi sekitar 10 meter sebelumnya. Beberapa meter dari tempat itu, juga terdapat markas mereka.
Orang-orang baru saja selesai berjamaah shalat Isya ketika kami memasuki pelataran masjid. Saya bergegas wudhu kemudian shalat jama' Maghrib dan Isya. Bukan main bahagia dan bersyukur dapat menunaikan shalat di Masjid al-Aqsha itu. Saya terkejut ketika petugas masjid memberitahu bahwa semua orang, jamaah maupun pengunjung, diminta segera keluar dari kompleks masjid atas instruksi tentara penjaga karena semua pintu akan ditutup. Maka, saya pun hanya bisa menatap penuh keharuan kubah kuning keemasan yang berkilau diterpa cahaya lampu sorot. Sempat juga mengambil beberapa foto sebelum meninggalkan area suci itu.
Dari masjid, sopir taksi itu mengajak saya singgah ke rumahnya, kira-kira 100 meter saja dari situ. Kemudian dibawanya saya keliling kawasan tersebut sambil ditunjukkan, antara lain, Masjid 'Umar bin Khattab RA di Jabal Zaytun, puncak tertinggi di mana dapat terlihat seluruh Kota Jerusalem. Sempat juga saya dengar keluh-kesahnya, “Orang Yahudi itu pengecut, sangat pengecut. Padahal, yang punya segala macam senjata itu kan mereka. Sedangkan kita, orang Islam, tidak punya apa-apa. Tapi, mereka itu takut sama orang Islam bukan main. Sering kali, misalnya, kalau orang Yahudi menyetop taksi saya, lalu bertanya apakah saya Muslim dan saya jawab, ‘ya’, ia tidak jadi naik. Bagi saya, rezeki dari Allah. Hidup dan mati kita pun di tangan Allah. Hasbunallah. Jadi, tidak ada yang perlu ditakuti. Kalau sudah datang ajal, di manapun kita bisa mati. Bisa di jalan, bisa juga di tempat tidur. Keyakinan seperti inilah yang mereka, orang Yahudi itu, tidak punya. Sehingga, mereka selalu merasa diteror meskipun sebenarnya yang meneror adalah rasa takutnya sendiri.†Mendengar itu saya pun tidak bisa kecuali setuju seraya mengangguk-angguk. Teringat hadits Nabi SAW yang mengatakan bahwa kelemahan suatu kaum disebabkan oleh dua hal. Pertama, apabila mereka lebih menyukai kehidupan dunia yang fana ini (hubbu d-dunya) ketimbang kehidupan akhirat. Dan kedua, apabila mereka takut mati (karahiyatu l-maut).
Malam itu juga saya harus kembali ke Tel Aviv dengan kereta terakhir yang berangkat tepat pada pukul 21.09. Dari stasiun sentral, saya berjalan ke terminal Dan. Bus yang saya tumpangi menyusuri jalan utama melalui kawasan pertokoan Dizengoff hingga Ben Yehuda. Pada keesokan paginya, saya terbang meninggalkan negeri sejuta konflik itu kembali ke Frankfurt.
Farnkfurt am Main,
Akhir musim dingin 2005.
Syamsuddin Arif
Catatan redaksi:
Dr. Syamsuddin Arif ialah seorang sarjana lulusan InternationalInstitute of Islamic Thought and Civilization atau lebih dikenal sebagai ISTAC,ia memperoleh gelar M.A. pada 1999 danPh.D pada 2004. Di ISTAC ini lah Dr. Syam berguru langsung pada ‘ulama besarIslam abad ini: Syed Muhammad Naquib al-Attas. Selepas dari ISTAC, putra Betawiini melanjutkan pendidikan di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe-Universität Frankfurt, Jerman selama empat tahun (2003-2007). Konferensidan catatan perjalanan dalam tulisan ini beliau guratkan pada masa berguru diJerman ini.
Saat ini ia merupakan Peneliti Tamu (Visiting ResearchFellow) di Centre for Islamic Studies Universitas Oxford, Inggris.
Redaksi memuat ulang tulisan ini dari laman academia.edu dengan seizin penulis.