Manibong-Upret
Bagikan

Manibong-Upret

Tiada detik tanpa politik. Semuanya harus serba politik. Tidak boleh ada kata ‘berlebihan’ untuk politik. Adu-adu kekuasaan harus selalu menagih ‘kurang’ dan tak berhenti meminta apa saja bagi kepanglimaan politik.

Pada suatu ketika di sebuah masa, seorang presiden yang berlaku macam raja lalim berteriak amat kencangnya: Politik adalah Panglima! Musik, puisi, bahasa, filsafat, sepakbola, dagang pasar, seluruh kegiatan rakyat, sampai akal sehat disuruh baris berjajar ke belakang mengisi posisi pendukung bagi sang panglima. Semua anasir budaya yang mungkin dicapai manusia dijadikan penopang kaki-kaki politik. Seluruhnya harus mengabdi dan ditujukan hanya bagi kehidupan politik. Sastra, ideologi, kegiatan pemuda atau apa pun yang tidak ditujukkan bagi kepentingan politik dihukumi secara buta sebagai kontra-revolusioner, mengandung unsur pelemah semangat bangsa dan dengan kata lain dapat disebut sebagai tidak berguna plus layak disingkirkan.  

Hasilnya luar biasa. Bahasa Indonesia menjadi amat berisik dan begitu fasih digunakan untuk merendah-hinakan lawan politik. Puisi yang indah itu, jatuh mutu ke taraf propaganda alat hasut-hasutan. Falsafah turut serta mendaftar dalam keruwetan itu sebagai alat penakar kebenaran paling tinggi (secara politik). Yang sefaham pasti benar, yang berbeda pandangan mutlak salah dan boleh dimasukkan ke dalam penjara. Bangsa kita jatuh pada kediktatoran yang tidak terus terang.

Para bijak sering menyatakan, bahwa sejarah kerap berulang. Artinya manusia memang susah kapok. Senang mengulang kesalahan yang sama meski dengan pola yang berbeda. Berpuluh tahun setelah “Politik adalah Panglima!” itu porak-poranda, kita seperti penasaran untuk mencobanya lagi. Semua tata hidup kita timbang dengan politik. Orang baik ialah orang yang sepilihan politik dengan kita. Ulama yang ikhlas adalah ulama yang sekeyakinan politik dengan kita. Kebenaran dan akal sehat ialah hak mutlak kubu politik kita. Falsafah kita dalam menentukan kebenaran adalah: sekubu atau tidak sekubu dengan kita. Penata baik dan buruk: 01 atau 02. Orang brengsek asal sehaluan dan senomer dengan kita, bisa jadi baik adanya. Kalau pun mau agak tegas, biarkan saja dulu kebrengsekan itu selama menguntungkan kibaran politik kubu kita. Orang baik, meski saleh dan alim, pabila beda pilihan boleh dihujat. Atau kalau tidak berani disindir kecil-kecilan.

Namun kita tidak lantas harus melihat keadaan ini dengan serba murung dan risau. Kita bisa lebih bergembira melihat kenyataan politik sisa 2019  ini. Diam-diam, boleh jadi (seperti biasa) tanpa disadari, kita telah menata kehidupan berbangsa dalam sebuah pola demokrasi mutakhir yang tertinggi. Partai boleh banyak, ideologi tetap berseliweran tak tentu arah, kesenangan kita tetap ribut-ribut seperti biasa tetapi negeri ini mulai menuju keparipurnaan. Kita sedang melangkah menuju demokrasi seperti di Amerika (tempat kita senantiasa silau melihat dan mengaca segala kesempurnaan). Di Amerika sana hanya ada dua partai besar, Partai Republik dan Partai Demokrat. Meski tak mirip betul (tidak pernah ada dua kurma yang benar-benar sama bukan?) pelan-pelan kita sedang menuju penyederhanaan politik yang lebih efisien. Ke depan, meski banyak partai dan ideologi, kita akan tetap terbagi ke dalam dua kubu: Kecebong dan Kampret. Seperti di Amerika sana. Indah!

Jadi berantem-berantem di media sosial, hamburan uang untuk kampanye, politik amat mahal dan lain-lain itu tidak selamanya mubazir. Secara berjamaah kita sedang bermanifestasi dan berusaha, boleh jadi (seperti biasa) tanpa disadari, ke arah penyederhanaan politik bangsa. Caci-maki, kutuk-pastu, rendah-merendahkan, berkubang diberita bohong, dan berebut kesehatan akal yang kita jalani setiap masa pemilu itu ini bukan tak ada manfaatnya. Kita sedang meniti sebuah jalan bersama, tindak kolektif yang tak kita sadari, dan ada baiknya kita sebut semua ini sebagai Manifesto Kaum Cebong-Usaha Para Kampret. Secara singkat kita panggil: Manibong-Upret.

Manibong-Upret ialah suatu ikhtiar politik, boleh jadi (seperti biasa) tanpa disadari, yang akan mengantarkan kita pada nuansa indah di masa depan. Sebuah tujuan keparipurnaan berbangsa, di mana pilihan politik ialah penakar utama haq dan bathil. Pilihan politik kita adalah al-haq, dan pilihan orang lain adalah al-bathil. Kubu kita harum sorga dan kubu lawan bau neraka. Kita menjadi nyaman dan kecanduan pada politik karena kita menganggap segala unsur pilihan kita adalah benar. Lantas kita menuduh segala yang dilakukan lawan politik adalah salah. Inilah tinjauan epistemologis, penimbang benar atau salah, penakar baik atau buruk, penerka tepat atau keliru paling mutakhir. Pilihan politik ialah acuan kebenaran paling paripurna yang sedang kita bangun. Manibong-Upret ialah tatanan keilmuan masa depan pendidikan kita, di mana anak-anak kita kelak akan menghuninya.

Manibong-Upret menjadikan politik sebagai pusat dari pusatnya kehidupan, inti dari intinya kebangsaan. Puisi, akal sehat, bahasa, musik, film, desain-grafis, seks, pencernaan, teknologi, ngilu di belikat, artificial intelligence, kolesterol, filsafat, penggusuran, tambang, hutan, kebun binatang, ekonomi, moral dan seluruh anasir hidup, kita abdikan pada politik. Tiada detik tanpa politik. Semuanya harus serba politik. Tidak boleh ada kata ‘berlebihan’ untuk politik. Adu-adu kekuasaan harus selalu menagih ‘kurang’ dan tak berhenti meminta apa saja bagi kepanglimaan politik.

Sejauh ini baru ‘akal sehat’ yang berjaya kita seret ke persabungan kuasa. Di masa depan, demi ampuhnya jalan Manibong-Upret, segala hal yang kita miliki harus kita taruh di meja politik. Nurani, jiwa, keyakinan, indera-indera batin, semua yang kita miliki sebagai manusia utuh harus diserahkan kepada politik. Tanpa kecuali. Demi berjayanya bangsa ini mengejar-ngejar Amerika. Demi tuntasnya selera caci-maki, kutuk-pastu, rendah-merendahkan dalam diri kita. Semuanya kita serahkan dan luruhkan bagi politik. Sampai kosong kemanusiaan kita. Sampai bangkrut moral kita. Sampai luruh martabat kita. Yang penting kita menang secara politik.

Hingga anak-anak kita kelak akan pandai menyebut saudaranya sebagai cebong atau kampret (atau istilah lain yang bisa diproduksi seperlunya demi kepanglimaan politik kita) ketika melihat lawan politiknya. Ibadah utama mereka ialah mengutuk-pastu dan merendah-hinakan saudaranya yang berbeda pilihan politik. Anak-anak kita yang kita cintai, kelak akan mengenang orang tuanya sebagai generasi yang mewariskan Manibong-Upret, politik tak kapok-kapok tak sudah-sudah.

Dengan Manibong-Upret dan selera caci maki nomor satu pula kita akan mengangsor-angsor diri, menyeret amal kita di hari pembalasan.

Betapa indahnya.