Simulakra di Dalam Truk
Bagikan

Simulakra di Dalam Truk

Film ini menyodorkan kenyataan semu dalam kesadaran manusia. Setiap orang diandaikan tenggelam dalam tafsir dan hasratnya masing-masing. Mereka hanyut dalam ketak-ajegan diri di hadapan realitas.

Pemahaman kita atas sesuatu, konon katanya, berlangsung melalui tanda. Dan tanda sesungguhnya berbeda dengan yang ditandai. Tanda ialah dunia tersendiri yang menyekat manusia dari kenyataan. Kata ‘batu’ ialah penyekat (sekaligus perantara) antara pemahaman manusia dengan batu objektif di luar diri si pemaham.  Subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui, konon katanya, selalu terpisah.

Pada masa ini, banyak orang yang meyakini bahwa hubungan pemahaman manusia, tanda, dan yang ditandai sesungguhnya tidak pernah ajeg. Ketiganya ada dalam ketidakpastian dan dinamika yang amat longgar. Artinya pemahaman kita atas kenyataan dianggap senantiasa tidak pasti. Relatif. Tanda amat terbatas, sementara realitas bersembunyi begitu dalam. 

Selain itu, manusia, konon katanya lagi, tidak pernah menyerap segala macam tanda itu dengan polos. Pencerapan manusia atas beragam tanda sesungguhnya dikabuti oleh hasrat dan angan-angannya sendiri. Tanda tak pernah ajeg mewakili kenyataan dan manusia mencerap ketakajegan tanda dengan kekaburan sudut pandang pribadinya. Akhirnya manusia seperti anak kecil yang bermain mobil-mobilan. Di dalam benaknya, ia menciptakan realitas sendiri yang berbeda dengan kenyataan.

Dengan demikian, masih konon katanya, kesadaran manusia atas realitas objektif sesungguhnya amat semu. Kita sebenarnya tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang kita daku sebagai pengetahuan. Inilah produksi mutakhir filsafat abad ini: Kesadaran manusia dan realitas yang menghampar di kesehariannya saling menghablur menghasilkan ketak-ajegan tanpa muasal. Nihil dan nisbi. Biar terlihat penting dan rumit, kita bisa menyebutnya sebagai simulakra.

***

Simulakra semacam itu telah diangkut sebuah truk dalam suatu film berjudul “Tilik”. Film dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah yang amat gemar memproduksi terjemahan karya-karya agung, rumit, dan sulit difahami.

Di dalam film itu dikisahkan sekumpulan ibu-ibu dengan berbagai simbol diri sedang menjalani sebuah prosesi, tilik namanya. Menengok atau menjenguk orang sakit. Berbagai hasrat sedang bersembunyi dalam perjalan itu. Atas nama menjenguk orang sakit, secara diam-diam seseorang telah meluluskan angannya untuk piknik. Hendak melihat terangnya dunia. Yang lain bermuslihat menagih pengakuan untuk dikatakan peduli. Yang lain sedang berkampanye diam-diam, suaminya mengincar jabatan lurah. Setiap orang menyembunyikan hasrat masing-masing yang disamar dan disembunyikan dalam narasi “menjenguk Bu Lurah di rumah sakit!”.  

Di dalam “Tilik”, sebagaimana di dalam simulakra, keikhlasan dan ketulusan telah dihapus. Hal ruhaniah semacam itu telah dipercayai hanya menjadi topeng bagi manusia untuk menyembunyikan hasrat dan kehendak. Manusia hanya sekumpulan motif yang bertiarap di balik tindak dan gerak sosialnya. Di dalam truk, semua pribadi menyadari tilik berdasarkan motif-motif pribadi. Sengkarut kesadaran atas tilik saling bersilangan, tak ajeg, dan penuh kepentingan. Melaju dalam bak truk terbuka, melintasi pelataran alam pedesaan nan permai.

Para ibu, dengan tokoh utama bernama Bu Tejo, mengisi waktu senggang di dalam truk dengan upaya penafsiran atas suatu realitas. Perang penafsiran, persengkarutan bermacam pemahaman dan pertumbukan berbagai kepentingan terjadi secara serentak, sekaligus dan spontan. Manusia-manusia dalam “Tilik” sedang menyengketai berbagai prasangka atas suatu realitas.

Realitas tersebut diwakili sesosok perempuan muda, tak berjilbab dan bekerja di luar rumah. Dian namanya. Bu Tejo yang berkerudung itu menawar-nawarkan tafsir gelap atas sosok Dian. Tafsir yang dapat disederhanakan dalam kalimat: Dian bukan perempuan baik-baik. Sumber penafsiran: data internet. Sementara Yu Ning, senantiasa memberi pembelaan atas penafsiran gelap itu. Yang satu menjelekan, yang satu membela.

Keduanya dalam laku menggelapkan dan membela itu, ternyata mengangkut kepentingan masing-masing. Tak ada ketulusan. Bu Tejo dalam proyek tafsir gelapnya menyimpan siasat untuk menunjukan bahwa Bu Lurah sudah tak sanggup lagi memimpin. Dian yang bukan perempuan baik-baik, dekat dengan Fikri anak Bu Lurah. Yu Ning, ternyata kerabat jauh Dian.

Perang penafsiran ini secara karikatural sempat terhenti karena Bu Tejo kepingin pipis. Perhentian yang secara malu-malu namun terbuka menyingkap hasrat Bu Tejo dalam satu adegan bersama sang supir bernama Gatrek. “Ikhlas lilahi ta’ala” yang diucapkan Bu Tejo ketika mengamplopi Gatrek jelas mengandung unsur sogokan. Menurut Bu Tejo suaminya cocok jadi lurah. Suatu permainan simbol yang amat bebas. Di mana lafaz “Lillahi Ta’ala” sebagai perlambang ruhaniah dari keikhlasan diletakan serempak bersama “hasrat untuk berkuasa”. Yang suci dan yang kotor saling menyaru, bercampur dan menumpuk.

Kali lain, truk pengangkut simulakra mogok di tengah jalan. Tapi daya dalam diri ibu-ibu itu sanggup membuatnya kembali berjalan. Mereka mendorong truk agar keinginannya dalam prosesi tilik dapat terpenuhi. Tak ada yang lebih berdaya dibanding hasrat manusia. Bahkan hukum, seperti umum dipercayai, tampak kerepotan menghadapi hujaman bermacam kecerewetan kepentingan, hasrat dan kehendak. Ia kebingungan, keteteran dan tak mampu untuk sekadar menegakan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2012 Pasal 5 ayat 4. Truk “Tilik” terus melaju, mengangkut sengkarut beragam penafsiran dan benturan berbagai kepentingan.

Film ini menyodorkan kenyataan semu dalam kesadaran manusia. Setiap orang diandaikan tenggelam dalam tafsir dan hasratnya masing-masing. Mereka hanyut dalam ketak-ajegan diri di hadapan realitas. Nadir kemanusiaan terhenyak di antara penghabluran jilbab dan hasut, benar dan salah, baik dan buruk, suci dan dosa. Semua melampus mengambangkan kesadaran di ruang-ruang tak bertepi dan tak terfahami.

Dan dengan kejam, luka kemanusiaan semacam itu kita nikmati sebagai hiburan. “Tilik” bercekikik menertawakan manusia yang begitu getir. Manusia-manusia yang tenggelam dalam produksi boros kesadarannya sendiri. Semua dianggap nihil dan kosong. Kesadaran gelap begini terus dirayakan dalam berbagai bentuk. Termasuk “Tilik”. Seolah memaksa dan menghasut semua yang masih mempercayai kemutlakan untuk segera menisbikan keyakinannya.

Perjalanan rombongan ibu-ibu itu tak berakhir penuh haru di tepi tempat tidur Bu Lurah yang sedang sakit. Bu Lurah belum bisa dijenguk. Secara solutif mereka pergi ke pasar, tempat hasrat untuk memiliki dapat disalurkan sebebas-bebasnya asal punya uang. Sementara Dian, sang realitas, tetap bersembunyi dan tak terungkap. Segala penafsiran atasnya menjadi nihil. Yang disangkakan Bu Tejo, yang dibelakan Yu Ning, semuanya keliru. Segala data, tanda dan penafsiran atas diri Dian tak mengantarkan pada kebenaran. Terlalu banyak hal yang menghalangi pemahaman Bu Tejo dan Yu Ning terhadap realitas Dian. Tanda amat terbatas, sementara realitas bersembunyi begitu dalam.  

“Tilik” menyeolahkan pengetahuan manusia hanya semacam angan yang tak pernah kesampaian pada kebenaran. Oleh karena itu, kita boleh berandai. Jika lah Jean Baudrillard pernah nyantri di Yogya dan bergabung dengan Komunitas Gusdurian, kita bisa bayangkan ia mengucap “Kebenaran hanya milik Gusti Allah! Manusia nisbi belaka”. Ia duduk bertumpang kaki, menyedot rokok klobot dalam-dalam, mengepulkan asapnya, lantas memasang wajah ‘kamu jangan sok tahu!’. Kepalanya berat sebelah memuat fikiran mengenai segala macam hal yang kurang atau malah tidak berguna.

Dan Bu Tedjo dengan galak menggugat Paklik Boudrillard “Sampeyan tahu dari mana kebenaran itu hanya milik Gusti Allah? Memangnya Gusti Allah itu tonggomu?”.