Di Balik Pelayaran Portugis dan Spanyol Menuju Negeri Seribu Rempah (1)
Bagikan

Di Balik Pelayaran Portugis dan Spanyol Menuju Negeri Seribu Rempah (1)

Tak ubahnya Colombus, kenekadan menjelajah samudra dengan wawasan, persiapan dan perhitungan yang kurang memadai, memaksa mereka berada di tengah lautan tanpa menemukan daratan selama 93 hari lamanya (Cliff, 2012, Bab 8, paragraf 24).

Sejarah dunia yang telanjur Eropasentris kerap menunjuk Portugis dan Spanyol sebagai negeri terawal penjelajahan samudra. Nama Vasco da Gama, Amerigo Vespuci, Christopher Colombus, termasuk Alfonso de Albuquerqe lebih dikenali sebagai pemimpin pelayaran terawal dari barat ke timur.

Ini tentu bukan hal yang salah, jika definisi expedition merujuk pada kamus Oxford, yakni “journey or voyage undertaken by a group of people with a particular purpose, especially that of exploration, scientific research, or war”. Kehadiran Spanyol dan Portugis ke negara-negara yang mereka datangi sambil lewat atau secara khusus memang sering meninggalkan jejak eksplorasi dan eksploitasi yang menyebabkan peperangan.

Sementara itu penelitian mengenai hubungan ekonomi, politik, sosial dan keagamaan antara bangsa-bangsa yang berada di wilayah Asia dengan Jazirah Arab belum banyak dilakukan. Padahal pertautan tersebut telah terjalin dengan damai dan saling menguntungkan berabad-abad sebelum ekspedisi Eropa memasuki wilayah ini. Beberapa sumber bahkan menyebut hubungan tersebut telah dimulai sebelum masehi.

Dalam karya singkat ini penulis hendak memaparkan berbagai hal di balik pelayaran Portugis dan Spanyol menuju tanah Samudra. Akan turut pula dipaparkan bagaimana para kafilah Arab telah membangun budaya ilmu di setiap tanah yang mereka jejaki.

***

Di akhir abad ke-15, Spanyol dan Portugis ialah dua kerajaan Katholik yang dianggap sangat kuat karena kemajuan teknologi bahari, armada laut, serta perkapalannya. Saat bangsa Eropa lain belum mampu mencapai tanah di seberang samudra mereka, kedua kerajaan ini tengah bersaing sengit untuk menemukan sumber rempah dengan menempuh ombak badai dua lautan luas.

Di abad ke-10, rempah (khususnya lada) telah menjadi komoditas wajib bagi bangsawan dan biarawan Eropa (Turner, 2011, hlm 105) yang pasokannya dikuasai orang-orang Venesia, Italia. Dari pelabuhan-pelabuhan di Mediterania, rempah disalurkan melintasi Gunung Alpen dan keseluruhan wilayah Kristen hingga ke Jerman. Saking berharganya, para pedagang Jerman di London membayar bea cukai dengan lada (Turner, 2011, hlm 105).

Hubungan perdagangan antara Eropa dan India memang telah terjalin sejak lama, tetapi dua wilayah ini hanya dapat terhubung melalui wilayah Jazirah Arab, bukan secara langsung (al Attas, 2011, hlm 1). Dari kota pelabuhan Cambay dan Gujarat, orang-orang Arab dan pedagang lainnya dari Oman dan Yaman termasuk juga dari Ḥaḍramaut dan teluk Persia membawa berbagai dagangan dari India, Timur Jauh dan Cina ke Suriah serta Mesir, dari sana barang-barang itu dapat mencapai Eropa (al Attas, 2011, hlm 1). Oleh karenanya, menemukan India, yang dianggap sebagai muasal tanaman rempah, menjadi ambisi besar bagi kedua bangsa Eropa tersebut. Persaingan keduanya kerap melahirkan bentrokan yang berkepanjangan. Perselisihan kedua bangsa itu berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Tordesillas yang ditengahi oleh Paus Alexander VI pada tahun 1494.

Paus membagi dunia secara rata dengan “menganugerahkan” kedaulatan atas daratan di sepanjang garis bujur barat yang berjarak 370 league (sekitar 1.185 mil) sebelah barat Pulau Tanjung Verde kepada Spanyol (Turner, 2011, hlm 27). Sementara Portugis mendapatkan sisi timur dengan jarak yang sama. Portugis maupun Spanyol merasa memiliki keunggulan teknologi bahari, perkapalan, serta armada laut di atas bangsa lainnya. Pada sisi lain Paus memiliki kuasa religius atas bangsa-bangsa. Oleh karena itu ketiganya merasa berhak menguasai serta membagi-bagi “dunia” demi “keadilan” untuk dirinya sendiri.

Kala itu, pelayaran menjadi semacam demam yang dampak politiknya sangat kuat di Eropa. Kredibilitas seorang raja dipertaruhkan di atas armada kapal yang berlayar menemukan negeri berlimpah rempah. Demikianlah gold, glory, dan gospel menjadi suatu semboyan penaklukan yang meniscayakan peperangan dan pengisapan sumber daya. Dimulailah berbagai ekspedisi pelayaran yang dalam kacamata Eropa telah menjadi “permulaan” dunia internasional.

Columbus ialah satu di antara pemula itu. Dalam penjelajahan mencari muasal rempah, ia tersasar ke Karibia dan sempat meyakininya sebagai tanah India. Dalam catatan perjalanannya ia menulis, “Tanpa keraguan lagi, di pulau-pulau ini terdapat emas dengan jumlah yang sangat banyak… dan juga batu mulia, mutiara berharga, dan rempah-rempah tak terhingga,” (Turner, 2011, hlm 7). Namun “rempah-rempah” di sana tidak berasa, berbau atau terlihat seperti yang sering ditemukan di dalam makanan mereka. Beberapa contoh kayu manis, lada, dan jahe, yang mereka bawa dari Spanyol mereka tunjukkan pada orang-orang setempat.

Jawaban yang diberikan orang-orang asli Karibia ketika itu menunjukkan kelemahan-kelemahan armada Spanyol. Kemajuan teknologi bahari, armada laut, serta perkapalan yang baru saja dimiliki bangsa Spanyol belum diiringi dengan keluasan wawasan, strategi yang kuat serta kemampuan komunikasi yang memadai dengan bangsa lainnya. Hasrat berkuasa dan berkelimpahan harta melahirkan kenekadan menjelajah samudra dengan persiapan dan perhitungan yang kurang memadai. Saat ditanya mengenai contoh yang ditunjukkan armada Spanyol, orang-orang asli di wilayah Karibia ini menjawab dengan isyarat agar mereka berlayar ke arah tenggara (Turner, 2011, hlm 10). Kayu manis, lada, dan jahe tidak ada di daratan yang mereka pijak melainkan beribu kilometer dari situ.

Empat kali Colombus berlayar dari Spanyol ke wilayah yang kini dikenal dengan Amerika Selatan tanpa memperoleh apapun. Colombus gagal membawa pulang emas dan rempah-rempah ke hadapan raja dan masyarakat Spanyol seperti yang dijanjikannya. Meskipun demikian, para pelayar dan penjelajah ini membawa pulang vanilla, tembakau, jagung, kentang, tomat, dan cokelat, termasuk singkong dan nanas (Turner, 2011, hlm 10).

Dari negeri Portugis, sosok yang terus dikenang sebagai penjelajah ulung yang mengantarkan bangsa Eropa menguasai jalur perdagangan paling ramai dan menguntungkan kala itu adalah Vasco Da Gama. Sepuluh tahun setelah pelayaran Bartolomeu Dias di sepanjang pantai barat Afrika sampai ke Tanjung Harapan, Vasco da Gama beserta armadanya dipuja puji sebagai bangsa Eropa pertama yang berhasil berlayar langsung dari Eropa mencapai India. Ia merupakan sosok kebanggaan bangsa Portugis juga bangsa Eropa hingga saat ini. Nama Vasco da Gama kerap disebut sebagai perintis pelayaran laut ke India yang mengubah dunia. Hal tersebut tentu saja mengabaikan peran penting dari perniagaan yang sudah mapan di sepanjang kota-kota pelabuhan dari Afrika Timur dan Asia Selatan-Barat jauh sebelum da Gama mencapainya (Unesco, 1980, hlm 25).

Pelayaran pertama Vasco da Gama pada 1497 merupakan perintah dari Raja Manuel I untuk mencari jalur maritim dari Eropa Barat ke Timur dan menemukan India. Namun sebetulnya itu adalah tujuan penunjang. Tujuan utama Raja Manuel I adalah bersekutu dengan India yang ia yakini menganut Kristen serta memperoleh kekayaan yang memungkinkan Portugis menyerang jantung Arab demi merebut kembali Yerusalem (Cliff, 2012, Bab 7, paragraf 50).

Vasco Da Gama berlayar dari Lisbon pada bulan Juli 1497 dengan empat kapal, Sao Maria, Sao Raphael, Sao Gabriel, dan The Berrio. Namun, ia tidak menyusuri pantai barat Afrika, lanjut ke selatan daratan Tanjung Harapan yang pernah ditempuh armada Bartolomeu Dias. Lepas dari daratan Eropa, da Gama mengarahkan kemudi ke barat daya, melalui Samudra Atlantik hingga mendekati pantai Brazil dengan tujuan menghindari arus laut yang amat kuat di rute biasa dan berharap mendapatkan angin yang lebih kencang untuk segera tiba di ujung selatan benua Afrika (Cliff, 2012, Bab 8, paragraf 6).

Tak ubahnya Colombus, kenekadan menjelajah samudra dengan wawasan, persiapan dan perhitungan yang kurang memadai, memaksa mereka berada di tengah lautan tanpa menemukan daratan selama 93 hari lamanya (Cliff, 2012, Bab 8, paragraf 24). Armada kehabisan persediaan makanan dan minuman serta logistik lainnya. Para awak pun terjangkit penyakit kudis yang menular serta beri-beri hingga banyak yang meninggal dan dilempar ke laut. Baru pada 1 November 1497 mereka akhirnya melihat tanda-tanda daratan dan segera berlabuh di suatu daerah yang dinamakan St. Helena Bay.

Jalur dagang sepanjang kota-kota pelabuhan dari Afrika Timur, Asia Selatan hingga kepulauan Melayu Nusantara dan China adalah satu-satunya jalur perniagaan maritim masa itu. Maka pada dasarnya, Vasco da Gama tidak akan menghadapi apa yang sudah dihadapi Colombus di Karibia, memasuki hutan dan mencari-cari pohon rempah sambil berbahasa isyarat kepada penduduk setempat demi petunjuk. Vasco da Gama memang telah berniat menemui penguasa Kalkuta dan mengajaknya bersekutu melawan Muslim. Namun, begitu melewati Tanjung Harapan, yang didapati oleh armada da Gama adalah berbagai pelabuhan dagang yang amat ramai dengan perputaran jual-beli yang tinggi dengan beragam komoditas. Bukan wilayah liar tak bertuan dan tak berperadaban, kota-kota di pantai timur Afrika merupakan wilayah berdaulat dan kosmopolitan yang boleh jadi berusia lebih dari 8 abad. Lebih dari itu armada ini segera menyadari bahwa pantai timur Afrika ini dipenuhi oleh orang-orang berbahasa Arab.

Daftar Pustaka
 
______________. Historical Relation Across Indian Ocean. (Paris: UNESCO, 1980)

Jack Turner. Sejarah Rempah, dari Erotisme sampai Imperialisme. (Depok: Komunitas Bambu, 2011)

Nigel Cliffs. The Last Crusade, The Epic Voyages of Vasco da Gama. (New York: Harper Collins Publishers, 2012)

Prof. Syed Muhammad Naquib, al Attas. Historical Fact dan Fiction. (Kuala Lumpur: Penerbit UTM, 2011)

Tatiana Denisova. Refleksi Historiografi Alam Melayu. (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2011)

Walter de Gray Birch, trans. The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, Vol. III. London: Cambridge University Press for The Hakluyt Society, 1880. pp.101-108; 114-131;134-137 (http://www.fas.nus.edu.sg/hist/eia/documents_archive/malacca.php, 2014)