Judul Buku : Aqal dalam Islam, Satu Tinjauan Epistemologi
Penulis : Mohd Zaidi bin Ismail
Penerbit : Institute Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Kuala Lumpur, 2016.
ISBN : 978-983-2718-39-0.
Ukuran : 14 x 21,5 cm, xiv + 103 hlm.
Salah satu persoalan paling akut dalam ilmu pengetahuan sekular-modern ialah pandangan terhadap manusia yang amat bendawi. Manusi dipandang hanya sekadar kumpulan organ-organ biologis yang menjalankan proses-proses kimiawi secara alamiah. Tidak ada "kandungan" lain dalam diri manusia, selain hal-hal jasadiyahnya belaka. Psikologi modern nyaris memutus hubungan dengan persoalan manusia sebagai sebuah jiwa. Tak ada yang batin, yang immaterial dalam diri manusia, begitu postulat orang-orang sekular modern ini. bahkan kemampuan berfikir dan bernalar manusia telah dikerangkeng dalam pandangan bahwa semua itu hanya proses ketubuhan yang dilakukan oleh otak dan ribuan syaraf. Berfikir dan berlogika bukan tindak unsur batin manusia melainkan suatu perilaku biologis tubuh dalam menanggapi rangsang dari luar.
Pandangan amat bendawi terhadap manusia ini kemudian merasuk ke dunia Muslim secara halus melalui penyebaran berbagai ilmu pengetahuan sekular dan pendidikan modern. Jadilah sebagian umat muslim (boleh jadi tanpa sadar) mengalami kebimbangan mengenai kedudukan manusia, khususnya jiwanya dan lebih khusus lagi aqalnya. Paling tidak ada tiga persoalan yang kerap muncul dalam kajian mengenai aqal di dunia Muslim dewasa ini: mengenai aqal dan aqal-fikiran fikiran (rasio), aqal dan naql, serta aqal dan otak. Tiga persoalan ini kerap dijumpai dalam perbincangan psikologi dan kalam di kalangan Muslim.
Dr. Mohd Zaidi bin Ismail telah bergelut dengan persoalan-persoalan di atas sejak masa mudanya. Menempuh pendidikan tinggi di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) Dr. Zaidi banyak bersentuhan dengan kajian-kajian falsafah dan tasawuf Islam dan juga kajian falsafah Barat. Gurunya, Syed Muhammad Naquib al-Attas dikenal sebagai ulama yang meniktikberatkan kajian akan hakikat manusia, selain kajian metafisika dalam Islam.
Buku Aqal dalam Islam, Suatu Tinjauan Epistemologi dengan cergas menata persoalan-persoalan falsafah mengenai aqal dalam pandangan Islam dalam rangkaian yang tertata apik, mudah difahami, enak dibaca dan mendalam. Tautan nalar antara satu bagian dengan bagian lain disampaikan dengan runutan yang jelas dan kesepaduan wacana yang utuh. Hal ini memudahkan pembaca untuk memahami persoalan dengan lebih dalam.
Buku ini dibuka dengan sebuah “Pendahuluanâ€. Di dalamnya penulis menjelaskan kedudukan dan peran Aqal dalam wacana Epistemologi Islam. Penduduk-letakkan persoalan aqal dalam kerangka berfikir yang patut ini amat penting sebagai peta petunjuk dalam memahami isi buku ini. Dalam tradisi Islam, pembahasan falsafah ilmu (epistemologi) sebenarnya biasa ditemui dalam kitab-kitab Aqidah. Hal ini menunjukkan kaitan yang erat antara aqidah dan ilmu, sesuatu yang tak kita temui dalam tata ilmu-ilmu sekular. Di dalam epistemologi Islam ditegaskan tiga saluran utama insan untuk memperoleh ilmu perihal kebenaran hakikat, yiatu: pancaindera yang sejahtera (al-ḥawÄs al-salÄ«mah); khabar yang benar (al-khabar al-á¹£Ädiq) dan juga khabar al-á¹£Ädiq; dan aqal (al-‘aql). Memahami peran, kaitan dan kedudukan ketiga saluran ilmu ini menjadi penting dalam memahami kedudukan aqal dalam epistemologi Islam.
Pada “Bab Satu: Aqal dan Fikiran†kita diajak menelusur secara runtut persoalan makna aqal dan hubungannya dengan aqal-fikiran (rasio). Kita tentu mengetahui bagaimana peradaban Barat memisahkan (dan kemudian mempertentangkan) rasio dan intelek. Rasio dianggap bagian penting dari ilmu pengetahuan, menjadi landasan bagi kehadiran modernisme dan merupakan elan penting dari positivisme-logis. Sementara intelek kerap dipandang secara peyoratif dan hanya berurusan dengan fiksi yang tidak nyata.
Setelah menjelaskan makna aqal dalam tradisi Islam, Dr. Zaidi kemudian menjelaskan bahwa aqal-fikiran (rasio) memiliki beberapa pengertian dalam epistemologi Islam. Pertama sebagai salah satu tingkat dari aqal. Artinya ada tingkat-tingkat lain selain rasio dalam aqal manusia. Kedua, aqal-fikiran sebagai jenis ilmu, ini berkait dengan salah satu makna aqal yang dekat dengan ilmu. Dari penjelasan ini kita akan mendapati bahwa sesungguhnya pengertian aqal dalam tradisi Islam jauh melampaui rasio. Meski rasio sendiri diterima sebagai bagian dari aqal. Melengkapi penjelasan mengenai kedudukan aqal-fikiran ini, Dr. Zaidi pun menjelaskan bagaimana peran daya khayal sebagai pembantu aqal-fikiran dalam berbagai pola dan proses berfikir. Suatu hal yang kerap dipertentangkan di dunia Barat, ternyata memiliki hubungan dan peran yang saling melengkapi satu sama lain.
Persoalan lain yang seringkali menyeruak dalam kajian-kajian Islam ialah persoalan hubungan aqal dengan naqal. Misalkan bagaimana kedudukan aqal dan al-Qur’an. Ciri utama hubungan aqal-naqal dalam Islam ialah tawḥīd (kesatuan-kesepaduan) dan adil-beradab (peletakan sesuatu pada tempatnya yang wajar dalam rencana kesatuan). Hal tersebut dicirikan oleh tiga hal: kemufakatan tanggapan aqal murni dengan penaqalan yang ṣahih; penerimaan aqal terhadap khabar yang layak menjadi sandaran; dan aqal sebagai asas pemahaman naqal.
Kesatu-sepaduan hubungan aqal dan naqal ini terejawantah dalam kebertanggungjawaban agama. Tanggung jawab keagamaan seorang insan tergantung pada kematangan aqalnya (aqil-baligh). Ciri kematangan aqal ini antara lain kemampuan membedakan, bukan hanya membedakan baik dan buruk tetapi juga berbagai jenis kategori-kategori dasar wujud seperti: wajib, mustahil dan harus. Sementara berbagai khabar pun difahami dengan peran aqal ini.
Penjelasan Dr. Zaidi mengenai keharmonisan hubungan aqal dan naqal ini menunjukkan tidak ada persoalan besar dalam tradisi Islam mengenai keduanya. Wahyu Tuhan dan aqal manusia dapat bertautan dan tidak saling bertentangan, malah saling berharmonisan. Dengan demikian, persoalan-persoalan (atau bahkan pertentangan) hubungan agama dan ilmu pengetahuan bukan merupakan persoalan pokok dalam tradisi Islam. Persoalan ini tuntas dibahas pada “Bab Dua: Aqal dan Naqalâ€.
Persoalan ketiga yang cukup menarik mengenai aqal ini ialah hubungannya dengan otak. Jika aqal ialah sesuatu yang immaterial bagaimana hubungannya dengan organ tubuh yang bernama otak? Pertanyaan ini mendapat jawaban yang tuntas pada Bab Tiga buku ini: “Aqal dan Otakâ€. Mafhum diketahui bahwa kajian mengenai otak yang dikenal dengan neuroscience amat pesat dewasa ini. Pun kajian mengenai hubungan moralitas dengan akal, marak dibahas dalam kajian neuroethics.
Di tengah gelombang kajian neuroscience dan neuroethics yang kerap samar memandang sisi-sisi batin manusia ini, setidaknya umat Islam harus kembali mengkaji beberapa hal dari agamanya. Salah satunya ialah persoalan hakikat manusia dalam Islam yang diakui terdiri dari ruh dan jasad. Selain itu persoalan hakikat dan hubungan sebab-akibat pun harus kembali dikaji untuk menguatkan pemahaman kita mengenai bagaimana sesungguhnya realitas itu berlangsung. Satu hal lagi yang perlu dikaji-kuatkan ialah pemahaman akan jenis-jenis kejadian-kelakuan yang telah dengan sangat baik dijelaskan oleh ulama-ulama Islam seperti Imam al-GhazÄlÄ«. Ketiga perangkat pemahaman bagi Muslim ini dibahas dengan ringkas namun cergas di bab ini.
Dengan perangkat-perangkat kefahaman semacam ini kita dapat melihat hubungan aqal dan otak sebagaimana kita memahami hubungan jasad dan ruh. Aqal ialah sesuatu yang bukan benda, sementara otak ialah organ tubuh bendawi. Meski kedudukan wujud keduanya berbeda, tetapi otak dan aqal dalam beberapa keadaan “bekerja†bersama-sama. Aqal ialah suatu yang berdiri sendiri, yang pada zatnya terpisah dari materi, namun dalam perbuatannya ia dapat bersama-sama dengan materi (jawhar mujarrad ‘an al-mÄdah fÄ« dhÄtihi muqÄrin lahÄ fÄ« fi‘lihi). Sebagaimana hubungan jasad dan tubuh.
Aqal dalam Islam merupakan sebuah karya yang ringkas namun mumpuni yang dapat menjadi rujukan dalam pembahasan mengenai manusia, khususnya mengenai persoalan jiwa, khususnya lagi dalam perihal aqal. Buku ini pun dapat menjadi jawaban bagi berbagai kajian psikologi sekular yang kerap samar dalam menjelaskan persoalan jiwa.
Penulis nampaknya sangat seksama menyusun berbagai penjelasan di dalam karya ini. Jika kita memperhatikan bagian daftar rujukan, kita akan menemukan 90 rujukan yang berasal dari tradisi keilmuan Barat dan Islam. Artinya buku ini menjanjikan kajian yang cukup menyeluruh, meski tidak secara terbuka menyatakan diri sebagai sebuah kajian perbandingan.
Buku ini baik dibaca oleh para mahasiswa dan pengajar psikologi serta peminat kajian Islam secara umum. Dari buku ini kita dapat mengembangkan berbagai kajian lain mengenai manusia yang masih belum banyak tersentuh. Kajian-kajian semacam ini setidaknya akan memberi pandangan yang lebih kukuh mengenai hakikat manusia, sekaligus secara perlahan melepaskan aqal dari kajian dan cara pandang yang terlalu bersifat sekular dan kebendaan.