Wabah dalam Tinjauan Metafisika Islām
Bagikan

Wabah dalam Tinjauan Metafisika Islām

Berdasar pada apa yang disampaikan Imam Fakhr al-dīn al-Rāzī, pada akhirnya, penyebab akhir (the ultimate cause) segala sesuatu ialah izin dari Allāh (bī idznillah). Banyak pula ayat yang menyebutkan Allāh Mahatahu, Allāh Maha Berkuasa, Allāh Maha Berkehendak dan sebagainya. Secara ringkas, musibah dalam pandangan metafisika Islām terjadi karena Allāh memang menghendakinya. Tidak ada yang dapat menghalangi jika memang Allāh menghendaki.

Dalam kehidupan ini, kita dapat melihat dan bahkan mengalami berbagai kejadian fakta dan juga peristiwa. Suatu peristiwa terkadang memberi kesan kesedihan pada sebagian orang namun dapat juga menjadi kegembiraan bagi yang lain. Suka dan duka dalam kehidupan ialah hal lumrah dan memang begitulah manusia hidup.

Pada setahun terakhir ini kita telah menjalani kehidupan yang boleh jadi berbeda dengan keseharian kita sebelumnya. Kita hidup bersama virus corona. Kita hidup bersama wabah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghadapi keadaan ini. Namun bagaimanakah sesungguhnya hal ini bila kita tinjau dari sudut pandang metafisika Islām?

Pada masa terdahulu, berbagai jenis wabah juga pernah melanda dunia. Termasuk yang juga dialami oleh para ulama kita. Tentu dengan segala keterbatasan para ulama kita pun berikhtiar untuk mengatasi wabah. Baik ulama yang kurang memahami kedokteran seperti Ibn Hajar al-’Asqalani, atau para ulama lain yang lebih memahami masalah kedokteran, mereka berikhtiar untuk mengatasi persoalan wabah yang mereka hadapi.

Sebelum masa modern, para ulama kita memang banyak yang mengerti kedokteran dan bahkan juga merupakan seorangdokter. Imam al-Ghazālī berbicara tentang kedokteran. Fakhr al-dīn al-Rāzī menulis paling tidak 6 judul buku tentang kedokteran, di antaranya adalah Sharḥ al-Qānūn Kuliyyat al-Thibb yang menerangkan karya Ibn Sīnā dan kaidah-kaidah dalam kedokteran.

Tak heran bila berbagai catatan mengenai ikhtiar para ulama dan umat Islām untuk mengatasi wabah banyak ditemukan. Ulama kita tidak pernah mengingkari penting dan keharusan untuk mengatasi persoalan wabah dengan landasan ilmu kedokteran. Pada zamannya, pencapaian kedokteran Islām amat tinggi. Akan tetapi hal itu tidak menjadikan para ulama kita memandang wabah sebagai peristiwa duniawi belaka, kejadianempiris saja. Apa yang terjadi di hadapan kita sesungguhnya amat terkait dengan anasir yang lebih universal dan juga spiritual.

Ketika para ulama kita, di antaranya Ibn Ḥajar Al-ʿAsqalānī dan Imām al-Suyūṭī, membahas masalah wabah, mereka kerapmengutip berbagai ḥadith, di antaranya:


“
Ṭā’ūn merupakan adzab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum mukminin.
”

Para ulama kita kerap melihat wabah (di antaranya wabah ṭā’ūn) sebagai sebuah adzab. Boleh jadi secara medis wabah adalah sebuah fakta bebas nilai yang tak berhubungan dengan moralitas atau kah lagi keimanan. Pandangan sekuler niscaya akan menolak penghubungan sebuah fakta medis (atau fakta empiris lain) dengan hal moral atau metafisik.

Akan tetapi bila kita melihat berbagai kesedihan, berbagai kedukaan dan berbagai peristiwa memilukan yang terhampar di hadapan kita dewasa ini, memang wabah ini menjadi azab bagi banyak orang. Namun di sisi lain wabah ini juga merupakan rahmat bagi sebagian orang. Ḥadith ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhārī dan banyak pula ḥadith lain yang senada. Jadi, wabah ini adalah adzab yang memang Allāh kirimkan kepada yang Dia kehendaki dan juga merupakan rahmat bagi orang-orang yang beriman.

Penempatan adzab dan rahmat secara sekaligus dalam satu peristiwa tentu merangsang fikiran kita untuk bertanya. Bagaimana sesuatu yang secara lahir tampak dipenuhi dengan kedukaan, kesusahan, penderitaan dan kesedihan dapat disebut sebagai sebuah rahmat?

Dalam beberapa ḥadith lain diterangkan bahwa orang yang wafat terkena wabah penyakit dapat dikatakan sebagai syahid. Pahala syahid juga berlaku pada orang-orang yang terkena wabah. Orang ṣaleh yang senantiasa mencari riḍa Allāh SWT, dan menjaga dirinya lalu terkena wabah, dalam beberapa ḥadith mereka juga disebutkan sebagai syahid. Syahid juga berarti mendapat pahala berupa surga, inshā’ Allāh.

Hal metafisis seperti ini tentu tidak dikenal dalam ilmu kedokteran sekular.

Bagi kita umat Islām, apa yang terjadi memang sudah kehendak Allāh, dan memang ini disebutkan juga di dalam al-Quran berulang kali dalamberbagai versi. Seperti misalnya dalam Q.S. al-Hadīd [57] ayat 22-23:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpadi bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauḥ al-maḥfūẓ) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allāh. Kami jelaskan (yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allāh tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

 

Musibah apa saja di atas bumi ini, termasuk wabah, semua sudah tertulis sebelum terjadi. Covid-19 ini baru terjadi kira-kira setahun lalu. Dua tahun yang lalu tidak ada seorang pun yang punya rencana. Seandainya dua tahun lalu ada orang yang sudah mengetahui hal ini akan terjadi, mungkin mereka akan segera bersiap untuk mengatasinya. Manusia tidak tahu, kita baru mengetahui sesuatu setelah hal itu terjadi. Akan tetapi pada Zat-Nya, pada Allāh, semua itu sudah tertulis. Inna dzālika ‘alā Allāh yasīra (Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allāh).

Dilanjutkan:  likaylā ta’sau a’lā mā fātakum  (Kami jelaskan [yang demikian itu] supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu karena ini memang sudah diatur dan tertulis, supaya kalian tidak bersedih dan tidak berputus asa). Terkadang saat kita mengalami musibah, kita berputus asa dan bersedih. Namun bagi orang-orang yang beriman, ia tak akan terlalu bersedih, sebab ini sudah menjadi takdir-Nya. Sebagaimana bila ada kesenangan jangan lah terlalu bergembira.

Hal yang sama dapat kita temukan dalam Q.S. at-Taghābun [64]: 11: Mā aṣāba min muṣībat ilā‘ bi’idni Allāh (musibah itu terjadi hanya karena izin Allāh).

Oleh karena itu, bagi kita orang-orang beriman, wabah dan Covid-19 yang tengah kita hadapi ini dapat terjadi, atau disebabkan oleh unsur-unsur yang dapat dijelaskan secara medis. Namun bukan hanya itu. Bukan hanya unsur medis, empiris dan material saja yangterlibat di dalamnya. Kita tidak mereduksi realitas pada hal tersebut saja. Kita tidak menafikan kedokteran dan sains karena itu adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan kita.

Berdasar pada apa yang disampaikan Imam Fakhr al-dīn al-Rāzī, pada akhirnya, penyebab akhir (the ultimate cause) segala sesuatu ialah izin dari Allāh (bī idznillah). Banyak pula ayat yang menyebutkan Allāh Mahatahu, Allāh Maha Berkuasa, Allāh Maha Berkehendak dan sebagainya. Secara ringkas, musibah dalam pandangan metafisika Islām terjadi karena Allāh memang menghendakinya. Tidak ada yang dapat menghalangi jika memang Allāh menghendaki. Kita sering juga kan, membaca do’a setelah shalat itu:

 

“Ya Allāh, tak ada sesuatu yang dapat menghalangi kehendak-Mu, dan tak ada pula yang dapat melaksanakan apa-apa yang Engkau tak kehendaki.”

 Oleh karena bagi seorang Muslim, pandemi ini, wabah ini tak cukup dihadapi hanya dengan ikhtiar lahir yang sesuai dengan ilmu kesehatan. Namun kita juga harus meningkatkan kesadaran kita akan kemahakuasaan Allāh. Kita harus memeriksa diri, merunungkan berbagai kelalaian, kesalahan, dan hal-hal yang menunjukkan pengabaian kita terhadap Allāh. Sehingga Allāh menurunkan wabah ini. Penerapan protokol kesehatan tetap harus dijalankan. Kepercayaan terhadap takdir tak berarti muslim menjadi abai terhadap protokol kesehatan.

Akan tetapi penerapan protokol kesehatan dan segala ikhtiar lahir saja tidak cukup. Sumber, hakikat, ujung,akar, sebab terjadinya wabah ini tidak lepas dari kuasa Allāh. Oleh karena itu seharusnya musibah dan wabah ini membuat umat semakin sadar dan dekat kepada Allāh. Meski kenyataannya, keangkuhan justru semakin merajalela. Tindakan korup dan merusakdi tengah wabah ini terus terjadi. Seolah berbagai tanda dan peringatan Allāh diabaikan begitu saja. Seolah manusia berkuasa dan mampu untuk menghadapi segalanya.

Apakah secara ilmiah hal ini dapat dijelaskan? Bagaimana kaitan antara apa yang terjadi di alam materi dengan yang transenden itu? Dunia modern membatasi bahasan mengenai alam hanya kepada alam materi saja. Padahal dalam bahasa Arab alam itu adalah segala sesuatu kecuali Allāh. Artinya, alam itu termasuk alam malakut, alam jabarut, alam barzakh,alam akhirat, bukan hanya alam materi. Segala sesuatu, malaikat, jin dan lain sebagainya itu termasuk juga ke dalam kategori alam.

Namun sains sekular, telah menyempitkan makna alam itu hanya kepada alam materinya saja. Segala sesuatu di luar alam materi ini, diingkari keberadaannya. Padahal alam materi ini bagaikan setetes air di samudera (a drop in the ocean). Imam al-Ghazālī sejalan dengan Fakh al-dīn al-Rāzī (juga ulama lain yang berwibawa),berpendapat bahwa sebab-sebab yang terjadi tidak hanya merujuk kepada sebab-sebab alam atau faktor alam saja. Alam tidak dinafikan, tetapi itu bukanlah sebab akhir.

Terkadang dalam berbagai kajian sains para peneliti seolah menemukan faktor utama dari terjadinya sesuatu. Namun dalam perkembangan berikutnya, bertahun-tahun atau berpuluhan tahun kemudian ditemukan faktor lain yang lebih berperan. Saat disimpulkan faktor penyebab sesuatu itu, rupanya terdapat faktor lain. Pada akhirnya, faktor terakhir yang menjadikan itu tidak lepas dari kuasa Allāh.

Pun dalam masalah pandemi yang kita hadapi sekarang ini. Sebagai orang beriman, kita seharusnya meyakini bahwa musibah ini memang Allāh turunkan. Seharusnya kita betul-betul merenung, mengambil pelajaran dari apa yang diturunkan ini dan mengapa Allāh menurunkannya.

Dalam kajian metafisika Islām, terdapat banyak hujjah yang dapat disebutkan untuk mengaitkan fenomena di alam ini dengan Allāh sebagai pelaku. Salah seorang ahli kalam terkemuka dari kalangan Ashāʿirah, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, telah menulis pembahasan yang panjang dan rinci tentang kedudukan takdir dalam metafisika Islām. Pandangan tersebut ditulis oleh al-Rāzī dalam bab terakhir al-Maṭālib al-Āliyah min al-ʿIlm al-Ilāhī (Beirut: Dār al-Kitāb al-ʿArabī, 1987). Ada banyak hujjah yang diketengahkan oleh al-Rāzī—baik hujjah rasional maupun hujjah al-Quran dan Sunnah.

Dalam kitab tersebut terdapat banyak pembahasan mengenai ayat-ayat seperti “Allāh tidak mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasibnya sendiri”. Bagi al-Rāzī, ayat-ayat seperti itu tak berarti semua tergantung kepada manusia. Seolah-olah kita punya kuasa, tetapi sebenarnya hanya Allāh yang Mahakuasa. Sebenarnya hal seperti itu juga terdapat dalam do’a:

“Tidak ada daya dan upaya yang kita miliki, itu semua hanya milik Allāh.”

Dalam metafisika Islām dikenal wajib al-wujūd (wujud yang harus pada Zatnya, yaitu Allāh) dan al-mumkinal-wujūd (wujud yang mungkin pada zatnya, yaitu ciptaan-Nya). Sesungguhnya status kewujudan manusia dan alam ini ialah wujud yang mungkin (al-mumkin al-wujūd). Oleh karena itu kewujudan manusia dan alam ini amat bergantung pada the ultimate cause, the first cause. Segala sesuatu akan berakhir pada yang lebih dulu dan yang mewujudkan sesuatu itu. Artinya segala sesuatu tidak dapat dilepaskan dan pada akhirnya kembali kepada Allāh.

Kita mengkaji mengenai wabah ini pada akhirnya akan terkait juga dengan tatanan pandangan metafisika kita. Pada akhirnya akan terkait dengan Allāh yang menjadikannya. Kita tidak mengetahui bagaimana ujungnya wabah ini, akan bagaimana nasib kita esok hari, lusa dan masa-masa yang akan datang. Sementara Allāh mengetahui segala sesuatu, termasuk apa yang telah manusia alami, sedang manusia alami dan apa yang akan manusia alami. Semua telah ada dalam pengetahuan Allāh. Tak ada sesuatu yang terlepas dari pengetahuan-Nya.

Kita tidak tahu wabah ini akan berakhir atau kah bagaimana. Oleh karenanya kita perlu semakin mendekatkan diri kepada Allāh. Bila Allāh menghendaki wabah ini akan berakhir, namun bila Allāh tak menghendaki tentu tak akan terjadi. Dalam segala ikhtiar manusia kita amat bergantung kepada kekuasaan Allāh. Kesulitan kita menghadapi wabah, di mana banyak ahli sains, kesehatan dan ilmuan lain mencoba mengatasinya, juga menunjukkan betapa lemahnya manusia. Hal ini juga menunjukkan betapa kecilnya ilmu pengetahuan kita dibandingkan milik Allāh. Sulit sekali kita mengatasi wabah ini, kalau pun kita bisa mengatasinya, itu masih perlu waktu dan lain sebagainya.

Allāh Mahatahu dan kita tidak tahu, Allāh Mahakuasa dan kita tidak berkuasa.

Semoga hal ini dapat menjadi renungan yang mendalam bagi kita semua. Semoga kita semua dapat menggali hikmah dari apa yang terjadi. Upaya serius yang sudah dilakukan secara medis adalah sesuatu yang sangat penting dilakukan, tetapi bukan hanya itu.

Hal yang jauh lebih penting adalah menyadarkan kepada umat bahwa Allāh Mahakuasa dan terkadang kita melupakan kekuasaan-Nya. Allāh Mahatahu dan kita melupakan kalau Allāh itu Mahatahu. Allāh itu Maha Berkehendak dan kita kerap melupakan bahwa Allāh itu Maha Berkehendak. Seharusnya fenomena wabah yang kita alami ini, atau musibah-musibah yang lain, menjadikan akidah umat menjadi semakin tinggi.

 

Disadur dari ceramah Ustadz Adnin Armas pada acara:

“Renungan Setahun Pandemi: Soft Launching Terjemahan Kitab Mā Rawāhal-Wāʿūn fī Akhbār al-Ṭāʿūn Karya Imām al-Suyūṭī)”.

Sabtu, 23 Rajab 1424/6 Maret 2021

Diselenggarakan oleh Jawharuna Institute dan Komunitas NuuN