Kabar-kabar, Kabur-kabur
Bagikan

Kabar-kabar, Kabur-kabur

Penentu mutu budaya berberita kita bukan lah teknologi, tetapi taraf kemanusiaan kita sendiri.

Orang-orang menganut teori pembangunan dan perkembangan selalu berkeyakinan bahwa zaman terus berkembang dengan penanda teknologi yang semakin mencanggih. Manusia dianggap terus bertumbuh menjadi semakin dewasa, semakin percaya pada akalnya, semakin mandiri, dan kita terbebas kungkungan yang ghaib. Semakin jauh zaman melaju, semakin maju teknologi, semakin meningrat pula kemanusiaan sejagat. Begitu kepercayaan para penganut progresifisme dan developmentalisme. Kepercayaan warisan ambisi modernisme yang masih dianut oleh banyak orang hingga kini.

Namun hal itu tidak selalu benar. Dalam soal budaya berberita misalnya. Perkembangan teknologi informasi memang  semakin ribet (atau canggih) namun budaya berberita kita malah semakin mundur. Semakin tinggi teknologi, semakin kusut dunia perberitaan kita. Beberapa kisah berikut (semuanya pengalaman pribadi penulis) sedikit meggambarkan keruwetan yang dimaksud.

Pada suatu ketika, di sebuah demo besar yang dikenal sebagai seri pembelaan terhadap agama, saya turut serta berjalan bersama ribuan orang (atau ratusan ribu, saya tak menghitung dengan pasti) dari area Patung Kuda di kitaran Monas menuju gedung DPR. Kira-kira selepas maghrib, jalanan dari arah Monas menuju Gatot Subroto penuh disesaki manusia yang berjalan. Aparat berjaga di kiri kanan jalan besar itu. Di genggaman tangan, handphone tak henti-hentinya berbunyi. Sampai di depan gedung DPR, getar telepon genggam tetap tak berhenti.

Selepas menghela nafas barang dua-tiga tarikan, saya membuka sebuah layanan pengirim pesan. Telah bertumpuk berbagai informasi yang jelas dan tak jelas. Seseorang terlihat amat aktif di berbagai grup memberitakan perkembangan terkini dari aksi yang terjadi. Sebagian besar berita itu hampir tak saya lihat kenyataannya di lapangan. Sebuah kabar dengan tega mengatakan masa akan diarahkan ke Cilincing (Jakarta Utara) di mana kerusuhan sudah meletus di sana. Saya terkekeh-kekeh sendiri. Berjalan dari Patung Kuda ke DPR begini saja sudah payah minta ampun, lantas masih juga mau dikirim ke tepi laut Jakarta. Minta ampun tukang berita. Iseng saya tanya beberapa penyebar berita itu, di mana posisi mereka? Jawabannya kira-kira begini “Ana mengawal dari rumah akhi!”. Hehehe. Seorang ibu yang baik hati kemudian mengulurkan satu buah apel di kerumunan itu. Orang-orang yang mengawal dari rumah tentu tak kebagian apel atau sekadar minuman dari para ibu ini.

Beberapa jam kemudian, tanpa sengaja saya bertemu dengan seorang kawan. Bung yang satu ini mengabarkan sebuah kegawatan yang amat mencekam. Di mobil komando sudah tak ada lagi para pemimpin (esoknya saya tahu para pemimpin ini memang sedang ada di dalam gedung DPR bertemu pimpinan di sana). Pengamanan sudah diganti dari polisi ke tentara. Kawan tersebut menyarankan untuk segera pulang sebab bisa saja peluru meletus untuk membubarkan massa. Beberapa orang kemudian benar-benar pulang.  Saya memileh leyeh-leyeh tiduran di sebuah taman bersama seorang mantan Ketua BEM UI. Ngobrol-ngobrol apa adanya dan baru pulang pukul 3 pagi. Tidak ada tembakan apa pun semalaman itu.

Jauh setelah itu, di detik-detik menjelang pengumuman cawapres seorang calon presiden, beredar sebuah kabar rahasia berupa notulensi sebuah rapat penting. Sebuah catatan “A1” yang dianggap beredar amat terbatas. Para pembagi pesan tersebut menyatakan bahwa kabar itu sangat rahasia dan tidak boleh diseberakan karena amat eksklusifnya itu kabar. “Mohon jangan disebarkan, untuk kalangan kita saja!”, ujar sebuah pesan. Pesan terbatas itu beredar di empat buah grup di layanan penyampai pesan yang saya miliki. Bapak saya menerima juga pesan terbatas, rahasia, amat eksklusif dan tidak boleh disebarkan itu dari dua grup yang diikuti. Istri saya juga menerima pesan yang sama. Kakak saya juga. Teman saya juga. Anak saya belum punya telepon genggam, jadi tak menerima kabar “untuk kalangan kita saja itu”. Saya tak tanya tetangga saya, tapi boleh jadi ia pun menerima kabar itu.

Seorang pengurus web nuun.id ini pernah “diberitakan” lulus magister sebuah universitas di bilangan Rawamangun hanya karena mengajak makan beberapa kawan di sebuah restoran yang menyediakan menu bebek goreng sambal ijo. Sampai sekarang saya tidak dapat menghubungkan susunan fakta dari “berita” tersebut. Mengundang kawan makan, lulus magister, bebek goreng sambel ijo. Bagaimana tiga fakta itu bisa ditafsirkan amat rumitnya hingga terhubung dengan begitu rapi?

Ada pula pengalaman yang amat pribadi dan begitu menyentuh. Dalam rangka membereskan buku-buku yang memang susah tertib, saya tanpa sengaja menemukan album foto keluarga. Perlahan saya buka dan pandangi foto-foto di sana. Ada sebuah foto yang amat lampau. Foto pernikahan ibu-bapak bersama adik kakek. Iseng saya foto gambar itu dengan telepon genggam. Kemudian saya kirimkan kepada seorang kerabat. Beberapa jam kemudian, uwak saya mengirimkan kembali foto itu kepada saya, “Foto mamah sama Bapak waktu nikah” ujarnya. Saya dikirimi foto yang saya kirim sendiri. Foto itu berjejaring, tersebar, melingkar dan kembali kepada saya. Dan demi sopan santun, saya mengucapkan “terimakasih”.

Teknologi perkabar-beritaan semakin mencanggih. Namun manusia masih begitu-begitu saja. Kita masih lah manusia yang ingin tahu dan ingin diketahui bahwa kita tahu. Sesuatu yang wajar dan alami. Penentu mutu budaya berberita kita bukan lah teknologi, tetapi taraf kemanusiaan kita sendiri. Apabila kita berberita dengan penuh nafsu, amarah, dengki, ego diri, dan  iri yang akan kita dapat ialah gelontoran kabar tak sehat yang menyumukkan jiwa kita. Sebaliknya jika kita berberita dengan penuh cinta, kasih sayang, perhatian, tanggung-jawab dan ilmu memadai, kita akan menemukan banyak kata baik yang mengandung makna jernih bagi asupan batin kita.