Saat ini, umat Islam sering kali disibukkan oleh berbagai perdebatan teologis, berbagai perdebatan yang sebenarnya telah juga banyak dibahas di masa silam. Salah satu tema yang sering kali memantik kontroversi dan perdebatan ialah perbincangan seputar konsep tauhid. Terdapat sekurang-kurangnya dua kelompok dengan pendekatan yang berbeda dalam pembahasan konsep tauhid di kalangan ahlussunnah wal jama’ah. Pertama: pendekatan mereka yang mewarisi tradisi Ilmu Kalam. Bagi sebagian kalangan, Ilmu Kalam dianggap terlalu rasional dan dianggap abai terhadap pendekatan teks dalam pembahasan konsep akidah. Kelompok ini biasanya diidentifikasi sebagai pengikut madzhab Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324/936) dan sebagian lainnya sebagai penganut madzhab Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333/944). Kedua, di sisi berbeda, terdapat golongan lain yang cenderung menjadi â€rekan kritis†dari pewaris tradisi Kalam ini. Pada masa lalu, kelompok ini ialah sebagian pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241/855), yang posisi teologisnya mendapat penjelasan dan pembelaan secara luas dan rasional dari seorang alim madzhab Hanbali di abad 8 Hijriah, Ibn Taymiyah (w. 728/-1328).
Syekh Mushthafa Abd Al-Raziq (w. 1366/1947) menilai bahwa “persaingan†kedua aliran pemikiran teologis ini menandai kebangkitan wacana teologi Islam kontemporer.1 Persoalannya: sering kali perdebatan yang terjadi menyebabkan salah satu pihak menyesatkan kawan bicaranya tanpa terlebih dahulu menimbang persoalan yang diperdebatkan, apakah hal itu termasuk di antara hal yang tidak boleh diperselisihkan atau sebaliknya? Dalam konteks inilah, diskusi mengenai konsep tauhid dalam pandangan Al-Asy’ari dan Ibn Taymiyah menemukan relevansinya. Konsep ini dipilih mengingat tauhid ini adalah persoalan mendasar dalam Islam. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah karena kekuranghati-hatian dalam menilai, sering kali hal ini menjadi alat pengkafiran terhadap kelompok yang lain.
Tulisan ini memaparkan cara Imam Al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah merumuskan konsep tauhid serta menguraikan persamaan dan perbedaan di antara keduanya. Catatan penting dari perbandingan ini adalah perbedaan di antara kedua rumusan tersebut tidak sampai mengeluarkan salah satunya (serta pengikutnya) dari Ahlussunnah. Oleh karena itu, sebelum pembahasan konsep tauhid keduanya dipaparkan, terlebih dahulu akan dibentangkan pengertian ahlussunnah dan tolak ukurnya. Setelah itu, dipaparkan, secara terpisah, konsep tauhid menurut Imam Al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah.
Pembahasan makalah ini diakhiri dengan beberapa catatan mengenai perbandingan sekilas konsep tauhid menurut keduanya dan sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam sekarang. Pandangan keduanya sebisa mungkin dipaparkan menggunakan kutipan dari sumber utama untuk meminimalkan penafsiran penulis. Khusus untuk pandangan Imam Al-Asy’ari, gagasan dari para pengikutnya juga akan dikutip dalam tema-tema yang tidak secara khusus dibicarakan oleh beliau. Pembahasan mengenai gagasan Ibn Taymiyyah hampir seluruhnya didasarkan atas karya beliau sendiri. Dengan demikian, tulisan ini adalah kajian deskriptif yang ditujukan tidak untuk mengevaluasi pandangan keduanya.
Ahlussunah wal Jama’ah
Sebutan Ahlussunah wal Jama’ah mengandung penyandaran kepada dua hal, as-sunnah dan al-ja-ma‘ah. Pengertian yang pertama adalah segala yang dinisbatkan kepada Nabi SAW, baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun sifat fisik dan non-fisik.2 Di dalamnya, tercakup pula sunnah al-khulafa’ ar-rasyidin.3 Makna al-jama’ah adalah ulama yang otoritatif pada setiap masa.4 Dengan demikian, yang termasuk ahlussunnah wal jama’ah adalah umat Islam yang pemahaman dan pengamalan agamanya didasarkan pada pemahaman dan pengamalan para Sahabat serta sebagaimana yang difahami dan diamalkan oleh generasi kemudian secara berkelanjutan yang bersandar pada mata rantai keilmuan (sanad) yang tidak terputus5 sampai pada Nabi SAW, baik dalam pandangan dan pemahaman (madzahib) maupun metode memahami (manahij al-fahm wa al-istinbath). Yang penting untuk ditekankan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip interaksi intelektual dan kebudayaan dalam mengadopsi dan mengadaptasi hal-hal baru yang ditemui terutama oleh tiga generasi pertama.
Selain istilah ahlussunnah wal jama’ah, terdapat beberapa ungkapan lain yang bermakna serupa yang juga digunakan dalam hadits, seperti al-sawad al-a‘zham6, ma ana ‘alayhi wa ashhabi7, dan al-jama‘ah8. Istilah-istilah ini merujuk pada pengertian yang sama, yaitu semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan para Sahabat RA. Ahlussunnah wal jama’ah merupakan mayoritas umat Islam dalam setiap masa. Seperti yang diindikasikan oleh jawaban Imam Malik RA (w. 179/795) ketika ditanya tentang Ahlus-sunnah wal jama’ah, “Mereka yang tidak punya sebutan tertentu: bukan jahmi, bukan qadari, dan juga bukan rafidliâ€9. Dengan demikian, mereka adalah mayoritas umat Islam yang pemahaman agamanya diwarisi dari generasi sebelumnya dengan silsilah sanad yang sampai pada Nabi SAW dan para Sahabat RA, bukan mereka yang membuat pandangan atau cara berpikir yang tidak dikenal oleh generasi sebelumnya, yang membuat mereka terpencil dari sebagian besar umat Islam.
Dalam konteks ini, yang perlu difahami adalah perbedaan antara dalil yang bersifat pasti (qath‘iyat) dan yang tidak (zhanniyat). Yang pertama adalah yang disepakati para Sahabat RA, yang pasti berlandaskan Wahyu, sedangkan yang kedua berada dalam wilayah yang diperselisihkan oleh para Sahabat maupun ulama sesudah mereka karena ketiadaan dalil yang bersifat pasti, makna dan transmisinya sekaligus (qath‘iy al-dalalah wa al-wurud).10 Dengan demikian, Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalil dalam Islam perlu dimengerti dalam matriks qath‘iy-zhanniy dan dalalah-wurud. Walhasil, ayat Al-Quran maupun hadits yang bersifat pasti, transmisi dan maknanya (qath‘iy al-wurud wa al-dalalah), adalah satu-satunya jenis dalil dalam kerangka ini yang menghasilkan produk yang tidak boleh diperselisihkan dan harus disepakati, baik dalam masalah keyakinan maupun amaliah. Tiga jenis dalil yang lain (yang pasti maknanya, namun tidak pasti transmisinya; yang tidak pasti maknanya, namun pasti jalur transmisinya; yang tidak pasti makna dan transmisinya), secara umum, berpeluang untuk difahami secara berbeda.
Tauhid Menurut Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
Dalam pemaparannya mengenai aqidah ashhab al-hadits dan ahl al-sunnah, Imam Al-Asy’ari menulis â€Bahwa Allah SWT Tuhan Yang Esa (Wahid), Tunggal (Fard), Maha Mutlak (Shamad) tidak ada tuhan selain-Nyaâ€.11 Pengertian tauhid menurut Al-Asy’ari yang dielaborasi lebih lanjut oleh Ibn Furak (w. 406/1015), yang meringkas pandangan-pandangan Al-Asy’ari, menyatakan bahwa makna wahid dan ahad adalah menyendiri yang berarti ‘penafian terhadap yang menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat’, â€Karena Dia dalam Dzat-Nya tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai, dan dalam pengaturan-Nya tidak ada sekutuâ€.12 Lebih lanjut, Imam Al-Haramayn (w. 478/1085) menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara argumentatif keesaan Allah SWT dan bahwa tidak ada Tuhan selain-Nya.13
Dalam membuktikan keesaan Allah SWT, Imam Al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasarkan kepada ayat Al-Quran. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, beliau terlebih dahulu mengutip surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah Al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat di atas.14 Dalam bukunya yang lain, Imam Al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT dan diakhiri dengan kutipan surah Al-Anbiya’ ayat 22.15 Dengan demikian, pendekatan yang beliau gunakan dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan unsur akidah yang lain menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional, suatu hal yang kemudian menjadi ciri pengikutnya.
Penjabaran Imam Al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek: dzat, shifat dan af‘al (perbuatan).16 Yang pertama bermakna bahwa Allah SWT Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya. Hujah untuk hal ini adalah Al-Quran surah Al-Syura ayat sebelas (11) dan surah al-Ikhlas ayat empat (4) yang dilanjutkan dengan penalaran rasional bahwa keserupaan Allah dengan makhluk akan memiliki konsekuensi kebaharuan dan kebutuhan terhadap pencipta atau berkonsekuensi bahwa dahulunya makhluk yang menyerupai-Nya, keduanya mustahil bagi Allah SWT.17 Singkatnya, tauhid dzat adalah mengesakan Allah SWT, dalam dzat-Nya tidak tersusun dari elemen-elemen, internal maupun eksternal, dan tidak ada yang menyamai dan menyerupai dzat-Nya.
Yang kedua adalah tawhid al-shifat, sifat ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam Al-Quran dan Hadits, yang afirmasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan penyerupaan (tasybih) karena sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana dzat-Nya tidak seperti dzat makhluk.18 Sifat-sifat ini bukanlah sesuatu yang baharu (muhdats) atau menyerupai sifat sesuatu yang baharu karena yang demikian akan berkonsekuensi ketiadaan sifat itu sebelum ia ada, yang mengeluarkannya dari ketuhanan.
Salah satu konsekuensi dari tauhid sifat adalah penafian terhadap penggambaran (takyif). Imam Al-Asy’ari menegaskan bahwa Ahlussunnah bersepakat untuk “menyifati Allah SWT dengan seluruh sifat yang diatribusikan oleh-Nya dan utusan-Nya, tanpa penentangan, tanpa penggambaran, dan bahwa beriman terhadap-Nya adalah wajib, dan meninggalkan penggambaran adalah keharusanâ€.19 Pendeknya, Imam al-Asy’ari mendasarkan pandangannya dalam masalah ini pada ayat Al-Quran dan Hadits dengan menghindari penyerupaan (tasybih).
Selanjutnya adalah tawhid al-af‘al, mengandung pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT dan bahwa perbuatan makhluk diciptakan oleh-Nya.20 Imam Al-Baqillani (w. 402/1013) mengelaborasi lebih lanjut pengertian tauhid ini ketika menafsirkan surah al-Buruj ayat enam belas (16) dengan menekankan bahwa Allah SWT adalah yang mencipta seluruh perbuatan hamba dan seluruh peristiwa alam.21 Penekanan dari tauhid ini adalah kemutlakan kekuasaan Allah SWT sehingga Dialah satu-satunya yang menciptakan segala makhluk.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tauhid dalam pandangan Imam al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT dalam dzat, sifat, dan perbuatan-Nya. Hal itu berarti bahwa Allah adalah Maha Esa dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen yang beliau gunakan didasarkan kepada Al-Quran dan Hadits yang dielaborasi secara rasional.