Keberadaan jiwa manusia, kerap diabaikan dalam berbagai kajian mengenai manusia. Dalam sosiologi, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu (Barat) lain yang mengkaji manusia, kewujudan jiwa sering kali tak diakui. Manusia dianggap sebagai makhluk material belaka dan tak memiliki sisi batin. Paling tidak, entitas batin manusia sering kali tak jelas kedudukannya dalam sekian ilmu-ilmu tersebut.
Persoalan ini tentu saja telah menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Pada satu sisi, Islam menekankan pentingnya jiwa bagi kehidupan manusia, bahkan jiwa dipandang sebagai hakikat manusia. Di sisi lain, kehadiran jiwa yang di akhirat kelak akan mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan, seperti tak hadir dalam ilmu-ilmu yang mengkaji manusia. Di tingkat keseharian, keterpecahan pemahaman seperti ini lebih terasa. Penanggulangan persoalan-persoalan kemanusiaan (kejahatan, penyimpangan, amoralitas, dan lain-lain) justru seringkali mengabaikan pentingnya keberadaan jiwa. Penyelesaian masalah-masalah tersebut kerap berkutat di seputar penataan perangkat hukum, peningkatan penghasilan, dan hal-hal material lain.
Redaksi nuun.id melakukan wawancara melalui surat elektronik kepada Kang Arif Munandar Riswanto, khusus membahas masalah ini. Kang Arif mengkaji persoalan keadilan (yang berkaitan erat dengan jiwa) dalam tesis masternya di Centre for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (CASIS), sebuah program Pascasarjana di Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Di sela-sela kesibukannya menyelesaikan pendidikan Doktoral di tempatnya menyelesaikan program Pascasarjana, Kang Arif telah berkenan menyempatkan diri untuk menjawab beberapa pertanyaan dari tim nuun.id.
Berikut wawancara kami dengan Kang Arif.
Kang Arif menulis tesis tentang konsep jiwa dalam pandangan Fakhrudin Ar-Razi. Apa yang membuat Anda tertarik melakukan kajian mengenai tokoh ini, khususnya mengenai konsep jiwa yang beliau ungkapkan?
Sebetulnya bukan tentang jiwa, tetapi tentang keadilan. Tapi dalam banyak hal, hakikat keadilan ini sangat berkaitan erat dengan hakikat jiwa manusia. Meminjam Bahasa Prof. Al-Attas (Professor Syed Muhammad Naquib Al-Attas), justice and injustice begin and end with the self.
Adapun tentang ketertarikan, ada asal muasalnya. Begini, ketika awal belajar di CASIS, saya sudah memiliki rancangan sendiri tentang tesis yang akan saya tulis. Suatu hari, saya berkonsultasi dengan Prof. Wan (Profesor Wan Mohd Nor Wan Daud). Setelah berbincang cukup lama, Prof. Wan meminta saya untuk menulis konsep keadilan menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi. Jadi, bisa disebut bahwa ini adalah kepercayaan guru kepada murid. Sebagai seorang murid, saya harus melaksanakan kepercayaan dari guru degan baik.
Santri di pesantren, mungkin sudah khatam bagaimana pentingnya adab dalam proses mencari ilmu sebab guru pasti memiliki ilmu, pengalaman, dan pandangan yang lebih dalam daripada murid. Ketika kita ingin belajar di bawah bimbingan seorang guru, berarti kita telah memberikan kepercayaan kepada guru tersebut untuk senantiasa membimbing dan mendidik kita. Oleh karena itu, ketika Prof. Wan memberikan kepercayaan kepada saya untuk menulis konsep keadilan menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, saya menyanggupinya. Apalagi Prof. Wan sering memberikan nasihat kepada murid-muridnya, kalau menulis, tulis sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah, dan di antara masalah besar pada zaman sekarang adalah masalah tentang keadilan.
Singkatnya, semakin lama saya membaca pandangan Ar-Razi tentang keadilan, saya semakin banyak mendapatkan maklumat bahwa keadilan itu berhubungan erat dengan jiwa manusia. Sederhananya seperti ini: jika kita tidak bisa melakukan keadilan kepada diri sendiri, bagaimana mungkin kita bisa melakukan keadilan kepada orang lain? Dan apa yang dimaksud dengan diri di sini adalah jiwa manusia, yaitu hakikat manusia yang dalam bahasa Imam Ar-Razi: ketika manusia berkata aku.
Sebenarnya, seperti apa gagasan Imam Ar-Razi mengenai jiwa manusia? Apa yang paling khas dari pemikiran beliau?
Pemikiran Imam Ar-Razi tentang jiwa manusia, pada hakikatnya, mencerminkan kelanjutan tradisi panjang mengenai satu konsep besar dalam tradisi pemikiran Islam, yaitu manusia. Oleh sebab itu, kita akan mendapatkan pandangan yang identik tentang jiwa manusia antara Imam Ar-Razi dengan ilmuwan-ilmuwan besar Muslim sebelum beliau seperti Ibn Sina, Ibn Miskawayh, Abul Barakat dan Imam Al-Ghazali. Oleh sebab itu, ketika menjelaskan hakikat jiwa manusia, kita akan melihat definisi yang hampir sama antara seorang ilmuwan Muslim dengan ilmuwan Muslim yang lain, termasuk Imam Ar-Razi.
Tentang hal ini, guru saya, yaitu Dr. Wan Suhaimi Wan Abdullah, telah menulis tesis tentang psikologi jiwa manusia menurut Abul Barakat. Ini yang disebut tradisi dalam Islam. Satu konsep besar dijaga, ditafsirkan, dan diajarkan oleh satu generasi ke generasi lain. Untuk konteks zaman sekarang, Prof. Al-Attas adalah ilmuwan besar Muslim yang meneruskan tradisi tersebut. Bisa dibayangkan, jika para ilmuwan Muslim memiliki pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia (seperti yang terjadi di Barat), setiap Muslim pasti akan bingung tentang hakikat dan tujuan dari penciptaan dirinya di muka muka bumi ini. Singkatnya, akan bingung tentang siapa “akuâ€, kemana “aku†harus melangkah, apa tujuan “aku†diciptakan di dunia ini, dan lain-lain. Dengan kata lain, ajaran tentang hakikat manusia mesti ajeg, tidak boleh berubah seiring perubahan zaman dan konteks. Sebab, hakikat manusia dari zaman Nabi Adam sampai hari kiamat adalah sama.
Yang menarik dari pemikiran Imam Ar-Razi tentang jiwa manusia adalah ketika beliau menjelaskan hubungan antara jiwa dan tubuh. Menurutnya, jiwa itu sangat mencintai tubuh dan benci untuk meninggalkannya. Karena sangat mencintai tubuh, jiwa tidak pernah lelah untuk menemani tubuh meskipun pertemanan tersebut terjadi dalam waktu yang sangat lama. Hubungan antara jiwa dan tubuh adalah hubungan antara kekasih yang penuh cinta dengan yang dicintai. Hubungan tersebut tidak berhenti selama tubuh siap untuk selalu terhubung dengan jiwa.
Agar menjadi sempurna, jiwa harus dilengkapi alat-alat. Alat-alat tersebut yang kita sebut sebagai organ tubuh. Jika jiwa ingin melihat sesuatu, ia akan menyuruh mata untuk melihat, jika ingin mendengarkan sesuatu, ia akan meminta telinga untuk mendengar, dan seterusnya. Jadi, jiwa adalah pusat dan yang mengendalikan semua organ tubuh. Di sini, kita bisa melihat bahwa pelaku sebenarnya sebuah perbuatan adalah jiwa, bukan organ tubuh.
Oleh sebab itu, esensi sebenarnya dari manusia adalah jiwa. Sebab, jika manusia didefinisikan oleh organ-organ tubuhnya, ia tidak akan disebut “seorangâ€, tetapi “banyak orangâ€. Bahkan ketika seseorang mengatakan “perbuatan aku†dan “akuâ€, dua ungkapan tersebut merujuk kepada jiwa, bukan kepada organ-organ tubuh. Meskipun organ-organ tubuh melakukan sebuah perbuatan (seperti melihat, mendengar, membaca, menulis, dan lain-lain), tetapi mereka hanya wasilah dan pesuruh yang digunakan untuk melaksanakan perintah jiwa. Semua perbuatan tersebut pada akhirnya akan kembali kepada jiwa. Al-Quran pun telah menjelaskan bahwa kelak yang akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di hari Akhir adalah jiwa, bukan organ tubuh. Organ tubuh hanya bertugas sebagai saksi bagi segala perbuatan yang dilakukan oleh jiwa.
Hal menarik lain yang bisa kita temukan dari pemikiran Imam Ar-Razi tentang jiwa adalah ketika beliau menjelaskan dengan panjang lebar tentang kekuatan wahm atau estimasi yang ada di dalam diri manusia. Menurut beliau, kekuatan tersebut muncul dalam bentuk dua nafsu: kekayaan dan kekuasaan. Kelak, kekuatan tersebut akan melahirkan kesenangan imajinatif atau al-ladzdzat al-khayaliyyah, kesenangan yang tidak akan mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki. Karena bersifat wahm, Ar-Razi menyebut kesenangan tersebut sebagai kesenangan yang bersifat syaithaniyyah. Apa yang dijelaskan oleh Ar-Razi tentang wahm sangat sesuai dengan konteks bangsa Indonesia, di mana pertarungan politik, korupsi, money politics, dan lain sebagainya semakin merajalela. Orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan dan harta adalah orang-orang yang memiliki watak setan.
Jika dibandingkan dengan gagasan mengenai jiwa dalam psikologi barat modern, apa perbedaan mendasar antara konsep jiwa manusia dalam Islam (khususnya menurut Ar-Razi) dan konsep jiwa dalam psikologi Barat modern?
Manusia dalam pandangan Barat modern adalah manusia yang tidak memiliki jiwa. Lihat seluruh ilmu-ilmu modern yang berkembang di Barat, baik itu psikologi, biologi, sosiologi, antropologi, dan sejarah, seluruh ilmu tersebut melihat manusia sebagai makhluk tanpa jiwa yang hidup di dunia saja. Tulang, kulit, suara, wajah, perut, seks, dan lain-lain adalah hal-hal penting yang dilihat oleh Barat dari manusia.
Berbeda dengan Islam, esensi manusia adalah jiwa. Kita, tadi, telah berbincang tentang posisi sentral jiwa bagi manusia. Bahkan Prof. Al-Attas memasukkan hakikat manusia sebagai salah satu unsur penting metafisika Islam, seperti yang bisa kita baca dalam salah satu karyanya yang berjudul Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Manusia itu bukan makhluk yang memiliki unsur fisik yang hidup dan terlibat dalam sejarah di dunia saja. Islam mengajarkan bahwa sebelum dilahirkan ke dunia ini, manusia sudah terikat perjanjian dengan Allah di alam alastu, seperti yang dijelaskan dalam Surat Al-A’raf ayat 172. Setelah mengikrarkan perjanjian di alam alastu, manusia kemudian hidup di dunia, tempat di mana segala ujian hidup terjadi. Tapi, Islam juga mengajarkan bahwa setelah hidup di dunia ini, manusia pun akan memiliki kehidupan di akhirat.
Jadi, ada tiga fase yang dilalui oleh manusia dalam kehidupan ini: alam alastu, alam dunia, dan alam akhirat. Ajaran-ajaran dasar tentang manusia seperti itu yang tidak kita dapatkan dalam framework Barat modern. Framework tersebut yang kemudian mewarnai ilmu-ilmu Barat modern, termasuk psikologi. Lihat saja kajian tentang pendidikan karakter yang sekarang menjadi isu menarik di dunia pendidikan, apakah kajian tersebut memasukkan juga ajaran tentang hakikat jiwa manusia? Padahal seperti yang telah dijelaskan tadi, jiwa adalah unsur asasi dari manusia. Karena tidak memberikan perhatian besar kepada hakikat jiwa manusia, isu-isu yang menjadi tema pendidikan karakter adalah isu-isu sosial yang menjadikan masyarakat dan negara sebagai pusat. Ini yang disebut sebagai framework Barat modern-sekuler.
Saat ini, kajian-kajian psikologi lebih didominasi pandangan yang sekuler tentang diri manusia. Bahkan, kecenderungan di banyak tempat lebih tereduksi lagi ke arah Behaviorisme. Menurut Kang Arif, apa konsekuensi dari merebaknya kecenderungan kajian yang sekuler atas manusia ini?
Konsekuensinya, jika framework-nya sekuler, manusianya pun pasti akan menjadi sekuler. Framework seperti itu melihat manusia tidak ubahnya seperti hewan, yaitu makhluk tanpa jiwa hasil dari proses evolusi atau historisasi yang hidupnya di alam dunia saja. Menolak agama dan metafisika atau menerima LGBT dari pandangan seperti itu adalah hal yang lumrah. Fenomena seperti itu bisa kita lihat di sekeliling kita. Akhlak, kebaikan, dan kebahagiaan kemudian direduksi dalam ruang lingkup nilai-nilai sekuler yang dibatasi dalam lingkup masyarakat dan negara. Tidak aneh, lagu-lagu toleransi, kemajemukan, pluralisme, kesetaraan, HAM semakin nyaring terdengar. Lagu-lagu tersebut dianggap sebagaimana ajaran ushul dalam Islam. Orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai tersebut dianggap sebagai orang-orang yang tidak berakhlak karimah. Bahkan rahmatan lil ‘alamin pun di-hijack maknanya dalam ruang lingkup nilai-nilai sekuler, masyarakat, dan negara. Ini konsekuensi dari manusia sekuler.
Umat Islam sendiri, khususnya di Indonesia, nampak belum memberikan perhatian yang memadai mengenai isu ini. Menurut Kang Arif, bagaimana masa depan kajian mengenai konsep jiwa dalam Islam dan apa tantangannya?
Yang pasti, kajian tentang psikologi jiwa manusia masih belum mendapatkan perhatian serius. Masyarakat Muslim kita masih melihat aspek hukum atau legal-formal sebagai hal yang paling penting untuk dipelajari dalam agama. Perbedaan furu’iyyah, kadang-kadang, dijadikan perbedaan ushuliyyah. Jika seperti itu, maka umat Islam akan lebih fokus kepada hukum, bukan manusia. Padahal, di balik hukum, ada manusia sebagai subjek yang membuat hukum. Artinya, jika manusianya belum baik, sebaik apa pun hukum yang dibuat, pasti bisa diakali.
Lihat kondisi bangsa kita saat sekarang, banyak isi dari hukum kita yang bagus, tetapi kenapa tindakan kejahatan masih sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita? Jika sebuah bangsa terlalu sibuk dengan perkara hukum, biasanya ada yang salah dalam bangsa tersebut. Sebab, hukum dibuat untuk mengatur manusia. Jika manusia masih perlu diatur oleh hukum, apalagi hukum yang sangat ketat, berarti manusia tersebut belum mampu menjadi manusia yang baik.
Adapun tentang tantangan, jelas salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam pada zaman sekarang adalah tantangan framework yang datang dari tradisi Barat. Sampai sekarang, framework Barat masih dominan dalam kajian-kajian keislaman, termasuk psikologi. Ini tantangan eksternal. Adapun tantangan internal, umat Islam sekarang sudah terputus dari sejarah dan tradisi. Ini akibat gerakan modernisme yang terjadi di dunia Islam. Akibatnya, umat Islam terputus dari sejarah intelektual sendiri.
Pada kehidupan sehari-hari, fenomena apa yang menunjukkan bahwa kajian mengenai jiwa dalam pandangan Islam sangat penting untuk dilakukan?
Penting untuk dikaji dan difahami dengan baik, sebab ia memiliki hubungan yang sangat erat dengan jati diri manusia. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, ia adalah ajaran tentang siapa, untuk apa, dan ke mana manusia akan melangkah. Mengenal diri sendiri lebih sulit daripada mengenal orang lain. Lihat para pejabat yang setiap hari teriak tentang keadilan tapi mereka sendiri tidak bisa adil terhadap diri sendiri. Apakah kita bisa berharap banyak dari pemimpin politik yang tidak tahu tentang hakikat diri mereka sendiri? Apakah orang-orang yang bisa memimpin orang lain tetapi tidak bisa memimpin diri sendiri bisa diharapkan menjadi pemimpin yang baik? Biasanya, jika kualitas pemimpin sebuah negara seperti itu, negara tersebut akan rusak.
Dan ini yang sedang terjadi di tengah-tengah kehidupan bangsa kita. Pantas, Islam menyebut bahwa mengenal diri sendiri adalah wasilah untuk bisa mengenal Allah, man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa Rabbah. Akar paling mendasar dari kerusakan besar yang terjadi di tengah-tengah kehidupan bangsa adalah karena manusia, bukan karena politik, hukum, ekonomi, nilai-nilai Pancasila yang tidak ditegakkan, kebinekaan yang terkoyak, atau kehidupan toleransi yang semakin memudar. Syauqi Bek pernah membuat syair bahwa sebuah bangsa tergantung kepada akhlak, jika akhlak rusak, bangsa tersebut akan rusak. Dan berbicara akhlak adalah berbicara tentang jiwa manusia.
Apa pesan Kang Arif untuk rekan-rekan yang berminat pada kajian mengenai manusia dalam pandangan Islam?
Pesan ini mungkin bukan hanya khusus tertuju bagi peminat kajian psikologi Islam, tapi lebih luas dari itu, bagi orang-orang yang concern terhadap ilmu-ilmu Islam. Seperti yang telah saya jelaskan tadi, salah satu problem terbesar kita pada zaman sekarang adalah terputus dengan tradisi. Akibat hegemoni framework Barat dalam cara berfikir kita ditambah kelalaian diri kita sendiri, kita seolah-olah terputus dari tradisi. Padahal banyak masalah-masalah besar yang sudah dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim pada zaman dahulu. Tapi, sebab terputus dari tradisi, akibatnya umat Islam kebingungan untuk menjawab segala persoalan besar yang muncul pada zaman ini.
Contohnya adalah topik yang menjadi perbincangan kita sekarang. Berapa persen dari umat Islam yang telah membaca karya-karya ulama kita tentang manusia? Mungkin jawaban akan menjadi lebih kecil jika kita ajukan pertanyaan seperti ini: berapa persen dari umat Islam yang bisa memahami karya-karya ulama kita tentang manusia? Kondisi tersebut diperparah dengan trend modernisme yang menyerang umat Islam, seolah-olah modernisme akan memberikan kemajuan kepada umat Islam. Putus dari tradisi bukan perkara sepele, tapi masalah besar. Pohon jika dirusak akarnya pasti mati. Manusia yang kehilangan memorinya pasti akan disebut gila. Seperti itulah kondisi umat pada zaman ini.
Ringkasnya, bagi generasi muda yang ingin belajar Islam (termasuk psikologi), ada dua jalan yang harus dilakukan: fahami tradisi Islam dan tradisi Barat. Kedua perkara tersebut bukan perkara yang mudah dan singkat, tapi perkara yang panjang dan penuh pengorbanan. Ia sama dengan jihad di jalan Allah. Sebab, ia perlu guru, biaya, niat, rujukan, niat yang ikhlas dari pencari ilmu, dan lain-lain. Sejarah para ulama kita pada zaman dahulu bisa menjadi cermin bagi orang-orang yang memiliki concern terhadap ilmu-ilmu Islam, termasuk psikologi.