Menghidupkan Kembali Ruh Pendidikan Kita
Bagikan

Menghidupkan Kembali Ruh Pendidikan Kita

Meski secara politik bangsa-bangsa Muslim telah lama merdeka, akan tetapi kesan penjajahan fikiran ini masih bisa kita rasakan, khususnya di dunia pendidikan dan lebih khusus lagi di dunia pendidikan tinggi.

Judul Buku        : Peranan Universiti, Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan              
                                 Penafijajahan (terjemah Melayu dari Islamization of Contemporary
                                 Knowledge and the Role of the University in the Context of     
                                 De-Westernization and Decolonization).

Penulis               : Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud.
Penerbit             : CASIS dan HAKIM, Kuala Lumpur, 2017.
ISBN                    : 978-967-14031-1-2.
Ukuran               : 14 x 21 cm, x + 127 hlm.


Universitas di negeri-negeri Muslim sebenarnya menampilkan dua wajah yang antagonistik. Pada satu sisi kita menyadari pentingnya peran universitas dalam pembangunan manusia dan kebudayaan suatu bangsa. Bahkan Universitas hari ini berperan amat penting dalam geo-strategi negara-negara di dunia. Universitas memiliki peran arkitektonik dalam pembangunan sebuah bangsa. Ia seperti sebuah sketsa masa depan, peta bagi sebuah bangsa untuk menelusuri nasibnya sendiri.

Namun di sisi lain kita menyadari bahwa cengkeraman sekularisme, westernisme dan sisa-sisa kolonialisme amat melekat dalam tubuh pendidikan tinggi kita. Belum lagi persoalan-persoalan pengindustrian pendidikan tinggi yang semakin menjauhkan universitas dari sum-sum falsafah pendidikan Islam. Kita melihat pendidikan kerap terseok dalam suasana jual-beli jasa pengajaran yang menipiskan peran pembangunan sisi-sisi batin manusia dan bangsa. Universitas-universitas di negeri Islam akhirnya menjadi seperti sebuah pakaian yang keliru dan tidak cocok untuk seorang Muslim. Tak mungkin ditanggalkan namun juga tak menunjukkan jati diri.

Professor Wan Mohammad Nor Wan Daud telah lama berkecimpung dengan persoalan di atas. Sejak dekade 1980, Prof. Wan (begitu ia biasa disapa) telah mencoba menghadirkan kembali elan vital pendidikan Islam, khususnya di perguruan tinggi. Bersama guru sekaligus sahabatnya, Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prof. Wan banyak mengarungi berbagai jalan perjuangan untuk mengembalikan ruh Islam di alam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di dunia Melayu.

Profesor kelahiran 23 Desember 1955 ini ialah penafsir gagasan Syed Naquib al-Attas yang paling penting. Selain bergumul dengan gagasan-gagasan Prof. Al-Attas, Prof. Wan pun terlibat dalam banyak dialog dengan gurunya dan turut serta memperjuangkan gagasan tersebut dalam karya monumental bangsa Melayu bernama ISTAC. Dunia tidak akan pernah melupakan bahwa orang Melayu pernah mendirikan sebuah pendidikan tinggi yang memiliki kedalaman lahir batin di bidang keilmuan. Prof. Wan tentu saja terlibat di dalamnya secara langsung sebagai pendamping Prof. Al-Attas.

Peranan Universiti, Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratan dan Penafijajahan merupakan buku penting Prof. Wan mengenai gagasan pendidikan Islam, khususnya mengenai universitas. Buku ini berasal dari kertas pidato Prof. Wan dalam “Siri Syarahan Perdana Profesor Universiti Teknologi Malaysia” pada 26 Juni 2013 yang berjudul Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization. Prof. Wan memang sempat bertugas di UTM sebagai Direktur Pendiri Centre for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (CASIS). Edisi bahasa Melayu kemudian terbit pada 2017, sementara Universitas Ibn Khaldun pernah menerbitkan edisi bahasa Indonesia dari karya ini pada 2014.

Di dalam buku ini kita akan mendapati pokok bahasan penting mengenai persoalan universitas, bukan hanya di Malaysia tetapi juga di negeri-negeri Muslim yang lain. Untuk keadaan Indonesia, buku ini mengandung banyak relevansi yang bermanfaat. Kita berhadapan dengan dua sisi yang saling antagonistik di universitas, peranannya yang amat penting dalam pembangunan bangsa, sekaligus tantangan sekularisme akut yang terkandung di dalamnya.

Buku ini dimulai dengan penjelasan dua sisi universitas tersebut. Dalam bagian yang diberi judul unik “Kepentingan Arkitektonik dan Strategik Pendidikan Tinggi” kita akan mendapati paparan padat berisi mengenai peran penting pendidikan, khususnya universitas, baik bagi perorangan mau pun masyarakat. Geo-strategi sebuah bangsa tak lepas dari peran universitas. Tak heran apabila negara-negara besar dunia amat memberi perhatian pada persoalan ini. Pendidikan tinggi merupakan sarana penting untuk mengukuhkan sekaligus menyebarkan pandangan hidup suatu bangsa. Sebab sebuah tujuan pendidikan tentu menayangkan pandangan hidup sebuah bangsa.

Pembahasan pentingnya peranan universitas ini kemudian disusul bagian kedua berjudul “Penafijajahan dan Penafibaratan Ilmu dan Pendidikan”. Penafijajahan ialah padanan bagi kata Inggris decolonization, sementara penafibaratan dimaksudkan sebagai padanan bagi de-Westernization. Suatu ikhtiar pemadanan yang juga menunjukkan semangat kata yang disebut. Bangsa Melayu tentu layak berfikir dengan bahasanya sendiri, dan bahasa Melayu tentu cukup dan mampu untuk menayangkan persoalan-persoalan filosofis tanpa perlu bergantung secara akut kepada bahasa Inggris.

Meski demikian penafijajahan dan penafibaratan tentu saja tidak sesederhana pencarian padanan kata-kata Inggris kepada bahasa sendiri. Lebih jauh dari itu penafijajahan dalam dunia ilmu pengetahuan (secara sederhana) dapat dimaknai sebagai suatu usaha dari suatu bangsa, untuk berfikir dengan cara berfikir bangsanya sendiri. Kita bisa mengingat bahwa kolonialisme tidak hanya merampas kebebasan politik dan ekonomi suatu bangsa, tetapi ia telah menjajah fikiran bangsa tersebut. Para penjajah secara rasialis telah menetapkan cara berfikir bangsanya sebagai cara berfikir paling utama dan paling layak bagi manusia. Tata fikir dan falsafah yang mereka anut ini kemudian dipaksakan secara kasar kepada bangsa jajahan, melalui pendidikan, berbagai kebijakan politik dan juga kepentingan ekonomi.

Meski secara politik bangsa-bangsa Muslim telah lama merdeka, akan tetapi kesan penjajahan fikiran ini masih bisa kita rasakan, khususnya di dunia pendidikan dan lebih khusus lagi di dunia pendidikan tinggi. Dunia akademik di negeri-negeri Muslim dikuasai oleh sebuah pandangan hidup sekular khas Barat yang terwariskan dari masa penjajahan. Kita merasakan bahwa pandangan hidup Barat ini lah yang telah membelenggu bangsa-bangsa di dunia. Ia seperti berdiri angkuh dalam masa 100 tahun lebih sebagai satu-satunya pandangan hidup yang layak bagi manusia sembari menyisihkan pandangan hidup lain sebagai tak layak hadir di dunia akademik.

Penafijajahan sekaligus penafibaratan sebenarnya sesuatu yang syah secara filosofis dan juga amat wajar bagi kemanusiaan. Bangsa-bangsa di dunia seperti Cina, Afrika, India dan lain-lain sebagainya telah menyadari bahwa mereka memiliki cara berfikir tersendiri dan karenanya tidak perlu menggunakan pandangan hidup bangsa Barat untuk meneroka persoalan-persoalan mereka sendiri.

Islamisasi Ilmu Semasa (Islamization of Kontemporary Knowledge) tentu saja sesuatu yang berbeda dengan proyek pos-kolonial atau yang semacamnya. Ia memiliki tatanan falsafahnya sendiri. Meski bisa jadi memiliki semangat awal yang sama, tetapi ada perbedaan pokok dalam keduanya. Salah satu gagasan penting Prof. Al-Attas ini tidak hanya berkutat pada cangkang-cangkang penafijajahan dan penafibaratan, melainkan telah pula masuk ke dalam sum-sum persoalan dalam masalah wujud (metafisika), falsafah ilmu dan kedudukan agama. Penjelasan ringkas namun jernih mengenai persoalan ini dapat kita temui pada bagian “Islamisasi Ilmu Semasa” di buku Peranan Universiti ini.

Peranan arkitektonik universitas, penafijajahan serta penafibaratan yang kemudian disambung dengan Islamisasi ilmu semasa menghadirkan suatu jalinan tata berfikir yang kontemplatif. Dari paparan persoalan pendidikan dalam pengalaman keseharian, kita diajak mengembara kepada abstraksi-abstraksi luhur persoalan pendidikan. Hingga akhirnya kita bertemu dengan faham perubahan dan pembaharuan yang menjadi sari falsafah barat dan diam-diam mengalir merembesi tata hidup bangsa Muslim. Termasuk dalam persoalan pendidikan.

Faham perubahan, pembaharuan dan pembangunan memang mengalir deras di dunia Muslim bersama hadirnya kolonialisme. Kita mengenal sebuah diktum yang terkenal: segala sesuatu itu berubah, tidak ada yang kekal; yang kekal hanya perubahan itu sendiri. Maka bangsa-bangsa jajahan ‘dipaksa’ untuk menganut faham perubahan dan pembaharuan ini. Masa lalu kerap dipandang dengan sumir, masa kini dilihat sebagai sesuatu yang paling nyata dan masa depan diimpikan sebagai tempat segala harapan akan kesempurnaan.

Bangsa Muslim pun terpengaruh untuk memperbaharui diri, mengejar ketertinggalan, merombak tatanan dan terjun ke dalam modernisme. Hal ini menyisakan persoalan. Haruskah umat Islam mengubah dirinya agar tak ketinggalan zaman? Ataukah ajaran Islam itu yang malah harus diubah agar bersesuaian dengan semangat zaman? Haruskan Islam tunduk pada sejarah dan perkembangan zaman? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibahas secara terang dalam bagian “Pergerakan Teguh (Dynamic Stabilism)”. Dapat dikatakan, Pergerakan Teguh ialah sumbang gagasan penting Prof. Wan bagi dunia pemikiran Islam masa kini. Beliau berhasil mengurai persoalan pembaharuan Islam dan modernisme dengan tenang dan jernih. Suatu penjelasan penting untuk memahami tradisi Islam dan kemodernan.

Setelah menelaah keadaan nyata universitas-universitas di negara Muslim (dan juga berbagai negara); memberi kritik yang tajam pada praktik dan falsafah pendidikan universitas-universitas sekular ; menjawab persoalan-persoalan falsafi dalam pendidikan; Prof. Wan tentu tak lupa untuk menyatakan “Konsep Universitas dalam Islam”. Bagian ini menegaskan bahwa konsep universitas dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari falsafah Islam mengenai Tuhan, manusia, keadaan wujud dan intinya ialah pandangan hidup Islam (Islamic Worlview).

Pembedaan sekaligus kritik terhadap universitas sekular dapat kita lihat dalam bagian ini. Barat senantiasa menitikberatkan tujuan universitas pada hadirnya warga negara yang baik demi terciptanya masyarakat yang sejahtera. Penekanan pada warga negara ini seolah mengikis fungsi kemanusiaan lain, seperti kedudukan manusia sebagai hamba Tuhan. Persoalan ini meniscayakan pembahasan mengenai hakikat manusia yang tentu terkait dengan tujuan pendidikan. Hal ini dapat kita lihat pada bagian selanjutnya dari buku ini: “Manusia Sempurna dan Universitas Islam”.

Maka kita akan melihat tujuan pendidikan dalam Islam sesungguhnya ialah melahirkan “Insan Adabi (Man of Adab)”. Manusia yang menyadari kedudukannya dihadapan Tuhan, dirinya sendiri, manusia lain dan keseluruhan keberadaan diri serta mampu bersikap tepat atas kedudukannya tersebut. Prof. Wan menjelaskan dengan rinci prototipe insan adabi dalam bagian “Insan Adabi (Man of Adab)”.

Apakah dengan demikian tata pendidikan Islam melupakan peran individu dalam masyarakat? Bagian terakhir buku ini, “Pembangunan Masyarakat”, menjawab persoalan tersebut. Peran manusia dalam masyarakat dan tujuan-tujuan bermasyarakat dijelaskan secara rinci oleh Prof. Wan dalam bagian ini.

Bagian-bagian dari buku ini seolah mengajak kita untuk merenungkan kembali falsafah pendidikan kita. Buku ini juga mengingatkan kita bahwa perenungan-perenungan abstrak tersebut tak hanya merupakan sebuah pengembaraan fikiran yang meluhur luas tak bertepi. Prof. Wan mengajak juga kita untuk melihat kenyataan-kenyataan keseharian tersebut dengan pandangan falsafah yang jernih namun juga tegas menggenggam kebenaran.

Apabila ada satu dua kekurangan yang harus disebutkan dari buku ini, salah satunya ialah kecenderungan berbahasa yang  tak membiasa bagi pembaca Indonesia. Pun ikhtiar untuk mencari padanan Melayu dari kata-kata Inggris memerlukan pembiasaan yang terus menerus.

Pada akhirnya buku ini dapat terus kita telesuri dengan lebih tekun dan teliti untuk keluar dari belenggu sekularisme dan membangun pendidikan kita dengan lebih bersesuaian dengan falsafah pendidikan Islam. Para guru, pengajar dan pelaku pendidikan lain sangat penting untuk membaca buku ini. Kita dapat mulai menata kembali falsafah pendidikan kita dengan merujuk karya ini. Agar kita tak selalu bergopoh membongkar pasang praktik-praktik pendidikan kita, menambal sulam tata ajar kita, sembari lupa bahwa semua itu hanya akibat-akibat dari sebab yang sering kita abaikan.

Sila Tuan dan Puan menikmati buku berharga ini.