Kota pelabuhan pertama yang dihampiri armada Portugis dalam ekspedisi da Gama menuju India adalah Mozambik dan Mombasa (Cliff, 2012, Bab 9). Akan tetapi, kehadiran armada di kedua kota pelabuhan ini tidak diterima dengan tangan terbuka. Mereka kemudian bergerak ke kota pelabuhan Malindi, Kenya. Selama perjalanan menuju India ini, da Gama dan armadanya kerap menaruh curiga pada Muslim. Meskipun mereka mendapati Muslim di wilayah ini lebih ramah dan bersahabat ketimbang yang pernah ditemui sebelumnya, mereka sebisa mungkin menghindari interaksi.
Di Malindi, sultan menyambut hangat kedatangan Vasco da Gama dan menyapanya langsung ke dalam kapal The Berrio. Sultan menggunakan pakaian linen panjang dilengkapi dengan luaran beludru, topi sutra berwarna warni bersulam emas, serta sepasang sepatu sutra. Sementara para pendamping raja menggunakan pakaian berbahan linen dan katun dengan topi berpita sutra dan bersulam benang emas, lengkap dengan “pedang Arab†dan belati yang tersarung di sabuk (Cliff, 2012, hlm 141). Sultan memberikan beberapa hadiah yang dibalas oleh Kapten The Berrio. Inilah interaksi terintim armada da Gama dengan Muslim selama penjelajahan.
Malindi saat itu merupakan kota pelabuhan penting di timur Afrika yang sangat makmur. Baik perdagangan maupun agrarianya maju pesat. Wilayah ini juga termasuk ke dalam kebudayaan Swahili yang banyak mendapat pengaruh dari Islam. Bahasa Swahili sendiri dituturkan secara luas di sub-sahara Afrika. Karena pengaruh Islam tersebut, beberapa kosakatanya mirip dengan Bahasa Melayu, seperti habari (kabar), hakimu (hakim), maiti (orang mati), salamu (salam), imani (iman), dan ijumaa (Jumat).
Mendapati berbagai rempah-rempah di Malindi, Vasco da Gama yakin mereka telah semakin dekat dengan India. Ia pun memanfaatkan keramahan sultan untuk memperoleh navigator yang dapat membantu mereka sampai ke India. Setelah berbagai negosiasi, sultan pun mengirimkan seorang navigator berkebangsaan India yang dianggap beragama Kristen oleh Vasco da Gama (Cliff, 2011, hlm 155). Tujuan mereka setelah memperoleh komoditas perdagangan di India adalah menjalin hubungan politik dengan penguasa di India. Dengan keterbatasan wawasan yang mereka miliki, mereka menyangka para penganut Hindu di India, termasuk penguasa Kalkuta, beragama Kristen.
Orang-orang Portugis ini melihat kumis dan jenggot lebat serta rambut panjang orang-orang India, serta pakaian khas mereka sebagai pakaian Kristen. Mereka bahkan mendengar nyanyian orang-orang India yang memuja Dewa Krisna sebagai sebutan bagi “Christ†atau Yesus Kristus. Hal ini juga pernah disampaikan Raja Manuel (Cliff, 2012, hlm 176) yang berkeyakinan penguasa Kalkuta adalah raja paling agung di timur dan bersekutu dengannya akan membawa banyak keuntungan bagi Kristen.
Navigator yang dikirim sultan Malindi bukan hanya berpengalaman tetapi juga memiliki kemampuan dan pengetahuan yang mumpuni dalam menjabarkan peta pantai India beserta arah angin, arus laut yang akan dihadapi dalam pelayaran, termasuk soal teknologi perkapalan termutakhir. Bahkan navigator ini mengomentari teknologi perkapalan dan bahari kapal-kapal armada Portugis yang sudah lama ditinggalkan oleh para pelayar di jalur perniagaan Samudra Hindia (Cliff, 2012, hlm 155). Mereka meninggalkan Afrika pada Februari 1498 dan tiba di India pada Mei 1498.
Di masa ini, wilayah selatan India belum mendapat pengaruh politik Islam. Meski demikian, Kalkuta yang menjadi salah satu kota pelabuhan tersibuk di jalur perniagaan maritim ini telah menjadi rumah bagi komunitas Muslim untuk waktu yang sangat lama sampai sulit ditelusuri awal mulanya (Cliff, 2012, hlm 173). Pasar di pelabuhan Kalkuta besar, luas, ramai, terbentang dari laut ke daratan dengan berbagai barang bertumpukan dan toko-toko yang buka sampai malam. Kota ini dipimpin oleh seorang raja Hindu yang disebut Zamorin. Meski demikian, para pedagang Muslim telah ada dan terus bertambah sejak masa awal Islam. Saudagar dari Mekah, Kairo, Selat Hormuz, dan Aden (Yaman) telah menetap dan membuat perkampungan Muslim di pantai Malabar serta menikahi wanita-wanita setempat (Cliff, 2012, hlm 172). Keturunan mereka dikenal dengan nama Mappilas (Cliff, 2012, hlm 172).
Armada Portugis mencatat mereka melihat cabe, jahe, kayu manis, obat-obatan, batu-batu mulia, mutiara, biji-biji mutiara, kayu cendana, wewangian musk, piring-piring tembikar, pundi-pundi emas, komoditas dari China seperti ambar, gading, lilin, di pasar ini. Mereka juga menemukan kapas halus dan kasar bermacam warna, benang dan gulungan sutra, benda-benda dari sutra dan emas termasuk pakaian dan karpet, gandum, kirmizi, tembaga, logam cair, berbagai jenis pewarna, juga bermacam selai dan manisan buah, dan rempah-rempah juga barang-barang dari tenggara (Cliff, 2012, hlm 160).
Selayaknya menyambut bangsa-bangsa lain sebagai tamu, kedatangan da Gama disambut baik oleh Raja Zamorin. Dengan keyakinan bahwa Raja Zamorin adalah seorang Kristen, da Gama langsung meminta agar armadanya diberi penginapan di rumah penduduk dan tempat khusus baginya sendiri.
Akan tetapi ketegangan antara perwakilan Raja Zamorin dengan da Gama segera berkobar setelah keesokan harinya da Gama membawa hadiah murahan bagi raja, berupa 12 potong kain bergaris, 4 tudung merah, 6 topi, 6 mangkuk kuningan, sekotak gula, 2 barel minyak, serta 2 tong kecil madu (Cliff, 2012, hlm 168). Hadiah semacam itu dianggap penghinaan terhadap Raja Zamorin yang agung dan kaya raya.
Pada masa itu diplomasi memang perlu dibuka dengan memberi upeti yang paling pantas sebagai tanda penghormatan bagi penguasa setempat. Portugis yang “baru melek†dalam pelayaran samudra benar-benar terlihat seperti pemula yang amat kurang persiapan dan pengetahuan. Saudagar Arab dari Mekah, Persia atau daerah manapun di India memberi emas sebagai hadiah yang layak bagi raja. Konflik pun pecah menjadi peperangan.
Armada da Gama kembali ke Portugis tanpa kesepakatan atau hubungan diplomatik yang menguntungkan. Dalam perjalanan kembali ke Portugis, mereka mengarungi laut Afrika empat kali lebih lama dari perjalanan pergi. Dari 170 awak kapal, hanya 54 awak asli yang kembali dengan selamat. Kendati demikian, da Gama tiba di Portugis dengan mendapat laba 60 kali lipat dari komoditas perdagangan yang diperolehnya di Kalkuta.
Keberhasilan Vasco da Gama ini mengantarkan Portugis menjadi kerajaan paling kaya di Eropa jauh mengungguli Spanyol. Selain itu, hal ini juga berdampak terhadap dua hal. Pertama, ditemukan jalur alternatif bagi bangsa Eropa selain Laut Mediterania dan Jazirah Arab untuk lebih jauh turut dalam pedagangan internasional. Kedua, mendorong bangsa Eropa lain untuk melakukan ekspedisi dan perdagangan yang menguntungkan hingga melakukan kolonialisasi dan menancapkan kuku kekuasannya di berbagai wilayah Asia.
Hasrat gold, glory dan gospel mendorong Raja Manuel untuk segera mengirim ekspedisi susulan demi mengamankan pos perdagangan di Kalkuta. Sejak awal pelayaran, armada Portugis memang kerap mendemonstrasikan kekuatan militer. Namun pada ekspedisi kedua ke India, dengan ketamakan dan anggapan telah unggul, mereka memonopoli perdagangan, memaksa perjanjian, hingga menghancurkan pelabuhan-pelabuhan. Di pos-pos perdagangan dibangun pula benteng dan meriam. Mozambik, Malindi, Kalkuta, dan Malaka adalah jejak-jejak demonstrasi kekuatan militer Portugis.
Bagi bangsa Eropa, Muslim, khususnya bangsa Arab dipandang sebagai pesaing berat yang memonopoli dan mengunci mati perniagaan rempah baik melalui jalur Laut Mediterania maupun jalur samudra. Setelah penaklukan Mesir dan Persia oleh bangsa Arab pada pertengahan abad ke-7 masehi, jalur pelayaran orang-orang Arab telah mandiri dan mereka secara sempurna menguasai perdagangan antarbangsa di antara Timur dan Barat (al Attas, 2011, hlm 1). Dampaknya, jalur perdagangan darat melalui Mesir ditutup dan memutus akses perdagangan Eropa dari Aksum (Ethiopia) dan India. Para saudagar Arab ini mengambil alih distribusi rempah-rempah melalui saudagar Syam dan saudagar Venesia untuk Eropa sampai abad ke-15.
Sementara itu, bangsa Arab tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi setelah kebangkitan Islam di abad ke-7, mereka juga menjelajahi wilayah India, Cina dan Timur Jauh, dan menyajikan laporan geografi, sosial dan politik, agama dan kebudayaan dari tempat-tempat yang mereka kunjungi termasuk informasi navigasi untuk mencapai tempat-tempat itu (al Attas, 2011, hlm 1). Mereka ini pula yang menghubungkan jaringan perdagangan rempah dan komoditas lain dari Timur Jauh dan juga Kepulauan Melayu dengan berbagai wilayah di Asia dan Timur Tengah bahkan Eropa.
Umat Islam, khususnya bangsa Arab memang bangsa terawal yang mengembangkan kenavigasian hingga memegang kendali jalur rempah/jalur perdagangan samudra selama berabad-abad.
Akan tetapi kendali yang dimaksud di sini bukan secara represif seperti peperangan, monopoli perdagangan, eksploitasi besar-besaran, pengambilalihan kekuasaan apalagi memperbudak penduduk asli demi keuntungan bernilai limpah ruah harta. Sembari berdagang, mereka menyebarkan Islam serta beragam kebudayaan dan unsur-unsur peradaban kepada masyarakat di kepulauan nusantara, dan menanamkan kesan yang istimewa di sana (al Attas, 2011, hlm 1). Â
Kehadiran Islam bagi bangsa-bangsa di jalur perdagangan samudra yang membentang dari timur Afrika, ke wilayah tenggara yakni kepulauan Melayu, sampai dataran China sebelah timur memajukan dan mengembangkan ekonomi perdagangan, serta kualitas hidup lainnya melalui budaya ilmu. Seperti yang disebutkan Prof. Tatiana Denisova dalam Historiografi Alam Melayu, Islam memang memiliki potensi yang amat tinggi untuk mengkonsolidasi masyarakat karena membawa konsep tauhid, al-Qur’an, konsep kesamarataan dan persaudaraan ke alam Melayu untuk semua bangsa. Islam adalah suatu sistem yang terbuka untuk para penganut baru, tanpa dibedakan taraf dan pangkatnya di tengah masyarakat (Denisova, 2011, hlm 218).
Selama berabad-abad, tanpa bermaksud memungkiri dinamika politik, perniagaan berbagai bangsa di jalur samudra berjalan dengan damai dan saling menguntungkan, tanpa motif penguasaan atau monopoli ekonomi antarbangsa yang berarti. Bahkan perkampungan saudagar Muslim dari negara-negara Arab, Persia, India dan lainnya muncul di alam Melayu semenjak kurun pertama tahun Hijriyah dan bertahan hingga menjadi kekuatan politik yang besar. Data-data epigrafi Islam terawal, yaitu batu-batu nisan yang terdapat di Sumatera Utara, Semenanjung Malaka, Brunei dan Jawa menunjukkan masa itu merupakan zaman awal sejarah penyebaran Islam di Kepulauan Melayu Nusantara (Denisova, 2011, hlm 218).
Di Guangzhou (atau Kanton, China Selatan), perkampungan Arab telah ada sebelum masa kehidupan Rasulullah (al Attas, 2011, hlm 33). Kedatangan awal Muslim (bangsa Arab) bukan hanya berasal dari Mekah dan Madinah tapi juga dari kerajaan-kerajaan Annam dan Kamboja dan negeri-negeri di sekitarnya yang sering dikunjungi orang-orang Arab, dimulai pada masa awal Dinasti T’ang (618-907) dan ketika Rasulullah masih hidup (al Attas, 2011, hlm 33). Saat itu, kaisar China mengizinkan Muslim untuk mendirikan pemukiman sendiri di Kanton. Di Sarendip (Sri Lanka), saudagar Islam telah mengawali aktivitas ekonomi dan perniagaan sejak abad ke-8 (Thomas Arnold dalam Denisova, 2011, hlm 219). Berbagai bangsa pun melalui jalur ini dan hidup berdampingan dengan lazim. Sebagai agama baru, Islam disebarkan secara berangsur-angsur secara aman dan damai.
Kala ekpedisi da Gama tiba di berbagai pelabuhan jalur perniagaan samudra, penduduk setempat (termasuk Muslim), memperlakukan mereka dengan ramah. Di Kalkuta, Portugis datang dalam keadaan siap perang, tetapi penduduk memperlakukan mereka selayaknya memuliakan tamu. Terdapat catatan, usai menemui Raja Zamorin, Vasco da Gama dan rombongan yang hendak kembali ke kapal tetapi kemalaman diberi tempat istirahat serta makanan berupa nasi berlauk ayam secara cuma-cuma. Perniagaan da Gama di Kalkuta pun tetap dilayani dengan baik hingga memperoleh keuntungan 60 kali lipat. Ungkapan bangsa Arab merahasiakan sumber rempah-rempah atau mengunci mati kesempatan bangsa Eropa berdagang pun dapat pupus mengingat di bawah kekuasaan Islam, perniagaan dengan berbagai bangsa seperti Parsi, Turki, Turkmen, dan Armenia berlangsung secara lazim seperti dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dekat.
Cara pandang yang serba materi, kecurigaan akut dalam memandang manusia, ketiadaan sekutu yang dapat dijadikan aliansi, serta kenyataan Muslim memenuhi jalur perdagangan yang diincar, membuat Portugis dan Spanyol menggunakan kekuatan militer sebagai satu-satunya cara bersaing dan merebut kekuatan ekonomi di jalur perniagaan samudra. Bagi bangsa Eropa, mengungguli kedaulatan ekonomi serta politik yang dibangun dan berlangsung selama berabad-abad di jalur perdagangan maritim mustahil ditempuh dengan cara wajar dan damai. Apalagi kehendak untuk memperoleh keuntungan maksimal dan memperoleh kejayaan ini didasari pula dengan hasrat merampas kekayaan orang Moor (Muslim) yang pernah mengalahkan mereka pada Perang Salib. Demikian pidato Afonso Dalboquerque kepada kapten dan armadanya di serangan kedua ke kota Malaka (terjemahan):
“Yang pertama ini adalah pelayanan agung yang akan kita lakukan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor keluar dari negara ini, dan memadamkan api sekte Mafamede (Muhammad) ini sehingga tidak akan pernah lagi menampakkan diri setelah ini; dan saya sangat optimis dengan harapan dan usaha kita semua, kita dapat mengalahkan orang Moor dari India dan memaksa mereka tunduk dengan aturan kita… Raja Portugis sering memerintahkan saya untuk berlayar ke Laut Merah karena di sanalah Yang Mulia menganggap kita dapat mengurangi perdagangan orang Moor dari Kairo, Mekah, dan Yudá. Tetapi Tuhan justru menuntun kita ke sini, karena ketika Malaka berhasil direbut, tempat-tempat di Laut Merah akan tutup, dan mereka tidak akan pernah lagi dapat melakukan perdagangan rempah-rempah…. dan saya sangat yakin bahwa jika kita mengambil alih perdagangan dan pelabuhan Malaka ini dari tangan mereka, Kairo dan Mekah sepenuhnya akan hancur, dan tak akan ada rempah-rempah yang dikirim dan diperdagangkan ke Venesia kecuali mereka membelinya dari pedagang Portugis (Birch, 2014).â€
Selama berabad-abad bangsa Eropa hanya bisa membayangkan wilayah yang memiliki tanah subur dan menumbuhkan berbagai macam komoditas berbau wangi yang mahal harganya. Selama berabad-abad pula Muslim dianggap telah menutup akses bangsa Eropa menuju ke timur. Padahal, boleh jadi selama itu, penghalangnya adalah diri dan anggapan mereka sendiri.
Di jalur peniagaan samudra, Islam menghidupkan jiwa-jiwa penduduknya dengan ilmu hingga membangkitkan berbagai aspek kehidupan secara stabil untuk jangka waktu yang sangat lama. Di jalur perdagangan samudra pula, bangsa Eropa merenggut paksa dan menggemparkan tatanan sosial demi tercapainya hasrat akan dunia. Penawar bagi ketidakberdaulatan adalah kembali kepada ilmu yang pernah membuat berbagai bangsa merdeka jiwanya dan menundukkan dunia dalam hatinya. Keterjajahan pun akan berganti dengan peradaban tinggi, hingga setiap bangsa dapat hidup secara kosmopolitan, tanpa membedakan taraf atau pangkat, dan saling menguntungkan bagi lahir dan batinnya.
Daftar Pustaka
Â
______________. Historical Relation Across Indian Ocean. (Paris: UNESCO, 1980)
Jack Turner. Sejarah Rempah, dari Erotisme sampai Imperialisme. (Depok: Komunitas Bambu, 2011)
Nigel Cliffs. The Last Crusade, The Epic Voyages of Vasco da Gama. (New York: Harper Collins Publishers, 2012)
Prof. Syed Muhammad Naquib al Attas. Historical Fact dan Fiction. (Kuala Lumpur: Penerbit UTM, 2011)
Tatiana Denisova. Refleksi Historiografi Alam Melayu. (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2011)
Walter de Gray Birch, trans. The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, Vol. III. London: Cambridge University Press for The Hakluyt Society, 1880. pp.101-108; 114-131;134-137 (http://www.fas.nus.edu.sg/hist/eia/documents_archive/malacca.php, 2014)