Purnama Retak: Sebuah Novel yang Ditulis dengan ‘Darah’ dan Gairah
Bagikan

Purnama Retak: Sebuah Novel yang Ditulis dengan ‘Darah’ dan Gairah

Cerita dalam Purnama Retak ini juga unik. Cerita yang boleh jadi tidak banyak orang pernah merasakan atau mengalaminya. Walaupun diakui oleh penulisnya sebagai cerita fiksi, tetapi novel ini sebenarnya terlalu jujur untuk sebuah fiksi.

Saduran ceramah Dr. Syamsuddin Arif pada peluncuran Purnama Retak
Depok, 21 á¹¢afar 1441/19 Oktober 2019

Saya sebenernya bukan ahli sastra. Saya juga sebenarnya tidak terlalu banyak membaca karya sastra. Jadi saya cukup terkejut ketika Komunitas NuuN meminta saya untuk mengulas novel Purnama Retak. Saya juga tidak tahu kalau Kang Shubhi ini ternyata pernah menulis cerpen dan juga puisi. Jadi saya tidak tahu seperti apa karya-karya sastra Kang Shubhi sebelumnya. Ketika novel ini dikirim dan sampai di rumah beberapa hari lalu, saya mulai membacanya. Awalnya saya mengira novel ini seperti novel populer lainnya. Akan tetapi setelah saya membaca novel ini sampai tuntas, dugaan saya ternyata keliru. Saya rasa, novel ini sangat bagus.

Apanya yang bagus?

Pertama, dari segi cerita. Mudahnya, cerita dalam novel Purnama Retak ini tidak norak. Ketika sebuah novel cinta popular Islami yang cukup fenomenal terbit pertama kali, saya sedang ada di Jerman. Ada rekan mahasiswa di sana yang membeli. Saya tanya sama dia, “Apa ini?”. Kata yang punya “Novel Ustadz. Bagus ini”. Setelah saya lihat-lihat, ngga tahulah, bagi saya tidak menarik. Purnama Retak jelas berbeda. Ini bukan novel percintaan popular dan apalagi novel seperti Harry Potter, jelas berbeda.

Sebenarnya setiap cerita itu menarik. Anybody's story is just as interesting as anybody else's. Cerita setiap orang akan menarik bagi siapa pun. Karena setiap pengalaman itu pasti unik. Tinggal bagaimana cara menuturkannya.

Cerita dalam Purnama Retak ini juga unik. Cerita yang boleh jadi tidak banyak orang pernah merasakan atau mengalaminya. Walaupun diakui oleh penulisnya sebagai cerita fiksi, tetapi novel ini sebenarnya terlalu jujur untuk sebuah fiksi. Jadi ada background-nya. Misalkan halaman 245.

Sebuah batas telah aku lalui. Melangkah melawan keyakinan yang kurawat selama ini. Mabuk membawaku pada kelegaan sekaligus was-was. Begini rasanya berdosa…

Ini betul-betul mengisahkan sebuah pengalaman, bukan pengalaman spiritual, tapi pengalaman “of error”. “Begini rasanya berdosa!” atau dibagian lain disebutkan “mendiskusikan hal-hal yang terlarang itu nikmat!”. Jadi menerobos batas itu asik. Penasaran untuk merasakan hal di luar batas ini memang ciri khas masa muda. Oleh karena itu anak muda harus benar-benar dikawal dengan ajaran yang baik. Jadi kita tidak bisa membiarkan adek-adek kita, saudara-saudara kita yang masih muda menjadi unguided youth. Atau jangan sampai para pemuda kita dibimbing oleh ajaran yang keliru.

Ada peribahasa Arab yang mengatakan: “Kafāka minas-syari samā‘uhu (untuk hal-hal yang buruk, cukuplah kita mendengar)”. Berbagai cerita yang kurang baik dalam novel ini cukuplah jadi pengetahuan kita saja. Tidak perlu kita atau adik-adik kita contoh. Saya tidak mengatakan cerita dalam roman ini buruk semua. Justru ini menunjukkan bagaimana perjalanan hidup yang berliku dan akhirnya sampai kepada kebenaran. Namun sebenarnya perjalanan hidup kita sudah digariskan oleh Allah Swt. Kisah yang dituliskan dalam Purnama Retak tentu sedikit banyak terpengaruh pengalaman atau perjalanan hidup penulisnya. Pengalaman dan perjalanan itu yang membuat cerita dan alur dalam karya ini terasa sangat kuat. Kalau kita baca, terasa gemuruh masa muda dalam pergerakan itu.  

Jadi untuk menilai sebuah novel, pertama tadi kita harus melihat ceritanya. Terus yang kedua, kita harus melihat isinya. Purnama Retak tidak hanya menuturkan kisah perjalanan hidup seorang mahasiswa yang bernama Salim. Bukan hanya itu. Namun ada isinya. Isinya itu yang di sini dirajut dan dianyam jadi satu. Menurut saya, ini sangat penting. Kalau dipisahkan, dipetik, dikumpulkan, isi novel ini bisa jadi artikel ilmiah. Jadi ini seperti artikel ilmiah yang digunting-gunting kemudian dirangkai dan dianyam dalam sebuah cerita. Artikel ilmiah biasa terasa membosankan, nah kalau disampaikan dalam sebuah kisah jadi lebih menarik.

Misalkan seperti ini:

Entahlah, Marx bilang  revolusi atau perubahan itu tidak dapat dipaksakan, hanya bisa dirangsang kemunculannya.

Atau contoh lain,

Seperti para tirani yang dengan sengaja menciptakan dongeng-dongeng tentang kesaktian Pancasila, tentang sang saka, presiden dan lainnya. Begitulah dongeng-dongeng  yang ada di sini. Dongeng-dongeng ini hanya membuat rakyat bernegara secara tidak rasional. Rakyat tidak menyadari dirinya, tidak menyadari masyarakatnya, tidak menyadari sejarahnya dan tidak menyadari daya politiknya.

Alam pandangku telah menuntunku untuk memahaminya dengan lebih baik.

Namun di dalam Purnama Retak ini bukan hanya kumpulan pikiran dan gagasan, tetapi juga fakta-fakta yang mungkin sebagian orang belum kenal atau belum tahu, belum pernah dengar. Misalnya HMI itu bagaimana. Kemudian apa bedanya kelompok kajian A, kajian B dan lainnya. Meskipun tentunya fakta-fakta itu telah difiksikan sebagai sebuah cerita.

Ketiga, kita dapat menilai sebuah novel dari bahasanya. Ada gaya bahasa Kang Shubhi yang saya suka. Gaya bahasa seperti al-Qur’an, seperti balagah itu, yang disebut iltifāt. Iltifāt itu pergantian mendadak, pergantian subjek, shifting. Pergantian kata ganti dari orang ketiga menjadi orang pertama secara mendadak. Ini contohnya:

Atau ini adalah surat yang ia coba berkali-kali membuatnya namun selalu gagal dan akhirnya ia menulis apa adanya. Kekasihku, betapa engkau aku abaikan.

Dalam Purnama Retak kita dapat menemukan kejutan-kejutan seperti itu. Gaya bahasa seperti ini membuat kita sebagai pembaca menjadi tidak bosan. Kalau diibaratkan tidak seperti jalan tol yang lurus, tetapi ada banyak kelokan. Menurut saya, gaya menulis seperti sebenarnya sangat baik.

Sebagai pembaca kita juga dapat belajar. Banyak pikiran atau gagasan yang hendak kita sampaikan, tapi kita tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Dengan membaca novel seperti ini, kita bisa belajar bagaimana cara mengungkapkan pikiran dengan kata-kata yang lancar, yang baik, dan  yang logis seperti yang ada di sini. Nah itu lah kita belajar. Semacam language acquisition. Makanya ada dibilang, penulis yang baik itu adalah pembaca yang baik. Kenapa Kang Shubhi bisa menulis sebaik ini? Karena dia membaca novel-novel orang hebat itu.

Fiksi dan Persekusi

Sekarang kita masuk ke persoalan lain. Leo Strauss, seorang sarjana Eropa, menulis buku berjudul Persecution and the Art of Writing. Di dalam buku itu, Leo Strauss mengatakan bahwa banyak penulis yang menulis secara metaforis. Meluahkan pikirannya tetapi secara tersembunyi, secara simbolis. Hal itu dilakukan untuk menghindari persekusi dari penguasa.

Fiksi adalah medium atau sarana untuk mengkomunikasikan pesan dengan menghindari persekuasi tersebut. Dengan demikian penulis menjadi lebih leluasa menyampaikan pikiran dan gagasannya. Kita dapat menemukan fakta sejarah di Arsip Nasional atau dalam catatan media masa. Tapi di dalam novel kita dapat menemukan personalized perspective atas sebuah fakta. Akan tetapi pandangan pribadi ini sudah difiksikan. Jadi dari novel Purnama Retak ini kita bisa juga menelusuri cara pandang penulisnya atas kisah yang digambarkan.

Karya-karya Pramoedya Ananta Toer tentu menayangkan worldview tertentu. Dalam roman Purnama Retak juga demikian, worldview penulisnya juga tergambarkan dalam karya ini. Kang Shubhi ini menerjemahkan worldview dalam novel ini sebagai alam pandang, ini bisa jadi satu alternatif. Jadi karya Pramoedya misalnya menggambarkan worldview penulisnya. Setelah itu pembaca yang memutuskan: mau ikut, mau hanyut, mau setuju atau pun tidak.

Dan saya kira tujuan seseorang menulis sebuah novel bukan sekadar untuk menyampaikan informasi atau hiburan semata. Namun ada pesan dan ada idealisme yang ingin disampaikan. Semua orang yang menulis itu pasti punya niat, punya sesuatu yang ingin disampaikan. Setiap penulis pasti memiliki tujuan tertentu. Entah itu untuk mempengaruhi atau meyakinkan orang lain. Menurut saya sebaiknya semua penulis itu jujur bahwa dia punya interest, dia punya motif, dan dia punya niat.

Dan dalam hal ini apa yang disampaikan Prof. al-Attas itu sangat bagus:

When you write something, you must have a clear idea, who you have in your mind.

Jadi sasaran pembaca kita harus jelas siapa. Kepada siapa karya ini kita tujukan. Prof. al-Attas juga menyarankan jangan menulis hanya for fun. Hanya iseng karena tidak ada kerjaan. Kita menulis memang ada misi. Menurut saya Pramoedya atau tadi Gorki juga menulis karena ada misi.

Oleh karena itu, Purnama Retak, meskipun merupakan karya fiksi, tetapi juga merupakan gambaran alam pandang penulisnya. Sekaligus sebuh personal perspective pada dunia aktivisme dan mungkin sejarah Reformasi 1998. Dan karenanya kita bisa menafsirkan ada tujuan tertentu, ada motif tertentu, dari penulisan karya ini.

Beberapa catatan

Secara teknis, meski sudah dibaca oleh proof reader tetapi masih ada beberapa kesalahan penulisan. Bila dicetak ulang, ada baiknya kesalahan-kesalahan itu dibersihkan. Misalnya pada halaman 297, tertulis ‘di gerakkan’ dengan dua ‘k’. Seharusnya ‘di gerakan’ karena ini kata benda, bukan kata kerja. Maksudnya in this movement. Kemudian ada juga ‘dongeng’ tertulis ‘dangeng’. Di surat Ningsih tertulis: “Dunia ini hanya akan memandang rendah saya perempuan sepertiku”. Seharusnya ‘saja’.

Saya bukan ahli tata bahasa Indonesia, tetapi menurut saya ada kalimat-kalimat yang masih mungkin untuk diperbaiki.

Berikutnya soal spelling, soal ejaan. Ini barangkali bukan soal benar atau salah, tetapi saya tidak tahu juga. Secara konsisten Kang Shubhi menulis ‘fikiran’ dengan ‘f’, kalau saya lebih memilih ‘pikiran’ dengan ‘p’. Dalam pengucapan kita lebih cenderung menggunakan ‘p’ untuk ‘berpikir’, tidak melafalkan ‘berfikir’. Sama dengan ‘faham’, di novel ini tidak ditulis ‘paham’. Juga ‘rezim’ dengan ‘z’, sebenarnya ‘rejim’; ‘azas’ seharusnya ‘asas’.

Kemudian soal isi. Saya ingin mengomentari kisah petualangan pemikiran seperti tertuang dalam novel ini. Bertualang itu harus ada destinasinya, harus ada tujuaannya. Nah, yang kita khawatirkan itu, petualangan yang tiada ujung. Atau petualang yang tidak tahu jalan pulang. Petulangan di dunia pemikiran dan di dunia aktivisme, practical activism, perlu dibimbing dan juga dipantau oleh orang tua, guru atau kakak yang benar. Tidak boleh dilepas begitu saja. Meski tidak baik juga kalau dilarang secara mutlak. Sebenarnya pengalaman seperti itu penting bagi mereka bahkan termasuk pendidikan juga. Seandainya kita hendak melepas anak atau adik, kita harus bekali mereka dengan petunjuk agar mereka dapat kembali. Supaya dia tahu jalan pulang.

Mungkin itu saja dari saya. Satu kalimat yang mungkin bisa menggambarkan Purnama Retak, walau pun ini karya fiksi, namun novel ini ditulis dengan darah dan gairah. A novel written with blood and passion. Oleh karena itu gemuruh dan semangat dari novel ini amat terasa.

Selamat atas terbitnya novel Purnama Retak. Semoga karya ini bukan yang terakhir dari Kang Shubhi. Karya yang pertama tetapi bukan karya yang terakhir.