Islam dan Negara: Pemikiran Mohammad Natsir
Bagikan

Islam dan Negara: Pemikiran Mohammad Natsir

Berdasarkan keyakinan kami, bahwa ajaran-ajaran Islam yang mempunyai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, dan dapat menjamin hidup keragaman atas saling harga-menghargai antara berbagai golongan di dalam negara

Pendahuluan

Wacana perihal Islam dan negara sering kali menarik untuk dibahas. Pembicaraan tentang hubungan agama, khususnya Islam, dengan negara sampai saat ini masih terus hadir di tengah-tengah publik. Agama dan negara sering kali didudukkan sebagai sesuatu yang bertentangan, harus dipisahkan dan tidak boleh disatukan. Akan tetapi, ada pula paham yang menyatakan bahwa agama harus senantiasa hadir dalam negara. Bahkan lebih khusus, Islam sesungguhnya ialah satu sistem falsafah yang meniscayakan kehadiran konsep politik. Artinya, negara (atau sebuah pengaturan pranata sosial-politik masyarakat) memang menjadi bagian dari ajaran Islam.

Di Indonesia, negeri tempat umat Muslim menjadi penduduk mayoritas, hubungan antara agama (Islam) dan negara masih terus menjadi pembahasan. Paling tidak, ada tiga peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang mencuatkan perbincangan mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama ketika berdirinya organisasi Islam modern pertama di Indonesia yaitu Syarikat Islam. Hubungan antar ajaran Islam dan sebuah institusi modern mulai diperbincangkan. Kedudukan pemimpin, hukum, serta hubungan antara kekuasaan dan nilai ketuhanan mulai ramai dibahas. Persentuhan kaum Islam dengan gagasan organisasi dan institusi modern (dan kemudiannya negara) telah menghasilkan beragam pandangan dan corak pemikiran.1

Secara umum, orang-orang pergerakan Islam pada masa itu melihat organisasi atau institusi sebagai sesuatu yang bebas nilai. Oleh karena itu, pengorganisasian umat Islam dan penginstitusian politik Islam dirasa sebagai sesuatu yang wajar. Pandangan kritis mengenai struktur organisasi yang melibatkan antarmanusia di dalamnya nampak belum terlihat. Institusi dan organisasi dipandang sebagai sebuah keniscayaan. Bahkan lebih jauh, organisasi dianggap cara paling efektif untuk membangkitkan Umat Islam dan membebaskannya dari belenggu penjajahan. Umat Islam diorganisasi, dikristalkan sebagai kekuatan politik dan kemudian diupayakan aspirasinya melalui beragam saluran. Syarikat Islam, secara umum, mengusahakan hal tersebut.2

Perdebatan yang lebih formal mengenai hubungan Islam dan negara lebih terlihat ketika Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyelenggarakan sidang-sidangnya. BPUPKI dan PPKI secara umum terbagi ke dalam dua golongan, yaitu golongan nasionalis dan golongan Islam. Pada perdebatan inilah kronik mengenai Piagam Jakarta muncul. Penghapusan tujuh kata dari piagam tersebut menjadi persoalan yang terus diperbalahkan oleh kedua kelompok dan menjadi kontroversi hingga hari ini.

Di balik penghapusan tujuh kata tersebut, tentu saja tersimpan dua pandangan besar mengenai negara. Kalangan Islam memandang dasar negara harus Islam. Sementara kaum sekuler menempatkan asas kebangsaan sebagai dasar negara. Perdebatan mengenai batas agama dan batas negara, hubungan agama dan negara, wilayah agama dan wilayah negara, dan kemudian peran agama dan peran negara dalam kehidupan berbangsa hadir dalam persidangan-persidangan BPUPKI dan PPKI. Tokoh-tokoh Islam semisal K.H. Wachid Hasjim, K.H. Kahar Mudzakir, Haji Agus Salim, A.R. Baswedan dan lain-lain secara tegas menyatakan gagasan mengenai keharusan Islam sebagai dasar negara. Sementara Soekarno, M. Hatta, Muhammad Yamin, dan kaum kebangsaan lain menolak Islam sebagai dasar negara dan kemudian mengajukan asas kebangsaan sebagai dasar negara Indonesia.

Perdebatan ini cenderung diakhiri secara politis. Peristiwa politis tersebut kemudian lebih sering mengemuka dibandingkan gagasan-gagasan yang ada di baliknya. Hal itu boleh jadi dipengaruhi oleh keadaan negara kita yang memang akan dan kemudian baru merdeka sehingga tindakan-tindakan kompromi lebih patut dikedepankan.3

Perdebatan yang lebih keras, terbuka, jelas, dan jauh lebih mendasar kemudian terjadi di sidang-sidang Dewan Konstituante 1956--1959. Perwakilan-perwakilan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menyatakan, secara terang benderang, pandangan hidupnya mengenai negara. Dinyatakannya bahwa Islam harus menjadi dasar negara. Negara yang tidak mendasarkan penataan-pengaturannya pada Islam dianggap bukan suatu negara yang bersesuaian dengan kehendak Tuhan. Pranata kehidupan berbangsa harus disandarkan pada ajaran Islam, tidak pada nilai yang lain.4

Mohammad Natsir merupakan pemimpin Partai Masyumi sekaligus tokoh paling penting dalam perdebatan mengenai Islam dan negara dalam Dewan Konstituante. Pandangan-pandangan pokok Pak Natsir mengenai negara, mengenai Islam, dan mengenai hubungan keduanya merupakan cerminan dari pandangan politik Islam ketika itu. Pandangan tersebut dapat kita temui dalam pidato-pidato beliau di sidang tersebut. Di antaranya ialah pidato yang berjudul Negara Islam Versus Negara Sekuler dan Sumber yang Satu Itu dari Wahyu Ilahi. Pidato ini termuat dalam beragam versi. Dua versi di antaranya terdapat dalam buku Debat Dasar Negara: Islam dan Pancasila, Konstituante 1957 (Pustaka Panjimas, Jakarta, 2001) dan Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante (PSP UGM, Baur Publising dan Yayasan The Asian Foundation, Yogyakarta, 2008).

Kedua sumber tersebut dapat menjadi rujukan pokok untuk menelusuri gagasan Mohammad Natsir mengenai Islam dan negara. Gagasan Pak Natsir mengenai hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah aspirasi politik sekaligus merupakan sebuah pandangan yang cukup filosofis mengenai Islam dan negara. Tentu saja kita menempatkan pandangan beliau dalam konteks Indonesia.

Di dalam tulisan ini, akan dimuat hasil telaah atas kedua pidato tersebut. Diharapkan tulisan ini dapat menghasilkan pandangan dasar bagi penyusunan pranata politik Islam di masa yang akan datang. Pandangan-pandangan Pak Natsir, dan tentu saja tokoh-tokoh Islam yang lain, sangat penting bagi kehidupan politik kita (umat Islam).

Mohammad Natsir adalah seorang tokoh politik sekaligus pemikir. Ia merupakan bagian dari arus besar modernisme Islam yang pada awal abad ke-20 menderas di kalangan kaum Muslimin. Gagasan Pak Natsir mengenai Islam dan negara akan kami coba telaah dengan melihat hubungan antarmakna di dalamnya. Makna-makna mengenai negara, dasar negara, Islam, dan mengenai negara dalam pandangan Islam akan coba didedahkan.

Pemikiran Mohammad Natsir tentang Islam dan Negara

Mohammad Natsir merupakan seorang pribadi yang teguh. Kedudukannya sebagai seorang politisi Islam dengan sikapnya yang bersahaja sekaligus mendalam sering ditonjolkan banyak penulis. Namun pada sisi lain, Pak Natsir pun sesungguhnya merupakan seorang pemikir. Kemampuannya dalam berbahasa (beliau menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Belanda dengan cukup memadai) memungkinkannya untuk dapat menyerap banyak pengetahuan dari berbagai peradaban dunia. Tentu saja Islam menjadi pokok kedudukannya. Namun, Pak Natsir juga mempelajari falsafah dan beragam pemikiran dari dunia Barat. Beliau membaca karya Ibn Khaldun tetapi tak menutup diri untuk membaca karya-karya Karl Marx. Tentu saja, sebagai seorang Muslim, pembacaannya terhadap karya-karya dari dunia Barat dilakukan secara kritis.

Karya-karya tulis beliau yang luas tentu dapat dilihat pula (pada masa kini dan pada taraf tertentu) sebagai sebuah dialog antara Islam dan Barat. Pak Natsir telah melihat Barat dari sudut Islam. Beliau bukan seseorang yang anti terhadap Barat tetapi bukan pula penerima kemodernan Barat secara total seperti yang terlihat pada Sutan Takdir Alisjahbana.5  Pak Natsir melihat barat dari sudut pandangnya sebagai seorang Muslim. Hal ini tentu menarik untuk ditelaah, khususnya dalam persoalan mengenai Islam dan negara.

Pada tahun 1956 pemerintah membentuk Dewan Konstituante yang berdasarkan hasil Pemilu 1955. Di dalam dewan itu, para tokoh politik Indonesia menggodok undang-undang dasar yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar 1945, yang saat itu dianggap sebagai undang-undang sementara. Beragam tokoh politik dari berbagai aliran (ideologi) ikut menyumbangkan pikiran dalam penyusunan undang-undang baru itu. Salah satu di antara kelompok ideologi politik yang terlibat dalam usaha tersebut ialah kalangan Islam, ketika itu diwakili oleh Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Aksi Kemenangan Umat Islam (AKUI), dan Partai Politik Tarikat Islam (PPTI).

Aspirasi pokok dari kalangan Islam ketika itu ialah Islam sebagai dasar negara. Fraksi-fraksi Islam secara total memperjuangkan gagasan tersebut. Meskipun akhirnya Dewan Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno,6  tetapi perdebatan-perdebatan di dalamnya, secara umum, menunjukan pandangan dasar beragam pihak tentang Indonesia dan Indonesia yang ideal.

Salah satu persoalan pokok yang ketika itu diutarakan ialah hubungan agama (Islam) dan negara. Dalam pidatonya di Sidang Dewan Konstituante, Pak Natsir (ketika itu pimpinan Fraksi Masyumi) mengemukakan bahwa sangat penting jika Islam digunakan sebagai dasar negara. Adapun mengenai negara, beliau menyebutkan:

Negara adalah suatu institution yang mempunyai hak, tugas, dan tujuan. Lalu, apakah institution itu? Insititusi, dalam arti umum adalah suatu badan, organisasi, yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan sendiri, dan diakui oleh umum.7

Sebagai sebuah institusi, Pak Natsir melihat negara haruslah memiliki perangkat-perangkat penyusunnya. Bagian-bagian penyusun negara ialah wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, dan Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Selanjutnya, sebuah negara haruslah meliputi seluruh masyarakat dan segala institusi yang terdapat di dalamnya; mengikat atau mempersatukan institusi itu dalam suatu peraturan hukum; menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh bagian masyarakat; mempunyai hak untuk memaksa anggotanya mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang telah ditentukan olehnya; dan mempunyai tujuan untuk memimpin, memberi bimbingan dan memenuhi kebutuhan masyarakat keseluruhannya.

Gagasan semacam ini tentulah sangat erat dengan bersemainya pandangan mengenai negara dan bangsa yang merupakan bagian dari semangat modern. Pengelolaan masyarakat dalam dunia modern tidak lagi berpokok pada wibawa-wibawa yang diturunkan “langit”, tetapi menjadi kesepakatan umum manusia yang ada di dalamnya. Pembagian kekuasaan, penataan tugas dan pengambilan keputusan bersama dapat dirumuskan dalam birokrasi dan demokrasi. Tentu saja gagasan negara sangat erat kaitannya dengan gagasan mengenai bangsa. Apabila negara merupakan sebuah sistem pengaturan masyarakat yang dibangun oleh sekelompok manusia, maka bangsa ialah sekelompok manusia yang memiliki ikatan dasar tertentu. Pada masa modern, ikatan yang mengikat sebuah bangsa lebih banyak didominasi oleh hal-hal semacam nasib bersama, kesamaan sejarah, tujuan yang sama, dan hal-hal material lainnya.8

Pandangan umum Pak Natsir dan para pembaharu lainnya mengenai negara ialah seperti ini. Atau paling tidak itulah yang tergambar dari apa yang diperjuangan Masyumi dalam Dewan Konstituante. Gagasan mengenai negara dipandang sebagai sesuatu yang memang bebas nilai. Oleh karena itu, ia dapat dimasuki oleh nilai apa pun. Dapat dimaknai oleh ideologi apa pun. Pak Natsir dan kolega Masyumi-nya kemudian berupaya memaknai negara dengan keislaman mereka. Sebuah upaya yang harus diakui sangat berharga, meskipun pandangan bahwa negara merupakan konsep netral memang perlu kita kritisi.

Dalam konteks ketika itu, Pak Natsir mencoba meneguhkan Islam sebagai sumber nilai atau bahkan dasar bagi Republik Indonesia. Dasar dari negara Republik Indonesia itu mestilah berasal dari nilai-nilai yang sudah lama hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, sesuatu yang telah dengan pasti mereka pahami, dan menjadi panduan bertingkah laku dalam keseharian mereka. Islam-lah yang telah menjadi anutan dan daya penggerak bangsa Indonesia. Pak Natsir menyatakan:

[…] Bahwa Negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat. Oleh karena itu, dasar negara pun adalah sesuatu paham yang hidup, yang dijalankan sehari-hari, yang terang dan dapat dimengerti. Singkatnya, negara itu menyusun hidup rakyat sehari-hari secara perorangan maupun kolektif.9 

Pak Natsir meyakin bahwa Islam, melalui ajaran-ajarannya, memiliki konsep tata negara dan kemasyarakatan tertentu yang sudah dipraktikkan dalam sejarah. Beliau pun meyakini bahwa masalah-masalah kebangsaan seperti hubungan antar golongan, toleransi, demokrasi dan lain-lain terdapat pula panduannya dalam ajaran Islam.

[…] Berdasarkan keyakinan kami, bahwa ajaran-ajaran Islam yang mempunyai ketatanegaraan dan masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat, dan dapat menjamin hidup keragaman atas saling harga-menghargai antara berbagai golongan di dalam negara…10

Pada pidato yang lain Pak Natsir menyatakan:

Bukan itu saja, Saudara Ketua, akan tetapi wahyu Illahi yang melalui Islam memberikan ajaran-ajaran bukan saja mengenai peribadatan dan nilai moral. Justru banyak ajaran-ajarannya yang mengenai hidup bermasyarakat dan bernegara. Justru untuk mengembangkan bagian yang kedua inilah, yakni perlengkapan agama Islam untuk mengatur hidup bernegara dan bermasyarakat yang terutama menyebabkan umat Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara.11



Di samping menawarkan Islam sebagai dasar kehidupan bernegara, Buya Natsir dan koleganya di Partai Masyumi kemudian menghadapkannya dengan gagasan sekular. Beliau melihat bahwa bentuk politik sekular tidak tepat untuk dipraktikkan di Indonesia. Sistem politik jenis ini memutuskan hubungan manusia Indonesia dengan Tuhan. Masyarakat sekuler melihat bahwa agama musti dijauhkan dari politik. Beliau tidak setuju akan hal itu. Beliau menunjukkan bagaimana kehidupan sekuler, termasuk dalam dimensi politik, telah menciptakan manusia yang kering jiwanya. Sekularisme tidak dapat memberi jalan keluar yang tepat bagi persoalan-persoalan moral.12

Dapat dikatakan bahwa Pak Natsir (dan juga Masyumi) menghendaki sebuah negara modern yang di dalamnya Islam menjadi dasar nilai. Tentu saja, hal ini melibatkan proses “pengkonstitusionalan” ajaran-ajaran Islam. Segala perangkat yang harus ada dalam sebuah negara modern dicoba dicarikan padanannya dalam ajaran Islam. Pengambilan keputusan bersama dalam sistem demokrasi kemudian disepadankan dengan musyawarah dalam ajaran Islam. Toleransi disepadankan dengan tasamuh. Pun demikian halnya dengan hukum dan ekonomi. Syariat Islam seperti zakat, penghukuman dalam pidana dan penegakan moral diupayakan hadir secara resmi dalam tatanan formal kenegaraan.

Proyek “pengkonstitusionalan” ajaran Islam ini meniscayakan semacam obejktivikasi ajaran Islam. Segala hal yang ditawarkan atau diperlukan negara modern direspons dengan apa yang ada dalam Islam. Pada satu sisi ini tentu bermakna sebagai sebuah upaya untuk menjadikan Islam sebagai satu tatanan hidup yang menyeluruh, gagasan umum kaum modernis. Islam harus hadir di seluruh unsur hidup seperti politik dan ekonomi. Tapi, kemudian kerumitan kehidupan modern dengan segala perangkatnya bukanlah sesuatu yang netral. Pada masa kini, kita dapat melihat falsafah kebudayaan Barat tercermin jelas dalam gagasan demokrasi, negara, dan juga bangsa. Lebih jauh lagi, kita dapat melihat gagasan mengenai kebenaran, keadilan, politik, dan juga pendidikan yang berasal dari barat sesungguhnya memuat nilai-nilai khas yang boleh jadi bertentangan dengan Islam.13

Konstitusi sebagai salah satu perangkat dalam bernegara pun diupayakan bersesuaian dengan Islam. Pak Natsir melihat bahwa ajaran Islam sesungguhnya dapat diwujudkan dalam hukum formal kita.

[…] sesuai dengan asas-asas Islam, konstitusi menjamin hak-hak asasi kepada semua warga negara tanpa perbedaan agama ataupun kepercayaan. Hal mana menunjukkan kepada dunia, bahwa sesungguhnya agama Islam bukanlah semata-mata ‘janji-janji akan akhirat yang berbahagia’.14

Ketika ajaran Islam disandingkan dengan gagasan mengenai negara, yang terlihat ialah sebuah upaya untuk menjadikan sebuah negara berdasarkan Islam. Paling tidak, sebuah negara modern yang dibangun dengan melibatkan asas-asas Islam. Tentu saja hal ini bukan sebuah teokrasi sebagaimana pernah ada dalam pengalaman Kristen-Barat.

Negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Ia negara demokrasi. Ia bukan pula sekuler seperti yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah Negara demokrasi Islam. Dan kalaulah, Saudara Ketua, orang hendak memberi nama umum juga, maka barangkali Negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut “Theistic Democracy”.15

Meskipun negara demokrasi cenderung dianggap netral oleh Buya Natsir, akan tetapi pengisian nilai-nilai Islam terhadapnya menyebabkan perubahan bentuk menjadi model demokrasi yang terbatas. Kehendak bebas manusia dalam demokrasi Barat harus diejawantahkan secara total. Namun, dalam pandangan Pak Natsir hal tersebut mesti dibatasi oleh hal-hal tertentu. Negara demokrasi yang beliau gagas bersama tokoh-tokoh Masyumi lainnya, mengharuskan kebebasan berpendapat antar manusia berada di bawah naungan syariah dan tidak menabrak nilai-nilai Islam yang sudah baku (shari'ah dan akidah). Pengisian Islam pada institusi negara modern jenis ini menjadikannya sebagai bentuk baru sebuah negara, berbeda dengan negara demokrasi yang Barat pahami.

Upaya untuk memberikan makna Islam pada gagasan-gagasan modern memang merupakan sebuah kekhasan dari para modernis Islam. Sama halnya yang terjadi pada gagasan mengenai negara. Kita dapat melihat gagasan seperti ini juga diungkapkan oleh Muhammad Iqbal, pujangga-pemikir dari Pakistan. Dalam pandangan Iqbal, negara ialah upaya untuk mewujudkan keruhanian dalam organisasi manusia. Sebagai sebuah lembaga (institusi) negara diterima sebagai sesuatu yang bebas nilai. Tetapi seorang Muslim haruslah menanggalkan kesetiaan dan kepatuhan kepada institusi tersebut. Kesetiaan dan kepatuhan pada institusi hanyalah sah apabila ia ditujukan pula untuk meneguhkan kesetiaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah basis ruhaniah yang paling tinggi dari seluruh kehidupan. Kesetian kepada Tuhan, pada hakikatnya berarti kesetiaan manusia pada fitrahnya sendiri.16

Mengikuti Iqbal, Pak Natsir melihat agama berfungsi sebagai pembimbing ruhani manusia ke arah fitrahnya. Agama harus menjadi pemimpin dan penuntun bagi manusia untuk mencapai perkembangan akhlak setinggi-tingginya. Kemampuan-kemampuan rohaniah yang tercermin dari akhlak seseorang  dapat memelihara dan menyelaraskan hubungan antara dirinya dengan Tuhan dan antara dirinya dengan manusia lainnya. Mengenai hubungan antara manusia dengan manusia, fungsi agama ialah memelihara keterhubungan itu dalam seluruh aspek kehidupan.17

Pengaruh Iqbal ini dinyatakan secara jelas dalam salah satu pidato beliau di sidang Dewan Konstituante itu. Pak Natsir menyatakan:

Dan Saudara Ketua, sejarah dalam beberapa belas tahun ini telah membuktikan, bahwa Mohd. Iqbal itu telah membuahkan dan menjelma menjadi satu perwujudan dari apa yang dinamakan oleh Mohd. Iqbal sebagai "prinsip-prinsip yang ideal" ke dalam tenaga-tenaga dalam lingkup "ruang dan waktu" berbentuk negara Republik Islam Pakistan itu, sebagai perumahan bagi bangsa Pakistan untuk dapat mengatur hidupnya, atau nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial sesuai dengan ajaran Islam.18 

Hal ini, dapat dirasakan sebagai sebuah pemberian nilai ruhani pada sebuah gagasan sekuler. Negara yang sebenarnya dipandang sebagai sebuah gagasan manusiawi yang terlepas dari nilai-nilai ruhaniah kemudian coba untuk diisi dengan nilai-nilai keruhanian Islam. Pada taraf tertentu, hal ini diikuti pula dengan upaya untuk memasukkan hukum Islam secara sah pada beragam perangkat kenegaraan. Namun, gagasan semacam ini perlu mendapat pendalaman yang lebih jauh pada sistem metafisika dan juga falsafah agar mendapat sandaran yang lebih mendasar.

Penutup

Pada akhirnya Dewan Konstituante memang dibubarkan. Dasar-dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diharapkan terumuskan dari dewan tersebut tak tergapai. Negara kita ketika itu kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Artinya aspirasi politik Islam ketika itu terhenti. Selepasnya, musibah politik mendera bangsa kita hingga berpuncak pada peristiwa 1965.

Meski demikian, gagasan-gagasan mengenai Islam dan negara yang disumbangkan tokoh-tokoh Islam (khususnya dari Partai Masyumi) perlu senantiasa dirawat dan dikembangkan. Mohammad Natsir telah berikhtiar untuk merumuskan sebuah negara yang di dalamnya Islam menjadi pokok kehidupan. Beliau telah memerah pikiran dan berupaya secara politik untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Pandangan-pandangan yang cukup mendalam mengenai Islam dan negara telah diejawantahkan secara baik dalam beragam kesempatan. Dapat dibayangkan dalam kesibukannya sebagai seorang politisi dan pejabat negara, beliau masih dapat mendalami pemikiran Iqbal dan para pemikir lain, baik dari dunia Islam maupun Barat.

Penghormatan yang wajar dan pantas layak didapatkan oleh beliau. Bagi generasi di masa kini, mendalami pemikiran beliau dan ikhtiar-ikhtiar beliau (termasuk dalam dunia politik) merupakan bentuk penghormatan yang penting. Tentu saja pengembangan dan pendalaman pemikiran-pemikiran politik Mohammad Natsir sangat penting dilakukan agar kehidupan politik kita dinaungi gagasan-gagasan yang baik.

Kerangka pemikiran Natsir mengenai Islam dan negara sebenarnya telah cukup kukuh. Hal tersebut harus terus diperkuat. Pendalaman dasar-dasar falsafah dari pemikiran beliau layak untuk terus diupayakan. Penggalian secara filosofis mengenai konsep kebenaran, konsep keadilan, konsep manusia, dan konsep-konsep dasar Islam lainnya sangat penting untuk menopang pemikiran politik kita.

Demikian sekilas pandangan Mohammad Natsir mengenai Islam dan negara. Kami berharap, telaah sederhana ini dapat mendorong telaah-telaah lain mengenai politik Islam yang akhir-akhri ini terasa sangat mendesak untuk dihadirkan.

(Pernah dimuat di Jurnal Islamia Edisi Ulama dan Politik)

_____________________________________________________________

1 Pemaparan mengenai kemodernan organisasi Syarikat Islam, di antaranya, dapat dilihat dalam beberapa catatan Mohamad Roem. Roem dengan baik menggambarkan bagaimana Syarikat Islam dapat menerapkan gagasan-gagasan modern tentang institusi dan organisasi serta pranata di dalamnya. Pelembagaan dan pengelolaan Syarikat Islam menunjukan bahwa gagasan modern tentang organisasi dapat benar-benar diterapkan oleh umat Islam di Indonesia pada masa itu. Lihat: Mohamad Roem, “Kongres Nasional Pertama Central Sarikat Islam” dalam Bunga Rampai dari Sejarah I (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), hlm. 15-29;  Mohamad Roem, “Potret H. O. S. Tjokroaminoto” dalam Bunga Rampai dari Sejarah II (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), hlm 71-81.

2 Mengenai Syarikat Islam, lihat: M.A. Gani, Cita Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1984).

3 Perdebatan kelompok Islam dan kelompok “kebangsaan” dalam persidangan-persidangan ini telah banyak ditafsirkan oleh para sejarawan. Satu perdebatan yang paling menarik ialah mengenai dasar negara Indonesia dan kemudian peristiwa dihapusnya 7 kata dari Piagam Jakarta. Lihat: Safroedin Bahar, d.k.k., Risalah Sidang Badan Penyeledikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI): 29 Mei 1945-19 Agustus 1945 (Jakarta, Sekertariat Negara Republik Indonesia, 1992).

4 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, terj: Sylvia Tiwon, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995 [edisi kedua]). Selanjutnya disingkit Aspirasi Pemerintahan.

5 Salah satu perdebatan paling menarik dalam kasus modernisme ini dapat dilihat dalam Achdiat Kartamihardja (editor), Polemik Kebudayaaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986 [Cetakan Keempat]).

6 Keterangan mengenai pembubaran Dewan Konstituante dapat dilihat pada Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan.. hlm 317-390.

7 M. Natsir, “Negara Islam Versus Negara Sekuler” dalam Erwin Kusuma dan Khairul (Editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante (Yogyakarta: PSP UGM-Baur Publising-TIFA), hlm. 60. Selanjutnya disingkat “Negara Islam”.

8 Lihat misalnya Ernest Renan, Apa itu Bangsa?, terj: Prof. Mr. Sunario (Jakarta: Alumni, 1994).

9 M. Natsir, “Negara Islam”, hlm. 63-64.

10 Ibid.

11 M. Natsir, “Sumber yang Satu itu dari Wahyu Ilahi” dalam Erwin Kusuma dan Khairul (Editor), Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante (Yogyakarta: PSP UGM-Baur Publising-TIFA), hlm. 180. Selanjutnya disingkat “Sumber yang Satu”.

12 M. Natsir, “Negara Islam”, hlm 65.

13 Konsep asas kebudayaan barat yang mempengaruhi pandangan-pandangan politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya dapat dilihat dalam: Syeid Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: Istac, 1993).

14 M. Natsir, “Sumber yang Satu”, hlm. 175.

15 M. Natsir, “Negara Islam”, hlm. 76.

16 Miss Luce-Claude Maitre, Djohan Efendi, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, (Jakarta: Pustaka Kencana, 1981) hlm.23

17 M. Natsir, Pemikiran Dr. Muhammad Iqbal tentang Politik dan Agama, (Jakarta, Penerbit Mutiara, 1979)  hlm. 18-19.

18 Mohammad Natsir, “Sumber yang Satu”, hlm 175.