Selamat Malam Indonesia Raya
Bagikan

Selamat Malam Indonesia Raya

Bangun pagi di 17 Agustus 2017 dengan keramaian suara-suara. Televisi hadir lebih pagi dari biasa dan mengabarkan Indonesia telah merdeka. 72 tahun usianya. Jalan-jalan dihias bendera, gapura telah menyegar dengan cat baru, panjat pinang dipancang, upacara telah disiapkan, pesta-pesta perayaan siap

Bangun pagi di 17 Agustus 2017 dengan keramaian suara-suara. Televisi hadir lebih pagi dari biasa dan mengabarkan Indonesia telah merdeka. 72 tahun usianya. Jalan-jalan dihias bendera, gapura telah menyegar dengan cat baru, panjat pinang dipancang, upacara telah disiapkan, pesta-pesta perayaan siap diselenggarakan. Anak-anak akan berteriak “Merdeka!”.

72 tahun lalu di 17 Agustus 1945 tak ada lomba balap karung, tak ada panjat pinang dan tak ada pula panggung dangdut dengan biduan membuai rasa. 72 tahun lalu orang-orang di Jakarta amat sibuk di hari puasa yang tak biasa. Di Pegangsaan ada peristiwa penuh khidmat, Bung Karno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa. 72 tahun lalu, bangsa telah merdeka. 

***

72 Tahun Indonesia Merdeka ialah perdebatan harga garam dan permainan ekonomi tingkat tinggi yang tak lagi difahami orang-orang bawah. Rumus-rumus rumit menerkam hidup para petani; angka-angka statistik berlomba menyajikan data bahwa warga negara amat bahagia; dan di sana, di kejauhan yang tak tergapai mata, rencana-rencana disusun untuk menggasak hajat hidup orang banyak. Mantra-mantra pembangunan, mitos kemajuan dan cerita rakyat tentang orang biasa yang bisa menjadi raja membius hati sanubari bangsa.

Para pujangga memuja rembulan yang berlayar di langit malam. Menyenandungkan kidung-kidung kejayaan masa silam. Mengantar tidur orang-orang bernafas berat. Dan di sini, orang-orang yang kelelahan setelah perlombaan panjat pinang mengenang esok hari dengan gamang. Utang dan tagihan hidup menumpuk-numpuk memadati kepala mereka. Bergerinjang minta jalan keluar.

Mereka pergi ke jalan, mencari suara biduan, menenggak arak, mabuk lalu bergoyang. Dayuan nada dangdut melelapkan pemberontakan utang di dalam kepala. Lalu mereka kembali menelan arak, berharap waktu semakin panjang dan panjang. Tak berhenti. Di atas panggung, pembawa acara berteriak lantang “Merdeka! Hidup Indonesia! Merdeka!”. Lantas nyanyi dangdut dilanjutkan.

Selamat malam Indonesia Raya. Usia kita telah 72 tahun lamanya.

***

72 Tahun Indonesia Merdeka adalah tangan-tangan berebut memburu burung garuda, mengejar unggas gagah perkasa dengan senapan. Untuk dikandangkan. Semua merasa menaklukkan garuda, menjinakkannya dan membuatnya bisa bernyanyi untuk menyenangkan siapa saja yang berani membayar mahal. Burung garuda dalam sangkar ialah pertunjukan, hiburan bagi orang-orang yang telah kehilangan keyakinan pada kebenaran mereka sendiri.

Orang-orang memelihara burung garuda di kantor-kantor dewan pimpinan pusat mereka. Garuda ialah hiasan perlambang paling sah bagi cinta terhadap Indonesia. Jumlah bulunya telah dihitung dengan saksama dan angka-angka yang dihasilkan dianggap pertanda tertentu, semacam angka keberuntungan atau nomor urut yang baik dalam Pemilu.

Jumlah perburuan telah semakin merajalela. Di desa-desa atau di tepi pantai dan pedalaman rimba orang tak lagi dapat melihat garuda. Tak ada lagi di sanubari orang-orang desa ingatan tentang bagaimana rupa garuda. Mereka hanya melihat macan dan serigala, menjejerkan mereka menjadi pasar yang perlu diisap sari-sari hidupnya hingga tandas.

Selamat malam Indonesia Raya, kita telah merdeka. 72 tahun lamanya!

***

72 Tahun Indonesia Merdeka ialah nasionalisme di pasar bebas dengan warung-warung kebangsaan berwarna-warni ditemani gadis-gadis manis yang kecantikannya diperah dari eksotisme seluruh suku bangsa, menawarkan brosur-brosur investasi kepada siapa saja. Indonesia ialah warung besar tempat segala bangsa mencari peruntungan dan orang-orang ngelangut mendengarkan dongeng purba tentang pembangunan. Demi kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh warga negara, kita harus bersatu menjajakan negeri kita di pasar dunia, begitu dongeng tersebut bertutur.

Daya saing bangsa harus ditingkatkan, orang-orang malas harus dimusnahkan, dan batik harus di-rebranding menjadi kaos kaki atau celana dalam agar mampu bersaing di pasar global. Makna dan lambang mulia corak-corak batik perlu ditinjau ulang, sebab sopan santun dan akhlak karimah amat menghalangi kesejahteraan serta tak cocok lagi bagi pergaulan global yang telah menjadi kemestian zaman. Demikian dongeng itu diakhiri.

***

72 Tahun Indonesia Merdeka ialah drama besar, hiburan paling raksasa tentang perebutan kuasa yang daya tariknya lebih luas dari perang Kurusetra. Pemerannya ribuan, penontonnya ratusan juta dan komentatornya lebih sok tahu dari pengamat sepakbola. Orang-orang berlomba turut serta dalam perang raksasa tanpa senjata, menjarah yang paling jarah, menghardik yang paling hardik lalu marah dan kesal sendiri di kamar mandi. Kita telah mengkhayalkan kenyataan dan menyatakan khayalan, lalu ramai-ramai berteriak “Saya Indonesia!”, “Saya Pancasila!”, “Saya yang paling bekerja dibanding kelompok lainnya!”. Dan di koran-koran, negara diurus seperti mengelola perseroan terbatas. Hanya yang memiliki saham kekuasaan yang mendapat bagian.

Wonderful Indonesia!

***

72 tahun Indonesia Merdeka ialah sebuah puisi panjang yang tersesat di daftar belanjaan seorang istri. Begini bunyinya:

Di negeri bernama Indonesia ini, kami hidup berdesak-desakan mencari nafkah, makan, berpinak, dan berbicara tentang apa saja. Di negeri bernama Indonesia ini, fikiran kami diperebutkan agar berfihak pada keyakinan-keyakinan yang tak jemu bertarung sepanjang abad-abad. 

Kami berderet berbaris menunggu giliran mengundi mimpi. Kami adalah daftar panjang yang dimanipulasi, disumpal iklan dan hasutan, dipaksa patuh pada ketentuan-ketentuan yang kami tidak mengerti dari mana asalnya. Di negeri ini kami diperintahkan untuk menempik-soraki jagoan-jagoan yang diadu seperti ayam, entah oleh siapa.  

Kami ribut mulut, bersungut-sungut saling melempar kebencian berusaha saling menyakiti, saling merendahkan. Kami dikuasai dengki. Kami di sini, berteduh di bawah rimbunan perdu, dirayapi berita-berita palsu, menyelinap di akal pikiran. Kami dihasut, dijejali saling fitnah, dipaksa berfihak dan membela entah apa yang kami tak pernah diberi pengertian atasnya.  

Di negeri bernama Indonesia ini orang-orang menggali lubang perlindungan tapi kata-kata bersijingkat di jalan-jalan, memenuhi gorong-gorong, menyesaki udara, memanjat pagar-pagar, menyusup di kemacetan dan menggerayangi tidur setiap yang terlelap. Kata-kata mendatangi siapa saja, mengejar dan memburu, tak ada pertahanan lagi, bahkan bagi mereka yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri. Kata-kata telah menjadi wabah, mengalir menjadi alir, datang dari setiap arah, turun seperti hujan. Hari-hari kami tenggelam, dan entah siapa merampas diri kami pelan-pelan. 

Di negeri bernama Indonesia ini, orang-orang telah kehilangan pengetahuan tentang cara bernafas yang wajar. Mulut-mulut menelan bahasa, bahasa tak muat. Lalu mereka berlompatan masuk ke dalam dada melalui lubang hidung, lubang telinga, melalui mata, pantat dan kelamin. Dada kami sesak dan milyaran huruf berlompatan di dalam pencernaan. Ambisi pribadi dan saling iri menyelusup di aliran darah. Kami telah berjalan dengan kaku. Tubuh kami menggembung, mulut kami menganga, mata kami melotot. Entah kemana kami melangkah, kami diseret di luar kesadaran diri, dan tiba-tiba telah berada di antrian panjang meraksasa, mirip seperti antrian di depan kakus umum yang kumuh.  

Kami ingin mengeluarkan bahasa yang tak terkendali dari dalam tubuh kami, tapi mereka (entah siapa, tak kami kenal dan tak mengenal kami) hanya menghitung dan menghitung. Menomori kami dan membuat daftar panjang. Kami telah menjadi angka-angka. Sejuta, dua juta, seratus juta, semilyar, seratus triliyun, kami dilemparkan ke atas meja, dadu dikocok dan kami dipertaruhkan. Kami dipaksa menyetorkan keyakinan pada para pengepul, ditukar dengan harapan. Besok hari kami terkapar setelah diperas bersisa darah, jadi bahan perjudian. 

Jiwa-jiwa merangkak di jalan malam berbatu dan basah. Anjing-anjing menggonggong, menertawakan nasib-nasib yang dijual cepat di pasar gelap kehidupan. Orang-orang mencari cahaya setelah lelah dengan ketidakmengertian atau hidup yang tak bisa berbuat apa-apa. Semua bertanya tapi tak percaya pada jawaban. Semua perlu keyakinan tetapi selalu meragukan. Semua menginginan kemanusiaan tetapi dipenuhi kecurigaan.  

DAN 

Kami merindukan Tuhan tetapi kehilangan Muhammad Sang Kekasih pada semua detik yang menghablur di keseharian yang tanpa kesadaran. 

***

72 Tahun Indonesia Merdeka ialah harapan, semoga kita masih mampu mencintai negeri ini dengan saksama dan dalam bentuk yang paling pantas. Kemerdekaan ialah juga membangun kewajaran, merawat ruang hidup bernama Indonesia Raya.

Semoga Allah Swt senantiasa melindungi dan memberkahi negeri ini.

AMIN