Memandang Laku Menggelandang
Bagikan

Memandang Laku Menggelandang

Sejarawan Onghokham mendefinisikan gelandangan sebagai pengembara. “Istilah ‘gelandangan’ berasal dari ‘gelandang’ yang berarti ‘yang selalu mengembara’, yang berkelana (lelana) menurut istilah dahulu dan yang lebih netral sifatnya,” tulis Onghokham

BERJARAK satu kilometer dari Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, terhampar taman kecil berbentuk segitiga. Pepohonan menaunginya. Begitu rindang. Cukup untuk menghalau terik matahari. Suatu siang, dua lelaki duduk beralas matras di taman. Pakaian mereka lusuh, dari atas sampai bawah. Di dekat mereka ada buntalan sarung berisi pakaian.

Laki-laki pertama masih muda, berusia 30 tahun. Dia pendiam dan tertutup. Dia menyebut diri dari Papua. Laki-laki kedua sudah renta, kelahiran Jakarta tahun 1944. “Kami bertemu untuk satu alasan: sama-sama menggelandang,” ujar Bambang Sucipto, lelaki renta itu kepada saya.

Lalu Bambang bercerita tanpa jeda. Dia menggelandang sejak 1994. “Kegagalan cinta. Rumah tangga saya hancur,” katanya. Dia masih punya anak dan saudara tetapi tak mau tinggal bersama mereka. “Biar saja saya jadi gembel. Biar bisa merasakan panas, hujan, kelaparan. Jadi orang kecil,” ujar Bambang terkekeh.

Bambang tak pernah khawatir urusan makan dan tidur. “Saya jual kardus, kaleng, atau botol bekas. Orang juga sering kasih saya uang. Yang penting saya tidak meminta,” katanya. Kalau mata sudah lelah, dia bisa tidur di mana pun. Paling sering di emperan toko.

Belasan tahun hidup di jalan, Bambang bertemu banyak gelandangan. Macam-macam alasan mereka jadi gelandangan. “Ada yang karena miskin dan bangkrut, tapi ada juga karena soal pribadi: homoseks dan banci,” terang Bambang.

Sikap hidup gelandangan juga beragam. Sebagian gemar bekerja, lainnya lebih suka mengemis. “Umumnya manusialah. Ada pemalas, ada yang rajin. Bedanya, kami tak punya rumah,” kata Bambang. Ini jauh dari stereotip lumrah khalayak bahwa semua gelandangan adalah pemalas.

Pemerintah berpandangan serupa. Mereka menilai gelandangan sebagai patologi sosial, penyakit. Mengobatinya harus dengan razia. Selalu begitu dari dulu. “Kami masih belum mempunyai jurus jitu untuk menyelesaikan itu (gelandangan—Red),” kata Jokowi, gubernur Jakarta, dikutip www.portalkbr.com.

Namun, Bambang tahu dan percaya gelandangan tak pernah seragam. Catatan sejarah menyokong argumentasi Bambang.

Jenis Pergelandangan

Sejarawan Onghokham mendefinisikan gelandangan sebagai pengembara. “Istilah ‘gelandangan’ berasal dari ‘gelandang’ yang berarti ‘yang selalu mengembara’, yang berkelana (lelana) menurut istilah dahulu dan yang lebih netral sifatnya,” tulis Onghokham, “Gelandangan Sepanjang Zaman”, termuat dalam buku yang disuntingnya, Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial.

Pada masa kuno, gelandangan bisa menjadi penguasa. Contohnya Ken Arok (lahir 1182 M). Semasa muda, Ken Arok pernah menggelandang. Ini bermula ketika dia diusir dari rumah oleh bapak pungutnya karena gemar berjudi. Di jalan dia bertemu Bango Samparan, sesama penjudi.

Bango Samparan mengajak Ken Arok ke arena judi. Dia menang banyak dan berpikir Ken Arok musababnya. Maka dia mengangkat Ken Arok sebagai anak. Mereka hidup bersama dalam satu rumah. Namun, Ken Arok tak betah berdiam lama. Tabiatnya selalu ingin berpetualang. Dia pun menggelandang lagi, mengumpulkan pengikut, dan bikin huru-hara: merampok dan merogol. “Lari dari tempat yang satu ke tempat yang lain,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagara Kretagama. Dia berhenti menggelandang setelah beroleh kuasa di Tumapel, Jawa Timur.

Gelandangan lain tak seberuntung Ken Arok. Mereka konsisten jadi kecu, pencuri, dan pembegal, padahal tadinya mereka bekerja sebagai budak. Tak puas dengan majikan, sebagian dari mereka kabur. Mereka tersisih dari pergaulan. Tak punya rumah, sawah, dan pekerjaan. Kembali ke keluarga pun malu.

“Di waktu tidak ada pekerjaan, orang-orang semacam itulah yang mudah terbawa ke dalam tindak kriminal seperti mencuri, membegal, atau berkelompok menjadi perampok, garong, atau kecu,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.

Masyarakat mengutuk laku kriminal mereka. Lebih-lebih cara hidup menggelandang. Kaum Kalang kena getahnya. Mereka kaum pinggiran di Jawa Tengah pada abad ke-14. “Mereka berpindah-pindah tempat dan selalu dianggap hina oleh penduduk yang sudah menetap yang menganggap mereka sebagai orang biadab dari hutan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 3.

Namun, beredar pula di sebagian masyarakat pandangan luhur tentang gelandangan. Ini tersua dalam naskah berbahasa Sunda dari abad ke-15. Kisahnya mengenai seorang bernama Bujangga Manik. Dia menggelandang demi mencari makna hidup. Kisah serupa termaktub dalam Serat Centhini pada awal abad ke-19. Tokohnya antara lain Cabolang dan Amongraga. Mereka pengembara, pencari makna spiritual. Orang menyebut gelandangan demikian sebagai satrya lelana, berbeda dari batur.

Membangkang di Kota

Batur muncul dalam catatan Inggris pada 1814. Mereka hijrah ke kota lantaran gagal panen. Pemerintah sulit menghitung jumlah pasti mereka. Menurut Onghokham, di daerah Kedu, Jawa Timur, jumlah mereka sekira 30 ribu. “Lebih banyak lagi para batur ini berada di kota-kota keraton dan pesisir,” tulis Onghokham.

Mereka bekerja mengangkut barang tanpa berpakaian. Hanya bercawat. Tempat tinggal mereka tak pernah tetap, bergantung pada majikan yang membawa mereka. Upah mereka kecil. Karuan mereka termasuk orang miskin. Namun, saat Perang Diponegoro (1825-1830) berlangsung, peran mereka berkembang. Batur tak cuma mengangkut barang, tetapi juga membawa pesan untuk pasukan Diponegoro. Mereka membantu pasukan Diponegoro melawan Belanda. Untuk menumpas mereka, Belanda bekerja sama dengan penguasa lokal. Mereka pun kocar-kacir dan menjadi gelandangan sepanjang hayat di kota.

Pemerintah kolonial harus berurusan lagi dengan gelandangan pembangkang pada 1919. Kaum gembel, termasuk gelandangan, mendirikan Sarekat Kere di Semarang. “Tujuannya menghimpun orang-orang yang selalu miskin dan tidak punya ‘bondo’ (harta—Red), tanpa memandang bangsa,” tulis Soe Hok Gie dalam Di Bawah Lentera Merah. Pemimpin dan aktor intelektualnya bersimpati dengan Partai Komunis Hindia Belanda (ISDV). Gerakan ini tak bertahan lama karena pemerintah kolonial cepat bereaksi dengan menangkap pemimpin dan anggotanya.

Pemerintah kolonial menghadapi tantangan lebih berat pada 1930-an. Resesi menerpa Hindia Belanda. Pabrik-pabrik tutup. Orang-orang kehilangan pekerjaan, baik bumiputra maupun Eropa. Mereka sama-sama menjadi gelandangan. Laporan ini berasal dari seorang jurnalis Eropa pada 1932.
Saat berjalan menuju Kantor Pos Pusat di Batavia, kaki jurnalis itu tersandung gelandangan tidur. Dia kaget gelandangan itu berkebangsaan Eropa, menyembul di antara gelandangan bumiputra. Dia membangunkan gelandangan itu, lalu si jurnalis mendengarkan ceritanya.

“Sekarang dengan tidak ada lagi yang tersisa selain pakaian di badannya, dia berupaya bertahan hidup dari sumbangan orang-orang Indonesia di kampung terdekat yang memberinya nasi, juga dari orang-orang Eropa yang memberinya beberapa koin uang ketika mereka lewat di jalan,” tulis John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial, mengutip De Telegraaf, 9 Desember 1932.

Berita itu tersebar. Pers Belanda mengingatkan pemerintah bahwa gelandangan bisa mengancam orde kolonial. Mengabaikan gelandangan Eropa, supremasi pemerintah bisa jatuh. Pemerintah bertindak cepat. Mereka mendirikan pusat dan kamp kerja.

“Pusat-pusat kerja dan kamp-kamp kerja terutama ditujukan untuk menjaga pengangguran Eropa dari kemalasan, untuk mengurangi jumlah tunawisma dan orang-orang Eropa miskin di jalan-jalan serta untuk mencegah pengangguran membawa kerusakan moral bagi pemuda Eropa,” lanjut John Ingleson. Gelandangan bumiputra juga bisa masuk kamp dan pusat kerja khusus.

Lewat masa resesi, Belanda hengkang dari Indonesia. Jepang datang dan gelandangan tetap ada. Pramoedya Ananta Toer mengangkat kisah mereka lewat novel Perburuan. Seorang pejuang Indonesia menyamar menjadi kere karena dikejar tentara Jepang. Dia bersembunyi di bawah jembatan Kali Lusi, Blora, Jawa Tengah. Di sana tempat gelandangan berkumpul.

Jepang tak selalu simpatik terhadap gelandangan. Mereka menilai gelandangan tak berdaya guna. Banyak laporan dari masyarakat tentang pencurian barang. Tersangkanya gelandangan. Karena itu, gelandangan ditangkapi dan ditampung. “Kentjo (pemerintah kota—Red) sendiri beroesaha soepaja kaoem toealang tadi mendjadi sehat dan koeat badannja dan dengan demikian dapatlah dikirim ke loear Soerakarta Kotji (karesidenan—Red) sebagai Peradjoerit Ekonomi,” tulis Asia Raja, 18 Januari 1944.

Saat Belanda kembali menduduki Indonesia pada Desember 1948, gelandangan benar-benar berdaya guna. Bukan sebagai prajurit ekonomi, melainkan laskar gerilya kota penyokong Republik. Mereka ada di Yogyakarta, menggelandang karena Belanda merampas hak-hak mereka: harta, keamanan, dan keluarga.

“Bagi mereka yang merasa dimiskinkan, mereka akan menerima cara hidup menggelandang sambil ikut bergerilya sebagai cara untuk mendapatkan kembali haknya,” tulis Jang A Muttalib dan Sudjarwo, “Gelandangan dalam Kancah Revolusi”, termuat dalam Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial.

Mereka membentuk organisasi gelandangan. Sebut saja Laskar Kere, Laskar Pengemis, Laskar Macan, dan Laskar Grayak. “Gerakan ini terus berlangsung sampai tentara Belanda meninggalkan Yogya, 29 Juni 1949,” lanjut Jang A Mutallib dan Sudjarwo. Selesai revolusi, mereka berpencar. Sebagian kembali bekerja, sisanya terus menggelandang.

Dan di masa damai ini, gelandangan memenuhi kota-kota besar seperti Jakarta. Pemerintah gencar merazia mereka.

Bertahan di Kota

Sjamsuridjal, wali kota Jakarta 1951-1953, sakit kepala. Jakarta kebanjiran penduduk. Tambahan penduduk datang dari daerah sekitar Jakarta, seperti Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Bandung, Bogor, dan Banten.

“Penduduk Djakarta dewasa ini demikian meningkatnja terutama karena semakin banjaknja orang datang ke kota, baik oleh karena belum pulihnja keamanan di pedalaman, maupun oleh karena akibat-akibat jang ditimbulkan oleh perdjoangan jang baru lalu, sehingga orang memilih djalan pindah ke kota,” tulis Kotapradja, terbitan 1952.

Sebagian besar migran penduduk miskin. Jumlahnya 50 ribu jiwa. Tak mampu beli tanah, mereka menyasar tanah-tanah bekas peninggalan Jepang dan membangun gubuk sementara di atasnya. Jika petugas datang menggusur, gelandangan berpindah; cari tanah tanpa tuan dan membangun gubuk lagi. Begitu seterusnya.

Pada saat bersamaan, kebakaran sering melanda dan menghanguskan ribuan rumah. Puluhan ribu orang terancam menggelandang. Padahal Sjamsuridjal berencana menyejajarkan Jakarta dengan kota-kota lain di luar negeri. Dan gelandangan bukan bagian dari rencana itu. Maka Sjamsuridjal menggelar konferensi dengan residen Bogor, Banten, Pekalongan, Jakarta Raya, dan wakil gubernur Jawa Barat pada 29 Desember 1952 untuk mencegah gelandangan muncul di kota. Keputusannya, “Konferensi telah menghasilkan panitia yang bertugas melaksanakan tempat penampungan dan mentransmigrasikan mereka,” tercatat dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah. Cara ini tak memecahkan masalah.

Jakarta telanjur menjadi magnet bagi orang daerah. Pembangunan timpang. Daerah menjadi anak tiri, Jakarta tetap anak emas. Rakyat protes. Muncul perlawanan di Sumatra dan Sulawesi pada 1959 sebagai reaksi atas ketimpangan itu. Namun, perlawanan itu tak bertahan lama, sedangkan migrasi orang ke Jakarta justru berlanjut.

Dan gelandangan kian memenuhi Jakarta pada 1960-an. Dari data Sensus Penduduk Jakarta 1961, terbitan Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Badan Pusat Statistisk 1980, tercatat ada 8.519 gelandangan di antara 3 juta penduduk Jakarta.

Gelandangan bertahan hidup semampunya di kota, tanpa jaminan sosial dan penghasilan pasti. Ini menarik minat mahasiswa antropologi Universitas Indonesia—kelak menjadi guru besar—Parsudi Suparlan. Dia meneliti masyarakat gelandangan di Jalan Budi Kemulyaan II, Jakarta, 300 meter dari Istana Negara, pada 1961.

Gelandangan di sana hidup penuh tekanan. Kedudukan hukum mereka lemah, tak punya izin atas penggunaan tanah dan bangunan. Pemerintah kota bisa mengusir mereka kapan saja. Kesatuan militer terdekat mengeksploitasi kelemahan gelandangan. Mereka menawarkan perlindungan, tetapi tak gratis.
 
“Juga KMK III (Komando Militer Kota—Red) mewajibkan kepada mereka untuk seminggu sekali sejumlah 20 orang membersihkan pelataran KMK III …. Juga ada kewajiban untuk seminggu sekali membersihkan pelataran BODM (Badan Onder Distrik Militer—Red) Tanah Abang sebanyak 10 orang secara bergilir,” tulis Parsudi dalam skripsinya, “Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang Sudah Menetap”, terbit pada 1961.
 
Kesimpulan penelitian Parsudi berlawanan dengan stereotip umum khalayak dan pemerintah terhadap gelandangan: pemalas, kotor, dan tidak bisa dipercaya. “Dari data yang telah saya kumpulkan ternyata bahwa sterotip seperti tersebut di atas tidaklah benar, dan bahkan sebaliknya menunjukkan bahwa orang gelandangan itu bekerja keras dalam usaha mereka mencari nafkah untuk dapat menyambung hidupnya,” tulis Parsudi, “Orang Gelandangan di Jakarta”, termuat dalam buku yang disuntingnya, Kemiskinan di Perkotaan.

Peristiwa G-30-S (G30S)berdampak pada jumlah gelandangan. “… Selama masa kegagalan ekonomi pada zaman Sukarno pada tahun 1963—1965 terdapat kira-kira 50.000 orang gelandangan. Jumlah itu naik lagi sesudah Peristiwa G30S …,” lanjut Parsudi.

Simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) memilih menjadi gelandangan untuk menghindari pembunuhan massal. Nahas, sebagian mereka kena razia gelandangan. “Hal ini sudah terbukti, ketika diadakan razzia baru-baru ini, setelah diperiksa ternjata 12 orang diantaranja adalah orang-orang komunis,” tulis Selecta, 4 Desember 1967.

Pengakuan Parsudi memperkuat berita itu. Saat kembali meneliti gelandangan pada 1967, dia bertemu dengan gelandangan baru bekas anggota Barisan Tani Indonesia—organisasi sayap PKI untuk petani. “Para gelandangan baru ini tinggal diam-diam, tidak berbuat sesuatu pun yang menunjukkan kegiatan politik,” tulis Parsudi.

Sementara, gelandangan lama justru hidup enak. “Sebagai gelandangan dengan kerja mengorek-ngorek tong sampah dan mengumpulkan kertas-kertas, sehari-harinya mereka bisa memperoleh wang Rp 75,” dikutip Selecta. Menurut Selecta, penghasilan ini bahkan lebih besar daripada pendapatan seorang pegawai negeri golongan bawah.

Gelandangan hidup dari sampah, dan mereka menghidupi para agen barang bekas. Agen mendatangi kampung-kampung gelandangan sekali dalam tiga hari. Mereka orang berpunya. Contohnya Yoyo, seorang pemuda Tionghoa berusia 24 tahun, biasa datang menggunakan Mercedes 280 S. “Dia diiringi armada pengangkut, mobil colt diesel,” tulis Jacob Rebong, Anthony Elena, dan Masminar Mangiang dalam “Ekonomi Gelandangan”, termuat di Prisma nomor 3, Maret 1979.

Sadar bisa bertahan hidup di kota, gelandangan percaya diri. Mereka menolak program transmigrasi pemerintah. Kalau tertangkap dalam operasi pemerintah, mereka memilih kabur dari penampungan. Sebagian kecil nekat kabur dari daerah transmigrasi dan kembali ke Jakarta. “Di sana kami dikirim ke tengah hutan. Dalam rumah yang diberikan kepada kami, masih tumbuh rumput. Bagaimanapun juga, enakan di Jakarta,” kata mereka, dikutip Anthony Elena dkk. Maka usaha pemerintah merazia gelandangan sejatinya telah gagal.

Sampai sekarang gelandangan masih sering muncul di kota-kota besar. Mereka tak takut razia. Penampungan bukan titik akhir gelandangan. “Masalah gelandangan bukan selalu pada keterampilan atau ekonomi.” kata Bambang Sucipto, gelandangan renta itu. Lalu dia menyodorkan kertas kepada saya. Tertulis keterangan di kertas itu gelar lengkapnya: Pendeta Bambang Sucipto, Evangelis.