Beberapa Persoalan di Seputar Pengartian Agama
Bagikan

Beberapa Persoalan di Seputar Pengartian Agama

Penting bagi kita untuk mengkaji kembali makna yang tepat dari agama berdasarkan cara pandang kita. Keraguan pada kebenaran agama, kekecewaan atas agama, dan bahkan ketidakpercayaan atau pengabaian terhadap agama tentu tidak terjadi jika kita tepat memahami apa itu agama.

Akhir-akhir ini kita mulai terbiasa mendengar ujaran di sekitar kita yang mulai mempertanyakan kebenaran agama. Ada orang-orang yang merasakan kekecewaan terhadap agama yang dianutnya. Tak jarang di antara mereka memutuskan untuk tidak lagi percaya kepada agama. Keadaan ini menghadirkan pertanyaan bagi kita sebagai umat yang beragama. Bagaimana selama ini agama diartikan? Apakah pemahaman kita selama ini mengenai agama sudah tepat?

Oxford Dictionary mengartikan agama (religion) sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang luar biasa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, terutama Tuhan dan dewa-dewa (The belief in and worship of a superhuman controlling power, especially a personal God or gods [www.oxforddictionaries.com/definition/english/religion, diakses 26 Oktober 2015]). Selain itu agama juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem keyakinan dan peribadatan. Kemudian pengartian lain dari Oxford Dictionary menyebutkan bahwa religion merupakan sesuatu yang dikejar atau yang dianggap penting disertai pengabdian yang besar kepada sesuatu itu (a pursuit or interest followed with great devotion).

BErbingkatSementara di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama diartikan sebagai: ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya (kbbi.web.id/agama, diakses 18 November 2015).

Setidaknya ada dua persoalan dalam dua arti agama di atas. Pertama, penyempitan makna agama hanya sebagai kepercayaan kepada Tuhan (atau yang dianggap Tuhan), tata cara peribadahan kepada Tuhan dan kemudian semacam sumber bagi ajaran moral. Tampaknya, agama dalam pengertian umum memang hanya mencakup tiga hal ini. Bagaimana agama harus terlibat dengan filsafat, sains, ekonomi, politik, pendidikan, dan sisi kehidupan lain tampak tak tercakupi oleh arti-arti di atas. Hal ini menunjukkan gejala pemisahan antara agama dengan kehidupan. Tak mengherankan jika orang tak mampu menghubungkan kehidupan yang dilaluinya dengan agama yang dianutnya.

Persoalan kedua, salah satu definisi di atas (a pursuit or interest followed with great devotion) menunjukkan bahwa arti agama telah mengalami penyempitan dan menjadi sesuatu yang tidak lagi sakral bagi manusia. Kedudukan agama menjadi sejajar dengan apa pun yang dianggap penting. Kecintaan terhadap sepak bola, gaya hidup yang konsumtif, atau hal lain yang dikejar dan dianggap penting oleh manusia menjadi layak untuk disebut agama.

Orang yang mengagungkan sains, misalnya, dan menganggap sains merupakan yang paling penting dalam hidupnya (sembari menganggap hal lain tak terlalu penting atau tidak lebih penting dari sains) dapat disebut telah menjadikan sains sebagai agama. Demikian juga dengan para fanatik yang menjadikan sepak bola sebagai urusan hidup dan mati. Pun halnya dengan masyarakat yang dikepung dan mencandu budaya belanja yang menggila. Masyarakat macam ini dapat disebut telah menjadikan konsumerisme sebagai agama. Tentu hal ini keliru.

Manusia yang menjadikan Tuhan sebagai segala-galanya dalam hidup, berbeda dengan mereka yang menyerahkan hidup dan mati pada sebuah kesebelasan sepak bola. Ketundukan orang-orang pada ajaran agama tidak sama dengan kemenyerahan orang-orang pada budaya membeli, gila belanja. Menyamakan dua hal tersebut merupakan ketidakbijaksanaan. Tidak semua ketundukan adalah agama. Penyamaan semacam ini menyiratkan pandangan yang melihat agama sebagai proses insani belaka. Kepercayaan, ketundukan kepada Tuhan (dianggap) merupakan proses yang tidak berbeda dengan ketundukan pada keberbelanjaan atau sepak bola. Kebenaran mengenai agama yang berasal dari Tuhan, diterima para nabi dan kemudian diajarkan kepada manusia lain tampak diabaikan. Agama dianggap proses yang benar-benar urusan manusia dan tidak melibatkan selainnya.

Gagasan semacam itu tentu tak hadir dan lahir begitu saja di ruang kosong. Seorang antropolog Inggris bernama Edward Burnett Tylor pernah melakukan penelitian tentang asal-muasal lahirnya agama (Pals, 2011: 29-80). Berdasarkan penelitian tersebut, Tylor berkesimpulan bahwa agama bermula dari perenungan manusia-manusia tertentu, yang disebutnya sebagai filsuf liar (savage philosopher), ketika mereka berupaya mencari penjelasan tentang dua hal penting terkait kehidupan.

Pertama, mereka melakukan pembedaan antara manusia yang masih hidup dan yang sudah mati. Kedua, mereka melakukan penalaran terhadap hal-hal yang timbul ketika manusia bermimpi. Untuk menjawab dua hal tersebut, para filsuf liar ini memunculkan konsep anima (jiwa), dan inilah yang disebut animisme. Jiwa disimbolkan sebagai sesuatu yang halus dan berpribadi. Setiap tempat seperti hutan, laut, dan gunung, menurut mereka memiliki jiwa, karena tempat-tempat tersebut sering mengeluarkan banyak fenomena alam.

Dalam perkembangan kebudayaan, para filsuf liar kemudian mempertanyakan kembali tentang nasib jiwa manusia yang telah mati. Selain itu, mereka juga merenungkan kemungkinan adanya penguasa tunggal para jiwa dan dewa. Menurut Tylor, ajaran tentang kehidupan akhirat dan keesaan Tuhan ala monoteisme muncul dari permenungan ini.

Pandangan semacam ini meletakkan apa yang disebut kepercayaan sebagai proses insani belaka. Agama dianggap pemaknaan manusia terhadap hal-hal luar biasa di luar dirinya karena keperluan dasarnya untuk mengakui hal-hal yang di luar keberadaan, keperluan manusia untuk mengagumi sesuatu. Keperluan ini dapat diganti tukar dengan hal lain selain agama. Manusia perlu sesuatu yang dianggap besar dan diikuti dengan sepenuh hati agar memberi ketenangan, memberi keterpenuhan akan keperluan dasar itu. Hal itu dapat dipenuhi dengan mengikuti agama, mengagumi The Beatles, atau mencandu sepak bola. Tak mengherankan bila para fanatik sepak bola di Eropa sana tak ragu menyebut “football is my religion”.

Hal ini keliru. Dan arti agama semacam ini tentu tidak dapat diterapkan kepada Islam.

Pengartian agama seperti yang diungkapkan Tylor dan juga tersurat dalam kamus umum bangsa Barat menunjukkan pengalaman traumatis bangsa Eropa terhadap agama mereka. Mereka melihat agama sebagai kejadian insani belaka yang tak berbeda dengan sepak bola dan gaya pakaian. Wajar jika banyak dari mereka yang memilih untuk meninggalkan agamanya.

Hanya saja, dapatkah pengartian tersebut kita terima sebagai arti dari agama yang sebenarnya? Adakah sama pengalaman yang kita miliki dengan pengalaman yang dimiliki bangsa Eropa terkait agamanya? Sebagai umat yang berdaulat, kita tentu memiliki kemerdekaan untuk tidak menyepekati pengartian itu. Persoalannya, sudahkah kita berhasil merumuskan pengertian agama berdasarkan hasil penelaahan yang mendalam berdasarkan cara pandang kita sendiri?

***

Demikianlah beberapa persoalan mengenai pengartian agama yang berkembang saat ini. Penting bagi kita untuk mengkaji kembali makna yang tepat dari agama berdasarkan cara pandang kita. Keraguan pada kebenaran agama, kekecewaan atas agama, dan bahkan ketidakpercayaan atau pengabaian terhadap agama tentu tidak terjadi jika kita tepat memahami apa itu agama. Dan hanya pengartian yang benar yang akan mengantarkan kepada pemahaman yang benar.