Alkisah, pada zaman dahulu kala, orang-orang dengan kebudayaan awal berusaha menanggapi kenyataan alam dengan cara-cara yang masih sederhana. Hujan, panas, serangan hewan-hewan buas, dan keperluan akan ruang yang pribadi melahirkan kebudayaan berumah.
Rumah pada masa kebudayaan awal boleh jadi sangat mengutamakan fungsi. Pada awalnya sekadar untuk menghindari panas dan hujan, tempat berteduh dan bernaung. Berlindung dari bencana dan hewan buas. Pada awalnya. Pada masa awal ini rumah menjadi mirip sebuah benteng pertahanan. Rumah ialah naungan bagi melawan segala kecemasan.
Namun, kemudian rumah perlahan berkembang menjadi hal lain. Rumah adalah bagian dari alam. Sesuatu yang tak terpisahkan. Upacara-upacara pembangun rumah dilakukan agar rumah dan alam akur dan penghuninya terhindar dari malapetaka. Rumah berkembang dari sekadar fungsi kepada pernyataan nilai-nilai. Dalam bentuk-bentuk tertentu terkandung makna-makna tertentu pula. Pendirian rumah berkelindan dengan persembahan kepada para penunggu alam. Kadang rumah dimantrai, dikembangi, dimenyani, bahkan diruwat. Diselaraskan dengan alam dengan cara-cara yang demikian begitu itu.
Pada tahap ini rumah menjadi sesuatu yang lebih rumit. Bentuk, arah, tata ruang, kedudukan, dan fungsi setiap unsur mengandung beragam simbol dan makna. Pranata sosial mulai terlihat dari bangunan-bangunan tempat tinggal kita. Yang sebelah sana ialah rumah raja, yang sana tempat ibadah, di sebelah sini ada ruang pertemuan, dan di situ ada rumah-rumah rakyat. Jalan, pasar, sumber air, kebersihan hingga kesehatan batin sebuah rumah (dan kemudian sebuah kampung) telah menjadi kepentingan bersama. Kegumunan, keguyuban, dan kesadaran akan ruang hidup bersama kemudian muncul. Tata perilaku dalam ruang dan waktu dianut bersama dengan tujuan keselarasan semesta.
Islam kemudian memberi makna yang lebih ruhaniah pada rumah. Arah dan kedudukan tempat tidur selaras dengan arah dan bentuk makam pekuburan. Hal ini diharapkan mendorong manusia dapat menyadari tidur (mati) dan bangunnya (hidup) hanya tertuju kepada Allah SWT saja. Tidur orang-orang di kepulauan Melayu Nusantara ini memiliki keakraban pada makna kematian. Ingat mati sebelum tidur berarti pula mengingat Pemilik Hidup dan mati manusia. Maka tempat tidur terbentang dari utara ke selatan. Sehingga ketika tubuh terbujur ia dapat menghadap kiblat di barat sana.
Nilai semacam ini pada peristiwa tidur menjadikan makna tidur lebih ruhaniah. Tidur ialah juga perjalanan berzikir, mengingat selalu kuasa Tuhan. Hal tersebut bukan hanya sebagai tindak memuaskan diri bermalas setelah sekian lelah. Dalam beristirahat, orang-orang Islam tetap mengaitkan dirinya kepada Tuhan. Hal tersebut berpengaruh terhadap penataan arah dan bentuk ruang tidur dan tentu saja rumah secara keseluruhan.
Di peturasan, tuntutan fikih melahirkan bentuk dan tata ruang tertentu. Ajaran Islam yang menitikberatkan kehati-hatian terhadap najis, menghasilkan beragam bentuk dan pola kamar mandi dan peturasan. Pun halnya tuntutan bahwa air tak mengalir yang menyucikan ialah air yang berdiam dalam wadah yang besarnya lebih dari dua kulah. Bentuk dan luas bak mandi atau gentong penampungan air disesuaikan dengan tuntutan syariah tersebut. Pandangan aurat harus ditutupi berpengaruh pula terhadap pola pembangunan kamar mandi ini. Peristiwa mandi menjadi peristiwa bersuci yang penuh kekhusyukan. Air dipandang sarana untuk bersuci dan diperlakukan pada kedudukan tersebut. Selain untuk masak dan minum, tentu saja.
Penghormatan terhadap orang tua (khususnya terhadap ibu) juga melahirkan pola ruang tertentu di dalam rumah. Di tempat makan ada kursi untuk ayah, untuk ibu, dan untuk anak-anak. Kewajiban untuk membina hidup dengan tetangga melahirkan halaman berpagar rendah. Penataan pepohonan dan taman amat memperhatikan kepentingan untuk saling bersilaturahim antarsatu dengan yang lain. Keindahan dalam ruang dan bentuk amat diperhatikan. Keindahan dan keteraturan dan adab untuk merawat keduanya menjadi sarana pembangunan batin manusia yang amat halus.
Pembangunan rumah pada akhirnya melahirkan pola ruang bersama yang khas. Dipenuhi dengan nilai-nilai luhur Islam. Melewati rumah sultan tentu berbeda dengan melewati rumah Pak Lebai. Perhubungan antara orang yang di dalam rumah dan yang berjalan di jalan amat terbuka. Paling tidak, kedua pihak dapat saling mengucap salam. Tolong-menolong dan saling taksir antara pemuda-pemudi di dalam kampung terejawantah dalam resam adat yang halus penuh adab kesopanan. Semua dijaga bersama dalam kerapatan ukhuwah Islamiyah. Serasi antara makna dan fungsi.
Kehadiran pola-pola berpikir yang anti terhadap feodalisme sembari mengagung-agungkan kesetaraan antara seluruh manusia juga berpengaruh terhadap pola perumahan ini. Pada zaman dahulu kala (sekitar tahun 1946), rumah-rumah raja diserbu, bahkan dihancurkan. Orang-orang menuntut kesetaraan atas nama rakyat. Para tengku dibunuh dan pranata sosial yang ada dianggap membelenggu kemanusiaan. Rumah-rumah dengan simbol dan susunan makna yang dalam kemudian dihancurkan. Yang masih berdiri nyaris hanya menjadi sekadar wahana untuk merawat kenang-kenangan. Dianggap tanda feodalisme. Ruang yang berasas nilai-nilai ruhani Islam kemudian dituduh sebagai ribet dan melanggengkan penidaksetaraan antarsesama manusia.
Rumah-rumah kemudian dibangun berderet-deret seperti susunan kubik kayu yang berjajar. Pola-pola yang simetris dan menekankan pada fungsi terhampar pada ruang-ruang kita. Bentuk kotak mendominasi pandangan kita, baik ruang pribadi maupun ruang bersama.
Arah dan bentuk tak lagi ditentukan berdasarkan makna-makna ruhaniah tetapi berdasarkan fungsi. Rumah menghadap ke jalan. Tak peduli jalan itu ada di selatan, barat, timur, tenggara, ataupun di atas.
Efisiensi terhadap ruang menjadikan kamar mandi dibangun dengan pertimbangan ala kadarnya. Ada hanya sebagai ruang untuk bebersih dan buang kotoran. Penampungan air dibuat lebih kecil agar tak boros ruang. Posisi dan arah tempat tidur amat minimalis alias kurang gede dan kurang mernah. Dapur dibuat dekat betul dengan WC agar yang dibuang dari tubuh dan yang dibuang dari bahan masakan jadi lebih mudah dikelola.
Halaman kadang tak lagi ada di depan, tetapi di belakang. Ketika tuan rumah bersantai di halaman ia tak dapat menyapa atau disapa orang yang sedang bersepeda di jalan sana. Mengucap atau menjawab salam menjadi sesuatu yang tak lagi wajar. Digantikan oleh bel (semacam alat pemanggil pembantu dari dalam rumah).
Lebih jauh, pagar-pagar yang tinggi dipancangkan. Memencilkan diri penghuni dari urusan orang banyak. Pohon-pohon jambu dan mangga dilindungi sedemikian rupa agar tak ada yang mencuri dan tak ada yang meminta.
Soal-soal kebersihan dan keamanan diselesaikan dalam bentuk iuran. Saling taksir antara pemuda dan pemudi tak lagi bisa secara ketat terawasi oleh lingkungan. Persoalan bersama menjadi sekadar administratif dan transaksional. Rumah telah menjadi lebih tertutup, setiap orang berusaha mengindari berurusan dengan orang lain. Nilai-nilai kebertetanggaan roboh pelan-pelan.
Rumah-rumah menjadi sekadar benteng diri dari diri-diri lainnya. Dan pada masa kini benar-benar ada rumah-rumah yang dikelilingi benteng dan gerbangnya dijaga satpam. Hal mana sering menyusahkan Pak RT dalam mengumpulkan iuran untuk perayaan 17 Agustusan. Yang sering ditemui ialah babu-babu para tuan rumah. Bahkan, sering kali anjing mereka lebih akrab dengan para tetangga. Itu juga dikenali dengan kemangkelan karena sering menggonggongi orang yang lewat.
Hubungan antarmanusia tidak terjadi di dunia nyata, tetapi di dunia maya. Untuk membeli sayur pun mereka telah kehilangan kesempatan untuk bersilaturahim dengan ibu-ibu dan tukang sayur. Semua serbapraktis dan canggih.
Sisanya, manusia kurang beruntung yang ruangnya digusur dan kemudian ditempatkan di kubus-kubus beton padat. Mereka tak bisa membuat pagar untuk melindungi pohon jambu mereka dari pencuri. Tak ada lagi pencuri mangga atau jambu sebab sangat sulit menanam jambu, mangga, atau kelapa di hunian sedemikian.
Anak-anak di sana tak lagi bisa menyanyikan lagu “Abang Tukang Bakso†sebab abang tukang bakso mendorong rodanya jauh di bawah sana. Tak bisa dipanggil “mari-mari siniâ€. Para bapak tak lagi bisa berkumpul di depan rumah karena tak ada lagi depan rumah di ketinggian. Para ibu menjadi sunyi sendiri dan mendamparkan diri di media sosial. Bahkan, kesempatan pemuda-pemudi untuk saling taksir menjadi semakin menipis. Pertemuan antara sesama manusia menjadi asing dan tak alami.
Ada juga perhunian mahal bertingkat-tingkat mendekati petir. Fungsi utamanya dalam memencilkan kehidupan manusia dari urusan orang banyak tetap mengedepan. Jika manusia-manusia yang tak bisa menanam pohon kelapa di huniannya itu tadi ada dalam keadaan terpaksa, manusia-manusia ini berlaku demikian dengan kesadaran sukarela.
Keterbatasan ruang memang telah melahirkan pola pembangunan ke atas dan ke bawah bumi. Dan itu membuat rakyat biasa bisa berkedudukan lebih tinggi dari para pemimpin. Tempat buang air besar rakyat boleh jadi lebih tinggi dari ruang tidur presiden. Tata nilai tidak lagi diatur dalam ruang. Penghargaan dan dukungan tertata secara suka-suka dalam kebajikan tanda pagar di media sosial. Lebih jelas, lebih terang, dan lebih dangkal.
Akhirnya, manusia-manusia dalam keadaan aneh semacam itu membuat keanehan lain. Pohon-pohon plastik dibuat. Burung-burung dalam sangkar dipelihara. Suasana pedesaan yang rimbun, asri, dan jernih dihadirkan dalam kepalsuan-kepalsuan. Kolam-kolaman, kebun-kebunan, rimbun-rimbunan, asri-asrian, desa-desaan, jernih-jernihan, bahkan hutan-hutanan diproduksi dalam skala industri.
Tujuannya: menebus kesunyian manusia atas keterpencilannya dari urusan orang banyak itu.
Fungsi-fungsi kemudian dirutuki sebagai tak bermakna. Lalu makna dalam ruang dan rumah di produksi dalam bermacam cara yang ruwet. Semua serba-dikeringkan dan dibekukan. Ruang-ruang artifisial semakin menjauhkan kita dari kealamian kita sebagai manusia. Perkusutan antara makna dan fungsi menjadikan kedudukan masing-masing menjadi kabur. Gelas yang tak lagi berbentuk gelas. Toilet yang tak lagi berbentuk toilet. Kursi yang tak lagi berbentuk kursi. Ruang tamu yang tak lagi didatangi tamu. Kamar tidur yang semakin dekat dengan WC. Dan kemanusiaan yang semakin jauh dari manusia.
Di dalam ruang kita semakin terpencil dan sunyi. Kita mendamparkan diri pada budaya massa di dalam Facebook dan Instagram. Pagar-pagar dan benteng semakin tinggi. Kubus-kubus beton menjadi sarana perlindungan dari hujan dan panas sekaligus tempat melempar lelah yang sering kali sumpek. Pemerintah mengatur kita seperti mengatur bebek. Semua serbaadministratif dan antimanusia. Kita jauh terpisah dari urusan orang banyak. Di kanan-kiri kita hanya beton dan bunga buatan, juga manusia-manusia yang tak lagi mudah dan wajar untuk disapa.  Â
Kita terjebak pada penidakmanusiaan ruang atas diri kita.