Lionel Messi: Digdaya di Batas Peradaban Sepakbola
Bagikan

Lionel Messi: Digdaya di Batas Peradaban Sepakbola

Di masa depan, sepakbola boleh jadi menjadi semacam PlayStation yang dimainkan di atas lapangan rumput oleh atlet-atlet yang diri dan kemampuan mereka telah ditafsirkan oleh data raksasa, diatur sedemikian rupa lewat ribuan mikro taktik rumit yang diprogram amat rinci melampaui kemampuan dan kesadaran nalar manusia. Namun di malam final itu, sepakbola masih bersifat amat manusia. Sosok penjaga kemurnian itu bernama Lionel Messi. Ya, Messi yang amat terhormat. Lionel Messi yang telah mencapai kedigdayaan yang akan sulit dibantah dan dipatahkan oleh generasi selanjutnya.

Argentina menjadi juara Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar. Kesebelasan sepakbola Argentina ialah juara dunia. Yang tertinggi, tanpa tanding. Di laga terakhir, laga final penentu juara dunia, Le Albiceleste mengalahkan Perancis lewat adu penalti. Final antara Argentina lawan Perancis ini, boleh saya catat sebagai salah satu pertandingan terbaik yang pernah saya lihat, selain pertandingan Lazio melawan AC Milan di Seri A Liga Italia musim 1999/2000 pada 3 Oktober 1999.

Pada malam hari 18 Desember 2022, di negeri Qatar terhampar pertarungan 11 manusia Argentina melawan 11 manusia Perancis. Di Stadion Lusail, stadion terbesar di Qatar, punggawa kedua kesebelasan menampilkan sepakbola dengan segenap daya kemanusiaan yang mereka miliki. Semua memberikan seluruh apa yang mereka miliki dalam tubuh dan jiwa mereka untuk pertarungan puncak nan agung. Sepenuh hati, segenap daya. Melalui sepakbola para pemain menumpahkan gelombang kemampuan diri hingga tetes-tetes terakhir yang mereka miliki.

Argentina, sebuah negeri Amerika Latin yang terdiri dari kisah-kisah penderitaan, perjuangan, kasih sayang dan Lionel Messi menampilkan jati dirinya yang paling sejati. Emiliano Martinez, kiper Argentina di final itu, ialah wajah manusia Argentina pada umumnya. Ia lahir dalam kerak-kerak kemiskinan kota Mar del Plata. Ayahnya pernah menangis di malam hari karena benar-benar tak sanggup membayar sewa rumah. Mari kita bayangkan seorang lelaki yang menangis setelah segenap daya kelelakiannya membentur kenyataan bahwa ia gagal membayar sewa rumah.

Kita juga dapat melihat Nicolas Otamendi, pemain gaek dengan keberanian yang ditempa berbagai kesengsaraan hidup. Seorang pemain yang memberikan apa saja yang ada pada dirinya untuk merebut bola, menghadang sepakan. Otamendi bahkan bersedia menempuh benturan dan rasa sakit jenis apa pun untuk melindungi kesebelasan yang ia bela.

“Saya adalah seorang pemain yang tak akan segan berjuang untuk mendapatkan bola. Saya akan mencoba sekeras mungkin untuk merebut bola dari lawan. Itu adalah hal dasar yang harus dilakukan seorang bek” ucap Otamendi saat pertama kali tiba di Manchester City pada 2015.

Sementara itu Angel di Maria ialah lelaki yang tampak begitu kurus dan kurang cocok untuk menjadi petarung seperti Otamendi. Bila ada kesamaan antara Di Maria dan Otamendi, itu adalah latar kemiskinan di masa kecil mereka. Keduanya menjadikan sepakbola sebagai jalan keluar dari kepapaan. Namun Di Maria menampilkan wajah lain dari sepakbola. Ia seperti suatu kesabaran yang tak ada akhirnya. Seperti bangau yang tenang di pantai indah, bersabar pada angin dan apa pun yang terjadi. Di Maria ialah wujud keindahan sekaligus ketabahan dalam sepakbola.

Emi Martinez, Nico Otamendi dan Angel di Maria ialah wajah umum dari tim nasional Argentina. Enzo Martinez, Rodrigo de Paul, Nahuel Molina, Cristian Romero, Nicolás Tagliafico, Alexis Mac Allister, dan Julián Álvarez ialah wajah-wajah Argentina dengan segala persoalan kebangsaan mereka. Dalam diri mereka bukan saja mengalir darah Argentina, tetapi juga nasib dan pengalaman hidup bangsa.

Bila ada wajah lain yang berbeda, itu adalah wajah Lionel Messi. Ia adalah definisi terakhir dari sepakbola. Tidak ada yang lain yang lebih sepakbola melebihi manusia ini. Pembuktiannya ialah final di Qatar yang akan kita ceritakan kemudian.

Maka manusia-manusia Argentina itu berhadapan dengan orang-orang Perancis, suatu bangsa ragam budaya yang di dalam kebangsaannya tercatat sejarah panjang peradaban. Perancis ialah jejak-jejak penjajahan yang sudah selesai dan menyerah pada zaman. Mereka bertobat pada moralitas nalar dan kemudian menjadi suatu bangsa baru yang amat menyadari nadi kemanusiaan paling sekular. Perancis ialah peng-awal penghormatan terhadap warna kulit. Kesebelasan nasional sepakbola mereka bahkan dihuni sekian keturunan berbagai bangsa.

Kylian Mbappé dapat menjadi penanda akan kebangsaan baru itu. Ibunya, Fayza Lamari, adalah keturunan Aljazair, sementara ayahnya, Wilfried Mbappe, merupakan imigran dari Kamerun. Di dalam tubuh dan pengalaman Mbappé mengalir kisah-kisah antar bangsa yang amat majemuk.

Namun kita juga dapat menyebut Hugo Hadrien Dominique Lloris sebagai perwakilan manusia yang berasal dari suatu kebudayaan yang telah meluhur sejak lama. Lloris bukan perwakilan dari kesengsaraan, ia berasal dari keluarga kaya. Ia menjadi kapten kesebelasan nasional Perancis dan ia memimpin dengan cara yang elegan dan bersahaja.

Mbappé berdiri bersama Jules Koundé, Raphaël Varane, Dayot Upamecano, Aurélien Tchouaméni, Ousmane Dembélé sebagai kaum imigran dan kulit berwarna Perancis. Sementara bersama Lloris berjajar kaum putih dalam diri Théo Hernandez, Adrien Rabiot, Antoine Griezmann, dan Olivier Giroud. Perancis benar-benar sudah melupakan rasialisme dan menyatakan bahwa seluruh anak manusia ialah setara. Mereka ialah sejarah panjang yang mengalir menelusuri zaman dan akhirnya bermuara di partai final Piala Dunia 2022.

Bertarunglah Argentina dan Perancis dengan segenap sejarah, kedirian dan kemanusiaan mereka di partai puncak Piala Dunia 2022. 88.966 pasang mata menonton secara langsung pertandingan ini. Ratusan juta pasang mata lainnya menyaksikan melalui televisi, laptop, telepon pintar atau perangkat teknologi lainnya.

Kita beruntung sebab Lionel Sebastián Scaloni, pelatih Argentina, ialah orang yang jujur dan cenderung apa adanya. Ia tidak mencoba mengubah jatidiri sepakbola Argentina agar sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi. Sepakbola yang diperagakan Scaloni ialah sepakbola yang sama yang dahulu dimainkan mendiang Diego Armando Maradona. Suatu sepakbola yang tidak bertele-tele dengan mikro taktik, permainan umpan datar, pendek nan cepat di area pertahanan sendiri dengan dalih membangun serangan sejak mula garis pertahanan sendiri sekaligus memancing pemain lawan untuk maju. Argentina masih mengandalkan lari yang kencang, benturan badan dalam perebutan bola, berpadu dengan kemahiran pribadi pemain menggocek dan mengolah bola. Permainan Argentina ialah suatu struktur yang terdiri dari keberanian Otamendi dan keindahan Di Maria, serta pemaknaan mendalam, filosofis nan murni atas sepakbola yang dilakukan manusia bernama Lionel Messi.

Di malam final itu, Argentina menyelamatkan sepakbola dari cara-cara normatif José Mourinho yang bersedia memenangkan pertandingan bahkan dengan permainan paling buruk sekalipun. Di paruh kedua abad ke-21 ini, peradaban sepakbola memang terlalu dipengaruhi oleh teknologi, statistik, dan benda-benda semacam Catapult. Seorang pemain tidak lagi tampil menjadi suatu pribadi utuh dengan kekhasan, ketulenan dan kekuatan permainannya. Ia adalah suatu sekrup atau mur dari suatu tata rencana permainan yang telah dihitung, dirancang dan disusun berdasarkan pembacaan atas metadata sepakbola. Pemain sebagai seorang pribadi kehilangan kekhasannya dan melebur dalam suatu tata kesebelasan yang selalu menjadi semakin rumit.

Bila ada suatu sepakbola yang masih menampilkan sisi-sisi kedirian manusia maka itu ialah sepakbola milik Argentina. Di kesebelasan itu masih ada keindahan, daya tarung yang amat murni dan jiwa manusia yang merekah dalam rasa gembira, semangat menjadi pemenang sekaligus kebersediaan menempuh pengorbanan serta rasa sakit macam apa pun.

Kedirian manusia-manusia semacam itu paling tidak dapat kita lihat dari gol ke-3 Argentina yang dicetak Lionel Messi pada menit 109. Gonzalo Montiel terlihat amat bersusah payah mengerahkan segala kemampuan dirinya untuk mengirimkan umpan lambung hingga tubuhnya terhempas ke tanah. Bola mengarah ke pertahanan Perancis, dikejar sekuat tenaga oleh Lautaro Martinez yang dengan amat mahir menyentuh bola dengan tumitnya ke arah belakang badannya. Di sana ada Messi yang melakukan umpan amat pendek namun cepat ke arah Enzo Fernandez. Nama terakhir menyentuh bola dengan akurat, memberi umpan pintar yang menusuk pertahanan Perancis. Lautaro kembali hadir dan menyepak bola amat keras ke gawang Perancis. Hugo Lloris masih dapat menahan tendangan itu, namun celaka bagi Si Ayam Jago, bola muntah mengarah kepada pemain paling jenius dalam sejarah sepakbola: Lionel Messi.

Adegan sejak umpan lambung susah payah Montiel hingga gol jenius Messi hanya melibatkan 7 sentuhan 4 pemain Argentina. Waktu yang diperlukan kurang lebih 15 detik. Namun adegan itu dapat dilambatkan beberapa kali pelan. Herbert von Karajan boleh diminta bangkit sejenak dari masa kematiannya untuk memimpin Berlin Philharmonic memainkan Symphony No. 9 mengiringi gol Messi. Perancis sebagai bangsa yang selalu merasa paling berkebudayaan selayaknya membawa peristiwa 15 detik ini ke negeri mereka dan memajangnya secara patut di Museum Louvre. Generasi mendatang dapat memandangnya dengan khidmat sembari membaca keterangan di bawah peristiwa 15 detik itu:

Kenang-kenangan saat Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan Perancis dikalahkan keindahan dan keberanian Argentina.

Adegan luar biasa lainnya terjadi di penghujung perpanjangan waktu, sekira menit ke-123. Kedudukan sama kuat 3-3. Beberapa detik tersisa sebelum wasit Szymon Marciniak asal Polandia meniup peluit panjang. Dari dekat garis tengah Ibrahima Konaté mengirimkan umpan lambung ke pertahanan Argentina. Nicolas Otamendi, lelaki yang bersedia menempuh apa pun demi melindungi pertahanan, mencapai titik batas permainan. Kakinya tak mampu menggapai umpan tersebut meski ia telah mengerahkan seluruh yang ada pada tubuh dan jiwanya. Ia gagal menghalau bola dan terhempas ke tanah. Bola lolos ke kotak penalti Argentina, Randal Kolo Muani menerima bola dan benar-benar tanpa pengawalan di depan gawang Argentina. Permainan yang bersisa beberapa detik nyaris selesai dan menuntaskan kisah perjuangan anak-anak Latin di malam itu. Namun masih ada satu di bawah mistar gawang, Emi Martinez. Tendangan keras Kolo Muani mengarah tajam ke gawang Argentina. Martinez jelas akan memberikan segala yang ia miliki untuk menahan tendangan itu dan menjaga asa Argentina untuk menang. Takdir telah terjadi, bola membentur betis kanan kiper Aston Villa itu. Kekalahan sirna, Otamendi kembali bangkit dan bersegera memulihkan mentalnya untuk kembali siap bertarung.

Adu penalti dan Argentina menang…

Selepas Pandemi yang mencekam, setelah sejarah bertumpuk-tumpuk, saat manusia kian asing dengan dirinya sendiri yang dikepung teknologi informasi, Lionel Messi menjaga sepakbola dengan kemanusiaannya yang paling murni. Ia manusia yang terjatuh dan berbuat salah, berkali dan berulang kalah, tetapi ia terus bangun dan bertarung. Messi terus bergumul dengan nasib, menempuh Piala Dunia sejak 2006 dengan berbagai kegagalan. Dan saat sepakbola begitu dikuasai oleh perangkat-perangkat canggih, ia masih menghadirkan kemanusiaan. Suatu hasrat kodrati milik manusia, yang tak mungkin dibaca oleh data dan tak dapat dimiliki oleh tetirus listrik secerdas apa pun.

Di masa depan, sepakbola boleh jadi menjadi semacam PlayStation yang dimainkan di atas lapangan rumput oleh atlet-atlet yang diri dan kemampuan mereka telah ditafsirkan oleh data raksasa, diatur sedemikian rupa lewat ribuan mikro taktik rumit yang diprogram amat rinci melampaui kemampuan dan kesadaran nalar manusia. Namun di malam final itu, sepakbola masih bersifat amat manusia. Sosok penjaga kemurnian itu bernama Lionel Messi. Ya, Messi yang amat terhormat. Lionel Messi yang telah mencapai kedigdayaan yang akan sulit dibantah dan dipatahkan oleh generasi selanjutnya.

Messi yang digdaya di batas sejarah peradaban sepakbola..,


***