Sepak Bola Ala Seorang Administratur
Bagikan

Sepak Bola Ala Seorang Administratur

Satu dan sekali lagi, adagium utama Didier Deschamps memang tidak dapat dibantah: segala sesuatu selalu berubah, tak ada yang tetap, yang tetap ialah perubahan itu sendiri dan juga Paul Pogba

Perhelatan Piala Dunia 2018 menorehkan catatan manis untuk sebuah nama. Didier Deschamps adalah satu-satunya manusia yang mampu membawa Prancis menjuarai Piala Dunia, baik sebagai pemain (1998) maupun sebagai pelatih (2018). Prestasi seluhur itu hanya pernah ditorehkan dua nama lain, Mario Zagallo (Brazil, juara sebagai pemain pada 1958 dan 1962, sebagai pelatih pada 1970) dan Franz Beckenbauer (Jerman, sebagai pemain pada 1974, sebagai pelatih pada 1990). Permainan Prancis pada Piala Dunia kali ini sebenarnya dapat kita telusuri dari gaya bermain Deschamps ketika menjadi pemain.

Puncak karier Deschamps sebagai pemain terjadi ketika ia terlibat bersama Tim Nasional Prancis merebut Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Bersama Zinedine Zidane dan kawannya yang lain, Deschamps mengantarkan Prancis ke puncak-puncak kejayaan tertinggi, melampaui prestasi generasi Michael Platini yang ‘hanya’ mampu menjuari Piala Eropa 1984. Pada tingkat klub, karier Deschamps melesat ketika memperkuat Juventus. Juara Liga Italia, Piala Italia, Piala Toyota, dan lain-lain gelar ia peroleh bersama kesebelasan putih hitam ini.

Pada masanya, Didier Deschamps ialah pemain yang berperan seperti seorang administratur. Setiap bola yang keluar atau masuk ke pertahanan timnya seolah harus meminta izin kepada pemain yang hanya bertinggi 169 cm itu. Ketika tim memulai penyerangan, Deschamps tidak ngotot untuk berlari ke depan dan sesegera mungkin mengarahkan bola ke kotak penalti. Ketika bola ada di kakinya, ia seperti mencatat terlebih dahulu posisi kawan-kawannya, memastikan prosedur penyerangan yang diterapkan pelatih siap untuk dijalankan. Setelah itu, barulah ia akan melepaskan bola kepada pemain yang tepat. Ketika pemain lain mulai menyerang, ia akan berjaga di lini tengah sembari membaca permainan. Deschamps akan siap ketika ia diperlukan, baik untuk membantu penyerangan maupun menghadapi serangan balik dari lawan.

Lain halnya ketika timnya dalam keadaan diserang lawan. Lelaki yang lahir pada 15 Oktober 1968 ini akan segera tegak mengadang serangan sejak garis tengah lapangan. Atau, kalau perlu ketika bola masih dipertahanan lawan. Deschamps seperti seorang administratur yang sedang memeriksa barang masuk. Dengan kakinya, lelaki pirang ini seolah mengurus izin masuknya bola ke pertahanan kesebelasan yang ia bela. Pemain lawan bisa mengirim bola ke kotak penalti hanya jika ia mampu “mengurus perizinan” dengan adminstratur Deschamps di lini tengah. Tentu saja tidak mudah melewati Sang Administratur.

Cara paling mudah memahami kedudukan Deschamps dalam permainan sebuah tim ialah dengan kembali mengenang final Piala Dunia 1998 di Stade de France, Saint-Denis, 12 Juli 1998. Masyhur dikenal dua sundulan Zinedine Zidane yang mengoyak jala yang dikawal Cláudio Taffarel. Juga serangan balik tiga gol telak, masing-masing dari Christophe Dugarry, Patrick Vieira, dan ditutup sepakan Emmanuel Petit pada akhir laga. Tiga lawan nol, Prancis menggulung Brazil. Namun, kita tidak melihat Deschamps dalam ketiga gol Prancis pada final bersejarah itu.

Mari kita periksa satu per satu. Pada gol pertama Zidane, kita melihat enam pemain Prancis di kotak penalti Brazil. Sementara, Emmanuel Petit menyepak tendangan penjuru pada kiri pertahanan Brazil. Artinya, hanya ada tiga pemain Prancis yang bersiap menghadapi serangan balik Brazil, salah satunya adalah Deschamps. Dalam gol kedua Zidane, situasi tersebut nyaris tak berubah. Deschamps tak terlihat di kerumunan kotak penalti Brazil. Ia berjaga jauh di pertahanan. Gol ketiga dari kaki Petit? Kita tak melihat Deschamps sama sekali.

Boleh jadi, semua orang berfikir, Didier tak punya kerja sama sekali. Akan tetapi, bila sedikit jeli, kita bisa melihat posisi Deschamps ketika Roberto Carlos mengeksekusi tendangan bebas pada menit ketiga tambahan waktu babak pertama. Kapten Prancis ini tak ikut serta membentuk pagar hidup untuk mengadang tendangan Carlos yang masyhur kencang itu. Ia juga tak mengawal Rivaldo atau Ronaldo, yang ia lakukan ialah berdiri ‘tepat di tengah’. Deschamps berdiri satu meter dari garis kotak penalti Prancis, di pucuk garis setengah lingkaran. Ia benar-benar berada di tengah pemain-pemain Prancis, kecuali penjaga gawang.

Begitulah peran penting Deschamps ketika menjadi pemain. Ia bermain dengan tubuhnya, dengan kemampuannya menempatkan diri dan membaca ruang secara tepat. Keberadaan tubuh Deschamps di lapangan seolah menjadi petunjuk bagi 10 pemain Prancis yang lain. Pada banyak keadaan, khususnya ketika akan memulai serangan, semua pemain (kecuali kiper) Prancis akan berada pada jarak yang nyaris sama dari tubuh Deschamps. Ia benar-benar pemain tengah dalam artian kerap dikelilingi pemain Les Blues lainnya dalam jarak yang nyaris sama.

Ketika bola mulai diizinkan mengalir dari kakinya, Zinedine Zidane dapat berliuk-liuk atraktif penuh imajinasi dan keindahan. Zidane dapat menggoreskan semua gerak tubuh paling khayali pada permainan Prancis dengan jaminan ketenangan dari Sang Administratur yang menopangnya. Deschamps mengatur ritme dan menjaga struktur permainan Prancis sementara Zidane membumbung-bumbung menghadirkan berbagai peristiwa sepak bola yang sebelumnya tak pernah dibayangkan manusia manapun. Termasuk dua gol pada final 1998 itu. Namun, sejauh-jauhnya Zidane membumbung, ia akan selalu kembali ke bumi dengan selamat karena ada Deschamps yang tetap menjaga kewarasan permainan Prancis.

Deschamps bukan pemain seperti Zidane yang gandrung pada keindahan. Namun, karena kehadirannya, segala keindahan sepak bola Prancis pada Piala Dunia 1998 (dan juga Piala Eropa 2000) dapat terlahir dengan nyaman. Sejak menjadi pemain, Didier Deschamps tahu betul bahwa sepak bola dimenangkan oleh kesebelasan yang menciptakan gol lebih banyak, bukan oleh tim yang bermain dengan lebih indah. Deschamps tahu betul perbedaan sepak bola dan kontes bernyanyi.

***

Faham tentang kemenangan itu ia resapi betul ketika memulai perjalanannya sebagai pelatih. Pada usia 36 tahun, lelaki berraut wajah kuat ini sudah membawa AS Monaco ke Final Liga Champions 2004, prestasi tertinggi yang pernah dicapai klub Prancis itu dalam sejarahnya. Bersama Fernando Morientes, Ludovic Giuly, Jérôme Rothen, Dado Pršo, dan pemain-pemain muda penuh semangat, Deschamps menyingkirkan Real Madrid pada semifinal. Tim penuh kejutan ini berangkat ke Arena AufSchalke, Gelsenkirchen (Jerman), untuk menghadapi kesebelasan penuh keajaiban: FC Porto. Pelatih Porto ketika itu ialah orang nomor satu yang mengukuhkan faham pragmatisme dalam sepak bola. Namanya Jose Maurinho, lelaki yang tidak pernah mau berurusan dengan keindahan dan permainan menawan. Mou hanya mau kemenangan. Tak peduli harus ditempuh dengan cara paling buruk sekalipun.

Porto menang 3-0 atas Monaco. Persis seperti skor kemenangan Prancis atas Brazil enam tahun sebelumnya. Dua gol terakhir Porto dicetak melalui serangan balik. Monaco menguasai jalannya permainan, tapi Porto yang memenangkan pertandingan.

Dan, Didier Deschamps semakin mengerti bahwa sepak bola dimenangkan oleh kesebelasan yang menciptakan gol lebih banyak, bukan oleh tim yang bermain dengan lebih indah. Ia mulai membuang segala kenaifan permainan indah dan memulai sepak bolanya sendiri,  sepak bola ala seorang administratur.     

***

Selepas menyelamatkan Juventus dari kegelapan penuh kesetiaan di Serie B Liga Italia 2006-2007, Deschamps menangani Olympique Marseille dalam kurun 2009-2012. Ia kemudian menggantikan Laurent Blanc sebagai pelatih kepala Tim Nasional Prancis. Ketika itu, Prancis baru saja disingkirkan Spanyol pada perempat final Piala Eropa 2012.

Deschamps meloloskan Prancis ke Piala Dunia 2014 di Brazil. Pada turnamen itu, Prancis disingkirkan Jerman ada perempat final melalui gol tunggal Mats Hummels. Meski gagal meraih prestasi terbaik, Deschamps telah menemukan Paul Pogba sebagai pelaku utama cara bermain ala administratur yang dianutnya. Tak banyak keindahan dan penguasaan bola, tetapi penuh efektivitas dan yang terpenting: kegandrungan akan kemenangan meski hanya dengan skor ½ - 0 sekalipun.

Pada Piala Eropa 2016, Prancis kembali gagal menjadi juara. Di rumah sendiri, tim pimpinan Deschamps dikalahkan Portugal, 1-0, pada pertandingan puncak. Meski gagal menjadi juara, permainan ala administratur Deschamps semakin mendekati kesempurnaan pada tahun ini.

***

Tak banyak yang menjagokan Prancis pada Piala Dunia 2018. Permainan Prancis jauh dari menarik meski kadang-kadang bisa meledak. Di bawah Deschamps, Prancis seperti menganut sebuah adagium: segala sesuatu selalu berubah, tak ada yang tetap, yang tetap ialah perubahan itu sendiri dan juga Paul Pogba. Formasi Prancis seolah tidak pernah ajek. Pemain silih berganti mengisi berbagai posisi. Hanya Paul Pogba yang tampaknya tidak berubah.

Permainan Prancis benar-benar berada di bawah kepelatihan seorang administratur. Deschamps ialah seorang pemimpin di bidang pelaksanaan peraturan, prosedur, dan kebijakan. Karakter yang mirip seperti ketika ia menjadi pemain dulu. Deschamps tahu persis peraturan paling besi dalam sepak bola: tim yang menang ialah yang menciptakan gol lebih banyak. Ia sangat memahami prosedur-prosedur yang mesti dijalankan untuk meraih kemenangan tersebut. Dan, dari sana, ia menentukan kebijakan yang kadang tak menarik dari segi sepak bola.

Prancis memang tak selugu Islandia yang tanpa sungkan menumpuk pemain di lini belakang dalam perhelatan berderajat Piala Dunia. Tapi, Deschamps memang tidak mengeksploitasi kemampuan olah bola yang luar biasa dari Antoine Griezmann, Kylian Mbappe, atau Pogba sendiri. Pelatih ini lebih menekankan fungsi setiap pemain dalam keseluruhan permainan. Ia benar-benar melihat sepak bola sebagai sebuah perlombaan menciptakan gol, bukan sebuah arena adu bakat bernyanyi. Kemenangan ialah segala-galanya bagi Deschamps. Ia tidak memilih jalan rumit untuk memperolehnya, ia menempuh jalan paling sederhana.

Pada babak penyisihan, Prancis seperti bermain dengan sangat hemat. Dua kemenangan yang mereka peroleh diraih dengan selisih satu gol, peraturan paling minimal untuk memenangkan sebuah pertandingan sepak bola. Prancis lolos ke-16 besar dengan kemenangan 2-1 atas Australia, 1-0 atas Peru, dan hasil imbang  0-0 melawan Denmark dengan permainan yang amat hemat itu. Prancis menghadapi Argentina pada perdelapan final dan menang 4-3; Uruguay dipulangkan dengan 2-0 pada perempat final; Belgia diberi 1-0 pada semifinal; dan pada pertandingan final, Deschamps dan pasukannya meraih skor 4-2.

Kita dapat mencatat beberapa hal dalam pertandingan final. Pada babak pertama, Prancis memang unggul 2-1 atas Kroasia. Dua gol Prancis didapat dari ‘kecelakaan’ yang dialami dua pemain Kroasia. Mandzukic menyundul bola ke gawangnya sendiri sementara Ivan Perisic menyentuh bola dengan tangannya di kotak penalti Kroasia. Lalu, berapa kali Prancis menendang bola ke gawang Subasic selama babak pertama berlangsung? Hanya satu kali. Sementara, Kroasia terus memainkan sepak bola seperti pada umumnya, terus menyerang untuk mendapatkan gol dan menguasai bola selama mungkin.

Pada babak kedua, Kroasia yang tampak sudah sangat kelelahan (mereka bermain 120 menit pada tiga pertandingan sebelumnya) berusaha dengan cara paling umum yang biasa dilakukan kesebelasan yang sedang mengejar ketinggalan gol: menyerang. Sementara, Prancis tetap bermain dengan hemat, sepertimana anjuran dan falsafah Sang Administratur.  Menghambur-hamburkan tenaga bukan pilihan Deschamps sejak menjadi pemain. Paul Pogba dan Kylian Mbappe bergiliran mencetak satu gol dari serangan balik yang membuat putus asa lawan. Sedangkan, Kapten Prancis Hugo Lloris memberi sebuah lelucon hadiah khusus untuk menghibur Mandzukic pada menit ke-69. Prancis menang 4-2 atas Kroasia dan menjuarai Piala Dunia.

Mari kita lihat 14 gol Prancis sepanjang Piala Dunia ini. Tiga gol Prancis tercipta melalui penalti (semuanya dicetak oleh Antoine Griezmann saat melawan Australia, Argentina, dan Kroasia), Tiga gol melalui serangan balik (oleh Mbappe ketika melawan Argentina dan Kroasia serta oleh Pogba ketika melawan Kroasia); dua gol tercipta dari sundulan melalui bola mati (dicetak Verane ketika melawan Uruguay dan Umiti saat melawan Belgia); satu gol bunuh diri pemain lawan (dicetak Mandzukik ketika final melawan Kroasia); dan satu gol melalui kecerobohan penjaga gawang lawan (dicetak Griezmann ketika melawan Uruguay).

Hanya empat gol yang dicetak Prancis dengan cara wajar dalam sebuah permainan menyerang (dicetak Pogba ketika melawan Australia, Mbappe saat melawan Peru, dan Pavard serta Mbappe ketika melawan Argentina). Sisanya hanya gol-gol hasil ‘kecelakaan’ pemain lawan atau keberuntungan nasib Prancis. Dan, mungkin hanya dua gol saat melawan Argentina yang memiliki unsur-unsur estetis sepak bola. Serangan balik tujuh sentuhan dituntaskan Kylian Mbappe serta gol atraktif Benjamin Pavard yang melengkung kencang ke gawang Armani. Bisa jadi, dua gol tersebut tercipta karena para pemain Prancis tak enak hati pada pemain yang paling mengerti unsur-unsur estetis sepak bola di masa ini: Lionell Messi. Namun, Messi harus mengerti bahwa keindahan tidak selalu memberi kemenangan di dunia yang benama sepak bola ini.

Catatan lainnya, Prancis tidak pernah menciptakan satu gol pun dari skema paling umum dalam sepak bola: menggiring bola di sisi pertahanan lawan, memberikan umpan silang ke kotak penalti, dan melakukan sundulan mematikan ke gawang lawan. Kita bisa menyebut Oliver Giroud sebagai tertuduh dalam hal ini. Sebagai penyerang, ia tak pernah menciptakan satu tendangan atau sundulan pun yang mengarah ke gawang lawan selama Piala Dunia 2018. Sebuah prestasi yang membingungkan mengingat ia adalah seorang penyerang murni yang bermain di kesebelasan besar Inggris bernama Chelsea FC.

Bisa jadi, ini merupakan kebiasaan Prancis ketika menjuarai Piala Dunia. Mereka seperti memerlukan jimat berupa penyerang tukang buang-buang peluang yang tak mampu menciptakan gol. Dua puluh tahun tahun lalu, Prancis memiliki Stéphane Guivarc'h, penyerang yang tidak menciptakan satu gol pun pada enam laga Prancis dalam Piala Dunia 1998. Bayangkan, pada final saja ia membuang tiga peluang emas ketika ia tengah berhadapan satu lawan satu dengan kiper Brazil Cláudio Taffarel. Meski demikian, Guivarc'h tetap mengangkat piala bersama Didier Deschamps dan pemain Prancis lainnya.

Mengingat gol-gol Prancis dan tingkah laku Oliver Giroud tersebut, kita dapat langsung merujuk falsafah Sang Admistratur Deschamps yang kini tak dapat diabaikan dalam sepak bola. Gol ialah yang terutama dalam sepak bola, tak peduli dengan cara apa diperoleh dan tidak perlu terlalu banyak. Sepak bola ialah permainan yang dimenangkan dengan gol, bukan dengan keindahan. Apa pun bentuk asalnya (‘kecelakaan’ pemain lawan, kecerobohan penjaga gawang, peran VAR, atau malah hadiah dari nasib), sebuah gol tetaplah pengantar kepada tujuan akhir dari sepak bola: kemenangan. Untuk meraihnya, Deschamps sangat setia pada fungsi setiap pemain dalam keseluruhan struktur permainan sebuah kesebelasan. Seorang penyerang yang tak mampu menciptakan gol akan tetap ia pertahankan asal benar-benar berfungsi dalam keseluruhan struktur permainan yang ia rancang.

Satu dan sekali lagi, adagium utama Didier Deschamps memang tidak dapat dibantah: segala sesuatu selalu berubah, tak ada yang tetap, yang tetap ialah perubahan itu sendiri dan juga Paul Pogba.

Selamat Pak Administratur Deschamps!