“Solanin”: Mencari Makna Kehidupan di antara Jiwa-Jiwa yang Letih
Bagikan

“Solanin”: Mencari Makna Kehidupan di antara Jiwa-Jiwa yang Letih

“Solanin” adalah karya Asano Inio yang ditulis 13 tahun yang lalu, tapi permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya masih relevan hingga saat ini. Meskipun cukup singkat, hanya dua volume saja, tapi komik ini terasa begitu padat dan membahas mengenai masalah-masalah penting dalam kehidupan, seperti soal pekerjaan, karier, keluarga, kehidupan, kematian, dan kebahagiaan.

Tak lama setelah matahari terbit, ia harus bangun dari tidurnya. Cuci muka lalu bersiap-siap untuk pergi bekerja. Sama seperti kemarin, minggu lalu, bulan lalu, juga tahun yang lalu. Ia melangkahkan kaki menuju stasiun, lalu berdesak-desakan di kereta bersama orang-orang lainnya. Orang-orang yang terpaksa harus bangun pagi mengejar waktu agar bisa tepat waktu sampai di tempat kerja, orang-orang yang masih belum tuntas rasa lelahnya dari pekerjaan kemarin, orang-orang yang bergerak secara mekanis dengan rutinitas yang selalu sama dengan hari-hari sebelumnya. Di antara orang-orang itu, ia berada dan menjalani kehidupannya….

“Aku berpikir bahwa orang dewasa hanyalah kumpulan orang-orang yang berkata ’Ya, sudahlah...’ Meskipun perut membuncit. Ya, sudahlah... Meskipun bulu hidung keluar. Ya, sudahlah... Meskipun harus tertangkap. Ya, sudahlah... Meskipun tak punya hati. Ya, sudahlah... Meskipun di suatu tempat terjadi perang dan bencana dan banyak orang yang mati karenanya. Asal diri ini bahagia. Ya, sudahlah...

Karena di perusahaan ini gajinya bagus. Ya, sudahlah...”

Itulah salah satu hal yang ada di dalam pikiran Inoue Meiko, tokoh utama “Solanin”, seorang wanita muda berusia 24 tahun. Meiko baru lulus universitas dua tahun yang lalu dan selama itulah ia menjalani hidup sebagai kaum pekerja di pusat Jepang, Tokyo. Meiko bekerja di perusahaan kelas dua, di tempat yang sebenarnya tak disukainya. Ia tidak memiliki kepandaian dan keahlian khusus juga tidak memiliki impian dan tidak tahu apa yang ingin ia lakukan di kehidupan. Ia digambarkan sebagai orang yang polos dan sering bertindak mengikuti kata hatinya, tapi juga memiliki pikiran yang mendalam akan kehidupan. 

Meskipun merasa tidak puas dengan kehidupan, orang dewasa, menurut Meiko, terpaksa harus memuas-muaskan diri, membesarkan hati, dan membahagia-bahagiakan diri dengan kata-kata pemakluman. Begitupun dengan dirinya. Meskipun merasa lelah bekerja hingga merasa tubuhnya penuh dengan racun, tapi ia masih menganggap itu hal yang wajar karena ia masih muda. Ia juga selalu merasa ada monster yang sedang bersemayam di Tokyo yang membuatnya merasa takut dan tidak aman. Monster tak terlihat yang selalu berusaha dilawannya padahal ia tak memiliki senjata.

Meiko merasa tidak cocok menjadi bagian dari anggota masyarakat yang dalam bahasa Jepang disebut shakaijin. Shakaijin bagi orang Jepang dimaknai sebagai orang yang sudah memikul tanggung jawabnya sendiri dan berkontribusi kepada negara lewat bekerja. Ia selalu merasa langit yang ada di atas kepalanya saat ini begitu pendek, sempit, dan berat. Satu-satunya hal menenangkan baginya adalah ketika istirahat siang tiba. Ia akan pergi merokok sembari menyampaikan keluh kesahnya kepada seekor kucing yang selalu ia beri makan.

Meiko tidaklah sendirian menghadapi kerasnya kehidupan ibu kota. Ia memiliki seorang kekasih bernama Taneda Naruo yang kini tinggal bersamanya. Mereka telah berpacaran sejak sama-sama menjadi mahasiswa baru dan mulai tinggal bersama setahun yang lalu. Mereka berdua sama-sama datang dari daerah. Meiko dari bagian utara dan Taneda dari selatan Jepang. Taneda saat ini bekerja sambilan sebagai ilustrator di sebuah majalah dan tidak menjadi pegawai kantoran seperti lazimnya orang Jepang yang menempuh pendidikan tinggi. Penghasilan pas-pasan dan uang yang tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari membuatnya pindah ke apartemen kecil Meiko dan menumpang hidup di sana. Tidak seperti Meiko, ia memiliki mimpi menjadi musisi yang lagunya dapat mengubah dunia. Namun, sejak lulus kuliah, ia tak lagi tampil di depan publik bersama bandnya, yang anggotanya juga adalah sahabat baik mereka berdua. Bandnya hanya melakukan latihan rutin selama beberapa kali dalam sebulan dan tak memiliki kejelasan apakah akan menempuh jalur profesional atau hanya sekadar hobi. Berbeda dengan Meiko yang lebih cuek, Taneda digambarkan sebagai orang yang perasaannya sangat halus dan rapuh hingga bisa menangis hanya dengan menonton berita sedih di televisi.

Suatu hari, Meiko yang sudah tidak tahan dengan pekerjaannya mencurahkan isi hatinya ke Taneda yang sedang tidur. Setengah mengantuk, Taneda mendorong Meiko untuk berhenti bekerja. Ia membesarkan hati Meiko bahwa meskipun apa yang dilakukannya dianggap bodoh oleh orang lain dan mereka harus berakhir di bagian paling ujung dunia, Taneda akan selalu mendukung Meiko. Dialah yang akan berusaha melakukan sesuatu untuk memperbaiki kehidupan mereka. Namun, setelah Meiko benar-benar berhenti bekerja, Taneda justru menyesalinya. Selama ini, kehidupannya bergantung pada Meiko dan setelah Meiko berhenti bekerja, kehidupan mereka yang selama ini penuh kekhawatiran kini menjadi semakin gelap. Taneda merasa ketakutan menjalani hidup dan khawatir dengan masa depan mereka yang tidak jelas, suram, dan tidak ada harapan.

Ada tiga orang lain yang berperan dalam kehidupan Meiko dan Taneda. Mereka adalah Ai, senior Meiko di kampus sekaligus sahabatnya. Katou, teman band Taneda, seorang mahasiswa tahun keenam dan pacar Ai. Meskipun Ai adalah wanita yang keras, tapi ia tidak menuntut Katou untuk cepat-cepat lulus dan bekerja karena Katou hanyalah orang biasa yang paham bahwa setelah lulus kuliah, kehidupan yang membosankan akan menantinya hingga tua sehingga Ai ingin membiarkannya bermain dan bersenang-senang hingga batas waktunya habis. Yang terakhir adalah Billy yang meneruskan toko obat orang tuanya. Nama aslinya adalah Yamada. Ia bermain drum di dalam band Taneda, selalu berpenampilan macho, sering memakai jaket kulit dan motor besar. Namun, di balik itu, ia menganggap dirinya seorang pengecut yang tidak berani keluar dari zona nyaman untuk mengejar kebahagiaannya karena ia sendiri tidak tahu apa kebahagiaan itu.

Konflik dimulai ketika Meiko mendorong Taneda untuk meraih impiannya sebagai musisi. Taneda selama ini memang tidak tampak serius menekuni bidang itu karena merasa kemampuannya biasa-biasa saja dan pasti akan kalah dengan orang-orang yang lebih muda tapi serius mengejar mimpinya. Ada ketakutan dalam dirinya ketika musiknya harus dikritik oleh orang lain. Ia takut gagal meski di sisi lain ia bermimpi untuk menjadi musisi yang mampu mengubah dunia. Setelah mengalami konflik batin, yang digambarkan dengan berbagai emosi Taneda melakukan rapat di dalam jiwanya, akhirnya Taneda mengambil keputusan untuk menjalani musik dengan serius. Ia berhenti dari kerja sambilannya hingga membuat Meiko khawatir. Namun, Taneda menguatkan Meiko dengan berkata bahwa ia berhenti bukan karena yakin bisa menghidupi diri dengan musik tapi karena ingin mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mencoba berkarier di dunia itu. Taneda menulis lagu berjudul “Solanin”, kemudian merekamnya bersama bandnya yang hasilnya kemudian dikirimkan ke perusahaan-perusahaan rekaman. 

“Solanin” berasal dari kata solanine, racun yang dapat ditemukan di dalam kentang yang masih muda dan merupakan komponen penting untuk membuatnya tumbuh besar. Lagu “Solanin” karya Taneda adalah bentuk perpisahannya dengan masa lalunya, masa mudanya, dan kehidupannya. Taneda berharap ia siap menghadapi masa depan, apa pun itu bentuknya, apakah ia akan menjadi musisi ataukah tidak. Ia juga sudah bertekad untuk membubarkan bandnya, jika apa yang mereka lakukan ini gagal. Berbekal harapan dan kekhawatiran itulah ia menulis, merekam, kemudian mengirimkan rekaman lagunya. Sayangnya, jawaban yang dinantikan tak kunjung datang hingga akhirnya satu perusahaan rekaman tertarik kepada mereka. Namun, Taneda dan rekan-rekannya harus menelan kekecewaan karena perusahaan itu bukan tertarik kepada musik mereka tapi sedang mencari sebuah band untuk menjadi band latar seorang idola yang kini merambah ke dunia musik. Taneda dihadapkan kepada kenyataan dan merasa jalannya menjadi buntu seketika.

Taneda yang merasa depresi tiba-tiba menghilang setelah sebelumnya bertengkar dengan Meiko dan mengatakan ingin putus dengannya. Taneda dan Meiko adalah pasangan yang sebenarnya jarang bertengkar karena mereka sadar pertengkaran akan membuat mereka menyentuh hal-hal mendasar dalam diri mereka yang tidak ingin mereka usik. Misalnya, tentang Meiko yang terpaksa memilih pekerjaan di tempat yang tidak disukainya atau soal Taneda yang selalu merasa ragu-ragu ingin berkarier di musik. Setelah lima hari menghilang, Taneda akhirnya menghubungi Meiko dan mengatakan bahwa ia telah menjadi pegawai kontrak di perusahaan dulu tempatnya bekerja. Ia juga masih akan melanjutkan bandnya, tapi bukan untuk menjadi musisi. Taneda bertekad untuk hidup bahagia dengan Meiko dan berjanji akan pulang. Tapi di perjalanan, ia kembali berdialog dengan batinnya yang membuatnya ragu. 

“Aku bahagia, kok.”

“Yang benar?”

 â€œIya. Aku bahagia.”

Setelah mengajukan pertanyaan itu, Taneda menangis keras di motornya hingga dalam keadaan setengah sadar ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, menerobos lampu merah, dan mengalami kecelakaan fatal. Pada masa terakhir hidupnya, ia teringat kembali percakapannya dengan Meiko ketika mereka lulus universitas. Ketika itu Meiko sudah mendapatkan pekerjaan dan Taneda mempertanyakan kesiapan Meiko masuk dunia kerja karena ia tahu, pacarnya itu tidak suka dengan pekerjaan itu.

“Karena Meiko kan nggak mungkin dilahirkan ke dunia hanya demi bikin teh untuk orang lain dan mengurus klien.”

Setelah percakapan itu, mereka bertengkar karena Meiko merasa Taneda menyamakan dirinya dengan Taneda. Taneda berpikir bahwa kehidupan seperti Meiko yang dapat diprediksi hingga tua adalah kehidupan yang membosankan. Dalam hatinya, Taneda masih berpikir bahwa ia mampu melakukan hal besar. Selepas itu, untuk merayakan kelulusan, Taneda tampil dengan bandnya. Penampilan itu sekaligus penampilan terakhir mereka di depan umum. Di penampilan terakhirnya itu, Taneda menumpahkan perasaannya….

"Bolehkah aku mengatakan hal-hal yang sangat sensitif?! Ketika ada pesawat yang menabrakkan diri ke gedung, ketika di suatu tempat perang dimulai!! Padahal, itu bikin hati tidak enak, tapi di suatu tempat ada diriku yang hina ini yang merasa sedikit senang. Soalnya masa depanku saat ini nggak terlihat ada cahaya harapan sama sekali!! Sudah pasti juga nggak akan ada perubahan dramatis dan hari-hari yang membosankan pasti akan berlanjut!! Walau jika kebahagiaan yang fana ini terus berlanjut, tapi aku pasti nggak akan jadi orang dewasa yang berpura-pura merasa puas dengan itu!!

Selamat wisuda!! Tapi aku!! Berikan aku waktu sedikit lagi. Sampai aku menemukan jawabannya."

Hal itulah yang terlintas di akhir hidup Taneda. Ia merasa kehidupan selama satu setengah tahun selepas kelulusan ini tampak seperti ilusi. Meskipun masih menyimpan merasa takut dan khawatir akan masa depan, tapi di dalam hatinya ia ingin pulang untuk bertemu Meiko dan menyanyikan lagu cinta picisan yang telah dibuatnya. Sayang, semua hal itu tidak dapat ia lakukan. Meski demikian, kematian Taneda bukanlah akhir dari cerita karena setelah itu ada Meiko yang masih terus berusaha menemukan apa yang ingin dilakukannya dalam hidup. 

“Solanin” adalah karya Asano Inio yang ditulis 13 tahun yang lalu, tapi permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya masih relevan hingga saat ini. Meskipun cukup singkat, hanya dua volume saja, tapi komik ini terasa begitu padat dan membahas mengenai masalah-masalah penting dalam kehidupan, seperti soal pekerjaan, karier, keluarga, kehidupan, kematian, dan kebahagiaan. Komik ini juga telah diangkat ke versi layar lebar pada 2010. Di tahun 2017, Asano menuliskan epilog yang berlatar waktu kehidupan Meiko dan tokoh-tokoh lainnya 12 tahun kemudian. Komik ini menyentuh masalah-masalah yang begitu penting dalam kehidupan pemuda Jepang saat ini.

“Kenapa aku berhenti kerja, bukan karena aku nggak puas dengan pekerjaanku, tapi karena aku benci melihat diriku letih dan lelah menghadapi itu semua.”

Kehidupan para pemuda Jepang memang agak berbeda dengan kita. Mereka sudah memiliki pola kehidupan, yaitu menempuh pendidikan dasar SD hingga SMA lalu melanjutkan ke perguruan tinggi. Kira-kira setahun menjelang kelulusan mereka akan mulai mencari kerja sehingga begitu lulus—tanpa buang-buang waktu—dapat langsung menjadi pekerja dengan sebutan office lady bagi perempuan dan salaryman bagi lelaki. Mereka akan terus bekerja hingga tua dan pensiun. Mereka juga dengan patuh membayar tagihan-tagihan wajib negara, seperti pajak, asuransi kesehatan, ataupun uang pensiun. Jika sudah berkeluarga, mereka akan mulai membayar cicilan-cicilan lain seperti rumah dan kendaraan, juga mulai memikirkan pendidikan dan masa depan anak yang diharapkan akan mengikuti pola yang serupa. 

Tokoh-tokoh utama di komik ini adalah orang-orang yang tidak mengikuti pola itu sehingga bisa disebut sebagai orang-orang yang tidak berkontribusi bagi masyarakat. Meiko yang sudah memiliki pekerjaan tetap akhirnya berhenti dan menjadi pengangguran. Sedangkan, Taneda hanya bekerja sambilan dengan penghasilan kecil. Mereka berdua telah mengkhianati harapan orang tua dan negara. Para orang tua, seperti ayah Taneda, berharap anaknya dapat masuk sekolah yang bagus atau setidaknya lulus perguruan tinggi agar dapat diterima di perusahaan yang bagus, mendapatkan gaji yang besar, dan dengannya dapat hidup sejahtera sepanjang hidup mereka. 

Padahal, memiliki pendidikan tinggi dan bekerja di perusahaan bagus ternyata tidak menjamin kebahagiaan hidup para pemuda di sana. Fisik mereka disiapkan untuk bekerja, tapi batin mereka tidak disiapkan untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan. Jiwa mereka rapuh dan lelah. Di antara fisik yang sehat dengan tingkat obesitas rendah dan angka harapan hidup yang tinggi, angka bunuh diri di kalangan pemuda Jepang justru sangat tinggi. Tidak sedikit yang berusaha mencari jawaban atas kehidupan yang sedang mereka jalani. Pertanyaan mengapa harus bekerja juga sering digaungkan. Mereka berusaha mencari jawaban, tapi tidak pernah menemukannya sehingga akhirnya mereka yakin bahwa jawaban itu memang tidak ada. Mereka tidak yakin bekerja untuk apa, hidup untuk apa, bahkan tidak yakin apakah merasa bahagia atau tidak. Mencari jawaban justru membuat mereka semakin lelah karena harus keluar dari arus besar yang ada sementara mereka sendiri tidak tahu harus mencari ke mana.

“Ngomong-ngomong, Billy, apa kamu sekarang bahagia?”

“Sekarang bahagia apa nggak, ya nggak taulah. Yang kayak gitu kayaknya baru bisa ngerti pas mati nanti, deh...”

“Kalau gitu, Billy, kalau sekarang kamu mati, bisa paham sama hidup sendiri, nggak? Bagi kamu hidup itu apa? Billy, kamu bisa ngomong nggak kalau sekarang udah cukup puas sama kehidupan ini?”

“Solanin” adalah perwujudan luka para tokohnya. Luka yang mesti dilalui untuk menjadi lebih kuat sehingga bisa menjadi orang dewasa. Luka itu juga disimbolkan dalam penamaan kedua tokoh utama. Taneda berasal dari kata tane yang berarti bibit dan Meiko mengandung kanji yang berarti tunas. Luka-luka yang dialami tokoh di komik ini disebabkan oleh penyeragaman kehidupan sehingga hal-hal yang khas dari setiap individu tidak lagi diakui. Luka-luka ini begitu parah sehingga membuat kehidupan mereka begitu suram. Namun, tak semuanya seperti Taneda dan Meiko menyadari bahwa luka itu ada. 

Luka-luka itu semestinya bisa disembuhkan karena setiap kita diciptakan dengan hal-hal spesifik yang dianugerahkan oleh Tuhan dan dengan memahami hal itu masing-masing kita akan menemukan jawaban-jawaban kehidupan yang sesungguhnya. Namun, saat ini kita tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal-hal penting semacam itu karena merasa diburu oleh hal-hal yang lain yang dianggap lebih penting. Akibatnya, banyak dari kita yang tidak merasa siap menghadapi kehidupan, tidak lagi tahu makna hal-hal yang sedang kita lakukan sehingga hidup kita terasa lelah mengejar sesuatu yang fana dan tidak siap menghadapi keabadian yang sebenarnya lebih pasti dari kehidupan.