Permintaan M. Natsir untuk Menghentikan Pembunuhan: Cerita M. Roem di Konferensi Liga Anti-Komunis Sedunia
Bagikan

Permintaan M. Natsir untuk Menghentikan Pembunuhan: Cerita M. Roem di Konferensi Liga Anti-Komunis Sedunia

Yang kita tidak ketahui betul adalah seruan Mohammad Natsir dari dalam rumah tahanan: hentikan pembunuhan!

Gestapu '65 memang membawa keadaan bangsa ini kepada situasi yang sangat tak biasa. Keadaan Indonesia setelah ditemukannya mayat para jenderal di Lubang Buaya menjadi amat mencekam. Seiring kabar dibunuhnya para Jenderal Angkatan Darat itu, di daerah-daerah berhembus pula berita PKI siap melakukan pemberontakan di seluruh Indonesia. Di beberapa tempat ditemukan senjata siap pakai sampai daftar nama tokoh-tokoh daerah yang akan dibunuhi fihak komunis. Bahkan di Yogyakarta sempat berlangsung demonstrasi mendukung Gestapu. Hal tersebut tentu secara cepat membangkitkan memori dalam benak orang-orang mengenai intimidasi dan kekacauan yang ditimbulkan PKI pada masa-masa sebelumnya.

Dalam situasi demikian, rakyat pun semakin gundah dan tak karuan. Ada kecemasan, ketakutan, amarah, juga dendam. Keadaan sedang amat genting namun belum ada sikap yang jelas dari Sang Presiden tentang Gestapu. Sementara itu, informasi yang sampai pada rakyat hanya berasal dari surat kabar Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata. Pada akhirnya selama kurang lebih dua pekan, Indonesia dirundung keadaan yang kelam dan mencekam. Kemudian muncul lah ihwal yang mengerikan. Konon katanya, saat itu hanya tersedia dua pilihan: terbunuh atau membunuh. Nyawa yang melayang pun tak terhitung jumlahnya.

Yang kita tidak ketahui betul adalah seruan Mohammad Natsir dari dalam rumah tahanan: hentikan pembunuhan! Seseorang memang harus segera mengambil sikap dan menenangkan rakyat. Namun situasi terbunuh atau membunuh itu tetap berlangsung. Amarah, cemas dan ketidakmenentuan yang dibumbui dengan provokasi merupakan kombinasi mematikan. Di sini jelas posisi Pak Natsir, meski tak sepakat dengan komunisme dan PKI, meski didzalimi dan dipojokan (bahkan sampai ditahan) namun ia pun tak menginginkan pertumpahan darah. Mungkin hal ini jarang dikemukakan.

Pada tanggal 18 - 22 April 1977 Konferensi ke X Liga Anti-Komunis Sedunia (World Anti-Communist League) dilangsungkan  bersamaan dengan Konferensi ke XXIII Liga Anti-Komunis Masyarakat Asia (The Asian Peoples Anti-Communist League) di Taipe - Taiwan. Mohammad Roem hadir di sana sebagai utusan dari Kongres Islam Sedunia dan Muktamar Alam Islamy dan menyampaikan pidato kepada seluruh hadirin. Pada kesempatan itulah, diplomat yang juga ditahan Orde Lama ini membagikan pengalaman Indonesia dalam menghadapi huru-hara di akhir September dan awal Oktober 1965, termasuk kisah sikap koleganya M. Natsir. 

Pidato Mohammad Roem itu kemudian diterbitkan di Majalah Panji Masyarakat Nomor 223 Tahun XVIII , 15 Mei 1977/26 Jumadil Awwal 1397, halaman 15 -18. Berikut ini NuuN.id menampilkan sebagian pidato tersebut dengan beberapa penyesuaian seperlunya. Mohammad Roem meyakini bahwa menyampaikan persoalan yang sebetulnya penuh derita itu amat penting dan berharga untuk kita jadikan pelajaran. 

Pengalaman Bangsa Indonesia

Indonesia yang saat ini berpenduduk 130 juta dengan lebih kurang 120 juta adalah ummat Islam, telah pernah berkali-kali merasakan pengalaman pahit dengan Komunisme di masa-masa yang lampau.

Walaupun masih sangat terasa getir bagi kami, saya ingin mengulangi cerita ini, karena saya percaya hal ini akan dapat diambil sebagai pelajaran. Sebagai suatu bangsa yang berdirinya belum begitu lama, kami telah dua kali mengalami percobaan perebutan kekuasaan oleh Komunis di bawah dukungan langsung atau tidak langsung dari Gerakan Komunis Internasional, yang sebagaimana biasa yaitu dilakukan dengan kekerasan bukan dengan prosedur demokratis. Gerakan-gerakan ini telah dibayar mahal dengan nyawa dan eksistensi kemanusiaan. Jumlahnya bukan saja puluhan atau ratusan, tetapi ribuan bahkan ratusan ribu jiwa yang tak berdosa.

Percobaan kup Komunis yang pertama dilakukan dalam masa kemerdekaan yaitu pada tanggal 18 September 1948. Saat itu negara Republik Indonesia baru berumur 3 tahun, masih berada dalam kondisi yang sangat lemah dan masih mengalami penderitaan akibat serangan-serangan militer Belanda pada tahun-tahun sebelumnya. Pada saat itu, Komunis dengan kejam telah mencoba untuk menjatuhkan Presiden Soekarno dan Wakilnya Mohammad Hatta. Hal ini adalah suatu pemberontakan Komunis, yaitu semacam perang saudara antara orang Indonesia dengan orang Indonesia sendiri. Ribuan nyawa direnggut dengan paksa oleh Komunis sementara ribuan orang Indonesia lainnya terbunuh oleh tentara Indonesia yang bertindak untuk menyelamatkan tanah air dan menghancurkan pemberontakan.

Orang-orang yang dijadikan sasaran utama oleh kaum Komunis ini ialah pemimpin-pemimpin agama yang mengajarkan ajaran kepercayaan akan adanya Tuhan dan mengajarkan suatu ajaran moral. Sasaran kedua adalah administrator (pejabat-pejabat) sipil yang menangani pemerintahan yang tetap dan teratur.

Lalu kira-kira 3 bulan sesudah itu, dalam bulan Desember 1948, terjadi suatu hal yang menguntungkan bagi Komunis ini yaitu dengan terjadinya serangan terhadap Republik yang dilancarkan oleh pasukan Belanda.

Orang-orang Komunis termasuk mereka yang ketika itu sedang berada dalam tahanan berhasil meyakinkan pemerintah bahwa mereka akan berjuang melawan penjajahan Belanda bersama-sama dengan bangsa Indonesia lainnya. Dengan alasan inilah sehingga mereka dibebaskan kembali dari kekeliruan-kekeliruan yang telah mereka perbuat.

Setelah kemerdekaan, Republik Indonesia telah mendapatkan pengakuan sepenuhnya dari dunia internasional, Partai Komunis Indonesia pun berhasil mengorganisir diri mereka di dalam negeri yang telah merdeka itu. Mereka cukup cerdik dan meyakinkan sehingga ketika diadakan pemilihan secara demokratis di tahun 1955, mereka berhasil sebagai partai keempat terbesar dengan meraih 39 kursi di parlemen yang beranggotakan 250 orang ketika itu.

Kekuatan mereka kian hari kian berkembang. Dengan kecerdikan, mereka bersahabat erat dengan Presiden Soekarno. Akan tetapi Komunis akan selalu tetap Komunis. Semakin kuat kedudukan mereka, semakin kejam semena-menalah mereka. Mereka senantiasa mengadakan intimidasi, ancaman dan provokasi terhadap fihak-fihak yang tidak mereka senangi.

Tiba saat mereka merasa momennya sudah tepat, yakni saat mereka merasa Presiden Soekarno sudah berada di dalam genggaman dan saat lawan-lawan politik mereka yang pada umumnya tokoh-tokoh Muslim dan Sosialis telah berada dalam tahanan politik, mereka menyalakan api pemberontakan untuk kedua kalinya dengan membunuh 6 jenderal dengan kejam dan tak berperikemanusiaan.

Pemberontakan kedua ini terjadi di tahun 1965 pada saat Dr. Mohammad Natsir yang kini menjabat Wakil Presiden dari Muktamar Alam Islamy adalah juga diantara para tawanan politik tersebut.

Dalam suasana yang kritis itu, dengan tindakan berani dan gesit serta tegas, Jenderal Soeharto yang sekarang adalah presiden kami, berhasil menghancurkan usaha perebutan kekuasaan yang dilancarkan Komunis itu. Suatu tindakan penyelamatan negara yang mengagumkan sekali tanpa direncanakan dan diorganisir terlebih dahulu. Semuanya alamiah dan benar-benar tak dapat dibuktikan sebagai suatu tindakan penyelamatan yang diatur terlebih dahulu.

Setelah Jenderal Soeharto menemukan tubuh para jenderal yang terbunuh, timbullah suatu suasana mencekam selama kira-kira dua minggu, yakni saat orang membunuh orang. Kenyataan ini demikian mengerikan. Jumlah pembunuhan bukan sekadar ribuan jiwa manusia, akan tetapi puluhan bahkan ratusan ribu jiwa.

Saya katakan bahwa Dr. Mohamad Natsir ketika itu berada dalam tahanan. Ketika itu beliau mendengar terjadinya pembunuhan-pembunuhan itu. Beliau mengirimkan pesan kepada teman-temannya, tokoh muslim di mana saja untuk tidak melakukan pembunuhan dan menghindarkan orang-orang untuk tidak membunuh. Akan tetapi Dr. Mohammad Natsir terpaksa harus puas dengan jawaban karena dihadapkan kepada dua pilihan mutlak maka mereka harus menentukan sikap, dibunuh oleh Komunis atau membunuh mereka.

Mendengar ini, negarawan-negarawan dari Eropa dan Amerika, di antaranya Edward Kennedy menyampaikan rasa ngerinya bercampur marah. Beberapa wartawan asing menulis bahwa orang-orang Muslim fanatik berhasil mengadakan pembantaian terhadap orang-orang Komunis ini. Tentu saja hal ini tidak benar karena di Pulau Dewata Bali, tempat hidup dua juta orang Hindu, di Minahasa dan Tapanuli, tempat tinggal orang-orang Kristen, banyak juga terjadi pembunuhan sebagaimana di daerah-daerah Muslim. 

Ahli-ahli politik dari Eropa dan Amerika yang mengenal baik Indonesia sejak permulaan proklamasi kemerdekaannya, secara alamiah merasa tertarik dengan adanya kejadian di tahun 1965 itu. Menurut Arnold Brackman, seorang jurnalis yang mengenal baik tentang Indonesia, banyak diadakan seminar-seminar di berbagai universitas di Amerika tentang GESTAPU (Gerakan September 30) 1965 ini. Di sana juga diperkirakan tentang banyaknya orang Komunis yang terbunuh yaitu antara 100.000 sampai 1.000.000 orang.

Sungguh suatu hal yang mengerikan untuk mengadakan pembunuhan terhadap ummat manusia. Namun ini adalah cerita yang sebenarnya. Kesemua ini adalah kenyataan sejarah yang tak dapat dilupakan begitu saja. Ini adalah cerita tentang pembunuhan manusia yang tidak diharapkan sama sekali. Akan tetapi seseorang melakukan pembunuhan jelas sebagai akibat adanya keterpaksaan suasana yang mengharuskan mereka untuk membunuh akibat adanya aksi Komunis tersebut.

Kesemua ini hanyalah gejolak yang tidak berdiri sendiri. Yang satu telah menyebabkan terjadinya gejolak dan yang lain tak dapat menghindari untuk melawan gejolak tersebut. Sehingga sejak tahun 1966 Partai Komunis Indonesia dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

***

Dari potongan pidato di atas, kita dapat simpulkan bahwa Mohammad Roem, Mohammad Natsir dan banyak dari kita sebenarnya tak pernah menginginkan darah tertumpah. Bagaimanapun kita menyesalkan bahwa tak ada satu pun kekuatan yang dapat menghentikan peristiwa kelam itu. Namun peristiwa terbunuhnya manusia oleh manusia itu tak dapat dipandang sebagian, hanya ketika peristiwa itu berlangsung. Keadaan yang melatarinya tak dapat diabaikan. 

Tokoh-tokoh kita tak memungkiri terjadinya tragedi kemanusiaan itu, mereka pun turut menyesalkan dan sudah berusaha menghindarkannya. Dan kita, harus berusaha keras tak mengulangi masa kelam dalam kehidupan berbangsa itu dengan membangun politik yang wajar dan bermartabat. Bukan politik berwajah pertarungan kasar, asal kuat dan asal menang yang urakan dan awut-awutan.

Sebagai umat, kita harus terus berusaha memartabatkan diri, tak terjebak dalam narasi-narasi politis yang hanya mengincar suara kita di Pemilihan Umum.  Â