Dalam pandangan Islam, politik itu tidak sebatasberbicara tentang kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga soalakhirat. Buya Natsir dalam buku PemikiranDr. Muhammad Iqbal tentang Politik dan Agama, terbitan Mutiara, tahun 1979,mengutip Iqbal, menyatakan bahwa politik (sistem politik Islam) berbicaratentang bagaimana caranya manusia menuju akhirat (kepada Sang Khalik).
Politik sangat berhubungan langsung dengan manusia.Sebab, selain manusia adalah pelaku politik (zoon politicon) juga ada alasan yang lebih dalam dari itu: politikjuga berkenaan dengan hakikat manusia yang terdalam, sebagai hamba Tuhan. Soalini sudah diterangkan oleh para ulama kita terdahulu.
Tak usah jauh-jauh ke negeri-negeri Arab sana, didalam negeri saja hal seperti ini juga diketengahkan para sarjana Islam yangberwibawa dalam kitab-kitabnya. Sebut saja QanunMeukuta Alam karya Teungku di Mulek, ulama asal Aceh pada abad ke-17Masehi. (Qanun Meukuta Alam inikemudian disalin ulang dan dialihaksarakan oleh Mohammad Kalam Daud dan TASakti, disunting oleh Darni M Daud, dengan judul Qanun Meukuta Alam dalam Syarah Tadhkirah Tabaqat Tgk. Di Mulek danKomentarnya, diterbitkan oleh Syiah Kuala University Press pada 2010).
Perihal hubungan politik antara pemerintah denganrakyatnya, dalam kitabnya itu dianalogikan oleh Teungku di Mulek bukan sebagaihubungan antarmakhluk, melainkan hubungan intramakhluk. Ini menunjukkan bahwasedemikian intimnya hubungan politik antara pemerintah dengan yang diperintah.
“Sebabkarena raja dengan rakyatnya itu seperti jasad dengan ruh, maka jasad tidak adaruh, maka jasad itu tiadalah hidup. Sebab ruh telah keluar maka jasad tiadalahboleh bergerak-gerak lagi karena telah mati. Maka pasti merasakan jasad ituhancur luruh. Maka dengan demikian antara pemerintah dengan rakyat,†(halaman11).
Pada karya yang sama, Teungku di Mulek menunjukkanbahwa berpolitik itu juga harus menggunakan ilmu yang terkait dengan dunia danakhirat. “Ketiga, ilmu. Jika tidak mengetahui ilmu dunia dan akhirat, tidakbisa mengatur kerajaan.†Maka ilmu (pemahaman) yang benar akan dua alam itumenjadi syarat mutlak dalam berpolitik (halaman 12).
Mengenai ini, sebuah majalah umat Islam terkenal dimedio 50-an, Majalah Hikmah, dalamcatatan editorialnya (rubrik Dari Hati ke Hati) mengemukakan kembali hal senadayang telah diungkapkan oleh para pendahulu ulama kita. Dengan judul “TasawufPolitikâ€, Nawawi Dusky, pemimpin majalah itu, menuliskan tentang pentingnyapolitik dihubungkan dengan pertanyaan utama manusia tentang dari mana, sedangdi mana, dan mau ke mana nantinya manusia itu.
Sumber foto: MajalahHikmah, edisi 14 November 1959, halaman 2.
Teks foto: Halaman editorial Majalah Hikmah mengangkat soal tasawuf politik.Â