Kisah ini sebenarnya tidak terlalu penting meski bukan berarti tak ada manfaatnya sama sekali. Ini tentang seorang bujang yang biasa saja, namanya Hendra Juansyah (HJ, nama yang sebenarnya). HJ lahir 30 tahun lalu di sebuah kabupaten bernama Muara Enim, wilayah seluas 7.483,06 km2 di Sumatera Selatan, di sana masih banyak orang yang sering kesulitan mendapatkan sinyal internet dan listrik sering mati.
Pada tahun 2007, Sang Bujang Muara Enim merantau ke Yogyakarta untuk menempuh kuliah di Universitas Gajah Mada. Pilihannya (atau nasibnya) ialah Jurusan Ilmu Politik di FISIPOL UGM. Tahun demi tahun ia lalui dengan penuh kesungguhan, menelusuri berbagai teori politik di ruang-ruang kelas. Selain itu, ia pun berpindah dari satu gerakan Islam ke gerakan Islam lainnya. Paduan beberapa pengalaman ini membuatnya mengetahui seluk belum teori demokrasi sekaligus tanggapan berbagai gerakan Islam terhadap demokrasi itu sendiri. Selain itu ia pun memiliki keahlian untuk menilisik kecenderungan politik seorang akhwat hanya dari melihat cara berpakaiannya saja.
Itu lah perjalanan Bujang HJ selama kuliah di Yogya, secara resmi belajar ilmu politik dan di sela-sela keresmian itu berjalan-jalan dari satu gerakan Islam ke gerakan lainnya. Sisa waktu yang ada ia jalani untuk beberapa kali patah hati yang nyaris tak tersembuhkan. Perjalanan masa kuliah itu berakhir di Nusa Kambangan. Maksudnya bujang kita ini menulis skripsi tentang Abu Bakar Ba’asyir yang saat itu dipenjara di Nusa Kambangan.
Sempat agak luntang-lantung dan bimbang selepas kuliah, Bung HJ kemudian pergi ke Pare untuk kembali patah hati lagi, oh bukan... untuk memperbaiki mutu Bahasa Inggrisnya. Pare ialah daerah di Kota Kediri yang dipercayai sebagai tempat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris yang seksama. Di sana ia bertemu seorang Ustadz tempatnya dulu mengaji di gerakan Islam yang menyetujui demokrasi. Ustadz yang sama-sama berasal dari Muara Enim ini mengajaknya untuk bergabung menjadi tukang kampanye di kampung halaman. Ajakan ini merupakan follow-up dari obrolan di grup WA Rohis SMA beberapa waktu sebelumnya. Intinya Bung HJ diminta untuk membantu menokohkah seorang Ustadz sebagai calon bupati di Muara Enim.
Pada awalnya ia tak terlalu serius menanggapi tawaran itu. Selulus dari UGM, Bung HJ memang mendapat beberapa tawaran. Ia sempat menjadi tutor di HI UGM. Ketua Jurusan Politik juga sempat memintanya membantu mengajar, kebetulan saat itu ada mata kuliah baru: Agama dan Tata Politik. Ada pula pilihan untuk melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri dan karena itu ia memilih ke Pare untuk belajar bahasa Inggris.
Tawaran-tawaran yang jauh lebih masuk akal ketimbang pulang ke Muara Enim itu membuat pilihan balik kampung menjadi sesuatu yang samar. Apalagi untuk sekadar menjadi tim kampanye seorang Ustadz yang ia sendiri belum kenal betul. HJ hanya tahu kalau Ustadz yang mau maju di Pilkada Muara Enim itu ialah seorang penghafal al-Qur’an dan lulus S2 di Malaysia. Selain itu Sang Ustadz dikenal sebagai pendiri PT. Ligad, perusahaan jarak di Muara Enim. Hanya itu yang HJ tahu tentang sosok Ustadz ‘S’.
Selesai mengasah kemampuan bahasa Inggris di Pare HJ pulang kampung. Awalnya ia tak berfikir untuk menetap di sana. Sekadar pulang rutin untuk kembali ke Yogya, tempatnya menuntut ilmu dan mengenal banyak akhwat. Di kampung memang tak banyak yang dapat dilakukan. Menyadap karet ia masih bisa, tapi itu tak berhubungan sama sekali dengan studi ilmu politik yang ia tempuh dengan penuh khidmat. Tiket pesawat Palembang-Yogya sudah ia lihat-lihat secara online. Akan tetapi sinyal internet di Muara Enim memang sering timbul tenggelam. Urusan mencari tiket ini akhirnya agak melambat.
Di tengah kesulitan mencari sinyal internet tersebut, HJ kembali disambangi Ustadznya yang dulu juga menemuinya di Pare. Tawaran yang sama masih diajukan kepada HJ, diminta bergabung untuk ikut meningkatkan popularitas dan elektabilitas Ustadz ‘S’. Pada awalnya ia ragu. Apalagi ia sempat mendengar bisnis Ustadz ‘S’ mengalami kebangkrutan.
Namun di sisi lain HJ melihat Ustadz ‘S’ memang memiliki kualitas dan kapasitas yang memadai untuk memperbaiki keadaan Muara Enim. Beliau penghafal al-Qur’an, masih muda, seorang master dari Universitas Malaya. Tanah lahir Bung HJ yang jauh dari hirup pikuk pusat, memerlukan sosok pemimpin yang mumpuni untuk memperbaiki keadaan. Akhirnya dengan diiringi ucapan basmallah Bung HJ menerima tawaran tersebut. Catatannya, meski ia membantu Ustadz ‘S’ ia tak mau bergabung dan mendaftar menjadi anggota harakah dan partai yang mengusungnya.
Kesepakatan antara kedua belah pihak tercapai. HJ dapat menerapkan hasil belajarnya di tanah lahir. Menjadi bagian dari tim sukses Ustadz ‘S’ tentu lebih nyambung dengan ilmu yang ia pelajari selama kuliah dibanding menyadap karet atau berburu madu. Meski dua yang terakhir pun tidak pernah ia lupakan.
Dengan tekad membulat, semangat membara, HJ tulus ikhlas mengabdikan ilmu yang ia peroleh untuk kampung halaman. Tawaran dari Yogya sementara ia pendam. HJ memilih untuk membangun kampung halaman dengan pilihannya. Ilmu politik yang ia pelajari secara resmi di UGM, perjalanannya berganti-ganti harakah serta pengalamannya menempuh patah hati ia maksimalkan sebagai bekal membantu menata citra Ustadz ‘S’.
Dua tahun menjelang pilkada, tim sukses berhasil merumuskan tagline Pakam untuk Sang Ustadz. “Muara Enim Pakamâ€. Dalam bahasa Melayu yang biasa dituturkan di Muara Enim, Pakam artinya kira-kira ‘hebat’ atau ‘bagus’. Penggunaan bahasa lokal ini penting mengingat unsur daerah dalam politik Muara Enim masih sangat kuat. Akan tetapi penggunaan kata ‘Muara Enim’ dalam tagline tersebut dirasa bujang kita ini kurang lugas. Masih tampak malu-malu dan kurang terbuka memperkenalkan Ustadz ‘S’ kepada khalayak. HJ kemudian mengubah tagline tersebut menjadi “Syuryadi Pakamâ€. Pengubahan tersebut sempat ditolak qiyadah (pimpinan) partai tempat bernaung Ustadz ‘S’. Namun, karena yang mendesain baleho adalah teman HJ, maka tagline “Syuryadi Pakam†yang hadir di berbagai wilayah Muara Enim. Di sini kemampuan berpolitik bujang lulusan UGM ini mulai terlihat.
Pakam tidak hanya dimaknai ‘hebat’ dan ‘bagus’ oleh Tim Sukses Ustadz ‘S’. Pakam diartikan sebagai: Pandai, Agamis, Kreatif dan Melayani. Pemilihan kata ini juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat ketika mendengar Ustadz ‘S’ mengaji mereka mengatakan “Aiii pakam nian!â€. Jadi tak hanya di Jakarta atau Jawa, kebiasaan membuat tagline untuk bahan kampanye hadir juga di daerah. Bukan cuma “Dedi-Deddy Asyik Rindu Hasanahâ€, Muara Enim juga punya “Pakam!â€.
Setahun pergi masuk hutan memperkenalkan “Syuryadi Pakam†kepada masyarakat Muara Enim, Bujang HJ dan tim berhasil menaikan popularitas Ustadz ‘S’. Nama Ustadz ‘S’, (sekarang kita semua tahu yang dimaksud ialah Ustadz Syuryadi) meroket setelah setahun menokohkan diri dengan segala keterbatasan.
Mari lupakan kisah makmur konsultan politik di pusat kuasa dan sumber kabar berita. Tidak ada fasilitas mewah berlebih, bahkan konsultan politik pemula lulusan UGM ini harus menggunakan bus umum berumur tiap “berkantor†di pusat kota. Rumahnya memang agak jauh di pelosok. Sosialisasi andalan bukan keramaian media sosial, melainkan baliho-baliho yang musti dipancang dengan kuat di seantero Muara Enim. HJ dan tim berusaha memastikan seluruh penduduk Muara Enim pernah melihat wajah Ustadz ‘S’.
Dalam bekerja Bung HJ dan tim sukses lainnya lebih menyandarkan diri pada keyakinan, semangat dan komitmen. Dana politik tidak semelimpah di Jawa. Bahkan pada awalnya HJ harus menelusuri berbagai pelosok Muara Enim dengan mobil pinjaman yang sudah agak reot. Fasilitas yang terbatas dan tantangan alam serba keras hanya bisa diatasi dengan keyakinan yang tak tergantikan dengan uang.
Ustadz ‘S’ akhirnya “dipandang†juga secara politik. Dinamika dan suasana pilkada mulai menghangat di Muara Enim. Setahun menjelang perhelatan lima tahunan itu, Ustadz ‘S’ dipinang untuk menjadi Calon Wakil Bupati Muara Enim oleh Ibu Shinta, Calon Bupati sekaligus istri bupati petahana. Jadilah tagline Shinta-Shuryadi Pakam mengiringi perjalanan Pilkada Muara Enim 2018.
Kerja kawan kita dan tim sukses lainnya semakin berat. Sosialisasi ke berbagai pelosok, bahkan ke dusun paling ujung di Muara Enim dijalani dengan seksama. Masuk hutan, keluar hutan, melalui sungai, menjangkau 245 desa, 10 kelurahan dan 20 kecamatan. Tidak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Keadaan geografis Muara Enim jauh berbeda dengan pulau Jawa. Jarak antar kecamatan sangat jauh, bahkan ada kecamatan yang harus ditempuh dalam waktu 5 jam perjalanan dari pusat kota. Kontur pemukiman pun terpisah-pisah, berselang-seling dengan kebun para, jarak dan hutan Sumatera yang lebat. “Penderitaan†tim sukses masih ditambah oleh infrastruktur jalan yang masih jauh dari layak.
Menempuh tugas politik di daerah semacam itu membuat HJ dan tim kadang harus tidur di rumah warga ketika menjalankan tugas. Kampanye sering kali jauh dari keramaian. Tak ada panggung atau hiruk-pikuk musik dangdut. Kadang kampanye dilakukan di halaman rumah warga, dengan dihadari sekitar puluhan orang saja. Lebih mirip suasana Yasinan. Semua itu ditempuh dengan strategi dan niat mengajak warga untuk lebih sadar akan hak-hak politik mereka. Bukan sekadar meminta dipilih dan dimenangkan.
Nyaris semua dusun terjauh di Muara Enim pernah Bung HJ sambangi. Perbatasan Palembang, perbatasan Bengkulu, dan perbatasan-perbatasan paling ujung, semua didatangi Bung HJ dan tim. Mengetuk rumah-rumah, menyampaikan visi misi dan mengajak warga untuk ikut pilkada dan menolak politik uang. Program-program semacam Kartu Mesra (kartu diskon belanja, solusi atas mahalnya barang dan murahnya harga karet); pembangunan saluran air bersih gratis sebagai solusi atas masih banyaknya masyarakat yang mandi ke sungai; sampai tawaran program ulama bina desa, ia jelaskan secara seksama kepada masyarakat. Kawan kita ini selalu berusaha membangun sebuah kampanye yang bersih dan bermoral.
Perjalanan penuh militansi itu membuahkan keunggulan pasangan Shinta-Syuryadi di berbagai survei menjelang pilkada. Bahkan di survei terakhir pasangan ini tetap unggul. Akan tetapi semua ikhtiar nyaris dua tahun lamanya itu hangus begitu saja. Calon lain tahu persis keadaan masyarakat Muara Enim.
Psikografis Muara Enim masih sangat jauh dari idealita demokrasi. Emosi kedaerahan masih kuat diiringi tingkat pendidikan yang masih rendah. Rata-rata penduduk ialah lususan SMA dan bahkan ada yang hanya lulusan SMP. Ekonomi masih tergantung pada penyadapan karet. Harga getah sudah lama jauh dari menyejahterakan. Pengaruh perkembangan internet di daerah ini masih amat kurang. Penyerapan teknologi masih jauh dari baik. Bahkan ada desa yang belum terjangkau sinyal seluler dan apalagi internet. Ini mengakibatkan pengawasan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan dan proses-proses demokrasi menjadi lemah.
Dalam keadaan semacam itu, pergolakan politik yang terjadi menjadi lebih ruwet. Tiga hari menjelang pemilihan, beredar sms di beberapa kecamatan yang mengatasnamakan Ustadz ‘S’. Isinya menyatakan bahwa Ustadz ‘S’ akan membagi-bagi uang dan sembako. SMS disebarkan menggunakan nomor Ustadz ‘S’ yang sudah dikloning oleh pihak lain. Sampai malam menjelang pencoblosan pun sms ini masih menyebar.
Warga yang telah dua tahun lamanya diajak untuk menghindari politik uang akhirnya melempar kesinisan. “Semua sama aja!†begitu kira-kira gerutu mereka. Ustadz ‘S’ yang ke mana-mana mengkampanyekan politik bersih, difitnah turut serta mewajarkan politik uang. Tim sukses kerepotan untuk membendung sekaligus mengklarifikasi isu ini. Sementara itu waktu semakin sempit dan perangkat teknologi yang dimiliki tak mencukupi untuk mengatasi penyebaran dan pengklarifikasian sms kloning tersebut.
Seperti sudah ditebak, salah satu calon memang mengandalkan politik uang. Dan calon itulah yang memenangkan pertarungan.Dua tahun perjalanan Bung HJ kemudian pupus dengan strategi “murah†yang tidak memerlukan pendidikan lebih dari 4 tahun di Jurusan Politik Pemerintahan UGM. Segala kerja keras dan keluhuran politik yang dicita-citakan terkubur dalam sekejap mata.
Bung HJ harus merasakan sakitnya sebuah idealita yang dikhianati. Cita-cita bagi kampung halaman yang tersingkirkan oleh kemiskinan dan pragmatisme politik murahan. Menurut Bung HJ, sakit karena terkhianatinya idealita ini berpuluh kali lebih perih dari berbagai pengalaman patah hati yang pernah ia alami.
Pilkada Muara Enim dimenangkan oleh kandidat yang selama ini jarang kampanye. Di berbagai survei dia selalu berada di urutan terakhir. Namun masyarakat lebih memilih uang. Walau sang pemenang tak pernah menemui mereka. Tak pernah datang ke kampung-kampung apalagi menyapa warga ke rumah-rumah di pelosok. Bung HJ mengibaratkan pemenang Pilkada Muara Enim 2018 sebagai murid sekolah yang jarang masuk kelas, tidak pernah belajar, kerjanya santai-santai namun saat pembagian rapor ia meraih ranking satu. Murid yang senantiasa berusaha belajar bersungguh-sungguh menjadi merasa terkhianati dan percuma.
Usaha untuk melawan bukannya tak ada. Cara-cara sah dan konstitusional sudah ditempuh. Bahkan demonstrasi besar untuk ukuran Muara Enim sudah terjadi. Kearifan lokal seperti sumpah di bawah al-Qur’an pun sudah dilakukan. Namun pengawasan politik di daerah, di luar Jawa, memang sangat rendah. Media-media besar hanya tertarik memberitakan Pusat. Pelosok yang tak menarik secara politik, harus tertatih-tatih membangun mutu demokrasinya sendiri. Ketika Pemilu tiba, para kawakan politik sudah tahu bagaimana menjaring ‘ikan-ikan kecil’ di daerah.
Di Muara Enim, menjelang Pilpres 2014 seorang calon presiden menjanjikan harga karet yang indah. Janji itu tak pernah ditepati. Namun janji lain bisa diucapkan 5 tahun kemudian. Toh, janji 5 tahun lalu sudah bisa dilupakan oleh rakyat.
Begitu lah politik kita. Semua berlomba mengail ikan besar di Jawa. Di sudut-sudut Nusantara, di Muara Enim dan bagian lain dari NKRI, sorotan kamera televisi dan amatan para ahli masyhur politik amat redup dan alakadarnya. Sementara kita, sibuk berteriak kencang "NKRI harga mati!".
“Miris Kang di sini. Ini juga yang bikin aku pengen memperbaikinya†ujar Bung HJ mengeluh sekaligus mengasah semangat.
“Aku sekarang sangat merasa bahwa bahan kampanyeku soal mutu demokrasi, menyelamatkan demokrasi, memperbaiki demokrasi lokal dan lain-lain itu ketinggian. Nyatanya masyarakat gak butuh itu. Uang yang berkuasa. Suara rakyat terbeli. Muara Enim dan Lahat, kabupaten berdekatan yang semua dimenangkan karena money politik†ujarnya menambahkan.
Namun kawan kita ini, Bung HJ kita ini, tidak lantas menyerah dan putus asa. Pengalamannya patah hati berkali-kali telah menguatkan jiwanya. Ke depan selain mencari seorang istri yang bisa diajak berfikir ia punya cita-cita lain yang lumayan luhur.
“Kedepan Muara Enim akan dipimpin oleh bupati yang curang, bupati yang menang karena money politic. Pemimpin seperti ini wajib diawasi dengan ketat, Kang. Harus ada oposisi sebagai penyeimbang. Kalau teman-teman lain memilih oposisi political society, saya memilih oposisi civil society. Akan mendirikan LSM, Kang. Yang selain bergerak mengedukasi masyarakat juga mengkritisi penguasa†begitu Bung HJ memaparkan rencananya ke depan.
Kisah agak pilu dari Muara Enim bukan satu-satunya cerita. Ada banyak kisah yang tak menarik bagi pewarta-pewarta besar. Ricuh di Paniai (sebuah kabupaten di Papua sana) karena Pilkada, tak terdengar beritanya oleh orang-orang Jawa.
Ikan-ikan kecil di daerah, akan dijaring lima tahun sekali. Diberi janji atau sebungkus nasi. Demokrasi, NKRI terukir indah nun jauh di kota-kota. Namun Muara Enim (dan juga daerah-daerah lain) sesungguhnya memerlukan cinta dan kewarasan. Dan Bung HJ masih memiliki cinta semacam itu.
“Walau saya merasa dikhianati oleh masyarakat yang memilih money politic, rasa kecewa dan marah itu akhirnya kalah dengan rasa cinta kepada Muara Enim†ujar Bung HJ menutup diskusi.
*Seperti dikisahkan Bung HJ atau Hendra Juansyah kepada Shubhi Abdillah. Tulisan ini telah mendapat persetujuan dari narasumber untuk ditayangkan kepada khalayak.