Hantu-Hantu Enigma dan Upaya Mawas Diri Manusia di Abad Teknologi
Bagikan

Hantu-Hantu Enigma dan Upaya Mawas Diri Manusia di Abad Teknologi

Pisau itu sendiri tak memiliki kehendak dan kemampuan untuk memilih. Manusia dapat menggunakan pisau untuk memotong bawang di dapur, saat itulah pisau merupakan alat yang berguna menolong memudahkan hidup manusia. Namun, manusia pula dapat menggunakan pisau itu untuk menikam kawannya sendiri. Pisau sedemikian tak lagi menjadi alat yang berguna, tetapi merupakan senjata yang berbahaya. Bukan teknologi yang menentukan sesuatu menjadi baik dan buruk, tetapi manusia itu sendiri.

Perang Dunia II telah mencatat sebuah mesin istimewa yang mampu menyembunyikan kata-kata dalam kerumitan tersulit yang dapat dicapai oleh manusia pada zaman itu. Mesin yang dipatenkan oleh Arthur Scherbius ini digunakan oleh Nazi untuk menyebarkan pesan-pesan rahasia mereka dalam perang melawan sekutu. Dengan mesin ini, dalam sekian waktu Jerman dapat mengirim pesan ke seluruh pasukan dengan aman, melakukan berbagai penyerangan brutal, dan mengobarkan perang yang menewaskan 14 juta manusia lebih di seluruh Eropa.

Mesin ini bernama Enigma, sebuah teka-teki. Ia mampu menyusun pesan rahasia berupa kode-kode tertentu yang nyaris muskil dipecahkan oleh kemampuan nalar manusia. Pasukan Nazi menggunakannya dengan perubahan code key rutin setiap tengah malam. Sekutu mulai menyadap pesan-pesan itu pada pukul 6 pagi, artinya mereka memiliki waktu 18 jam per hari untuk memecahkan kode-kode yang tersamar dalam 159x1018 kemungkinan. Nyaris muskil. Enigma adalah mesin yang dirancang dengan sangat baik. Pesan-pesan rahasia yang dimuntahkannya memang mungkin diurai oleh kemampuan nalar manusia, namun hal itu memerlukan waktu yang cukup lama. Perlu waktu sekitar 20 tahun bagi seorang manusia jenius untuk memecahkan pesan Enigma yang disusun hanya dalam 24 jam. Perang rupanya memerlukan waktu yang lebih cepat dari kemampuan berfikir manusia.

Namun, kisah kedigdayaan Enigma dipecahkan oleh orang Inggris bernama Alan Turing. Seorang matematikus homoseksual yang mati bunuh diri di akhir hidupnya. Enigma tidak dikalahkan oleh kekuatan manusia yang amat terbatas, tetapi oleh mesin lain yang dibuat oleh Turing. Mesin yang canggih harus dikalahkan oleh mesin yang lebih canggih. Mengandalkan manusia untuk melawan mesin ialah sebuah pilihan yang buruk. Begitu kira-kira fikiran Turing di abad lampau.

Orang-orang mengenal mesin itu sebagai Bombe, tetapi Alan Turing menamai karyanya sebagai Christopher, nama depan cinta pertamanya di bangku sekolah: Christopher Morcom. Turing sendiri tak pernah menyatakan cinta sejenis itu kepada Morcom. Sebelum Turing mengirimkan surat cintanya, Morcom keburu meninggal terserang TBC sapi. Setidaknya begitu yang dikisahkan dalam film The Imitation Game. Sebuah film yang menceritakan perjuangan Turing menciptakan mesin pemecah kode Enigma.

Mesin Turing, mesin penakluk Enigma, dipercayai sebagai cikal bakal komputer dan seluruh perkembangannya. Keduanya (Mesin Turing dan Enigma) diciptakan, atau paling tidak dimanfaatkan, dalam suasana perang. Keadaan di mana kemanusiaan diteror begitu dahsyatnya hingga terseret di garis batas ketidakmengertian, ketakmampuan memecahkan serbakemungkinan dan kemurungan yang redup, tetapi sekaligus dipenuhi hasrat untuk memastikan segala hal dan meraih kemenangan. Dalam keadaan penuh kontradiksi yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan paling dasar mengenai hakikat manusia semacam itu, “Mesin Turing” yang kelak kita kenal sebagai cikal bakal komputer dilahirkan.

Sebuah adegan dalam The Imitation Game menggambarkan kemencekaman manusia dalam Perang Dunia II. Salah satu pesan yang dapat disadap dan kemudian dipecahkan Turing ialah mengenai rencana penyerangan U-Boat (kapal perang selam Jerman) terhadap iring-iringan kapal Carlisle. Di dalam kapal itu terdapat sekitar 500 orang warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak. Juga kakak kandung salah satu kolega Alan Turing di proyek Bombe.

Sebagai pemimpin proyek pemecahan kode Enigma, Turing bisa saja menyelamatkan saudara koleganya dan sekaligus 500 orang lain dalam iring-iringan. Masih ada waktu bagi armada sekutu untuk menemukan titik koordinat U-Boat dan menghancurkannya. Namun, matematikus ini tak melakukannya. Ia minta maaf untuk kematian yang akan segera menghampiri 500 orang itu (khususnya untuk saudara koleganya). Jika ia memberitahu sekutu mengenai kabar rahasia tersebut, Nazi akan tahu Enigma telah dipecahkan dan perang akan semakin panjang.

Demi menyelamatkan jutaan manusia, Turing harus tega mengorbankan manusia-manusia di kapal Carlisle. Sebuah pilihan mencekam yang selalu dituntut oleh perang. Manusia dapat menjadi sangat berkuasa karena dapat menjadi penentu hidup dan mati manusia lain, tetapi di sisi lain hakikat kemanusiaannya digedor-gedor pertanyaan-pertanyaan pilu yang membuatnya justru menjadi rapuh. Dalam perang, kekuasaan dan kerapuhan manusia diseret ke sisi paling jauh nyaris secara bersamaan.

Alan Turing telah menciptakan mesin pemecah kode Enigma. Akan tetapi, dalam situasi perang ia pun ialah bagian dari sebuah mesin besar. Ia adalah mur yang mengencangkan sekrup-sekrup mesin perang sekutu. Sebagai mur fungsinya tak jauh dari benda mati, seperti sebuah mesin. Perang tidak memerlukan kemanusiaan utuh Turing yang memiliki kehendak dan kemampuan untuk merasa. Yang diperlukan perang ialah kemenangan. Kemampuan Turing sebagai matematikus ialah bagian kecil dari mesin-mesin peraih kemenangan itu.

Dalam perang, lelaki yang tewas pada usia 41 tahun itu berada dalam rantai komando yang kukuh, yang sulit dimengerti, penuh teka-teki, dan serbakemungkinan. Ia terasing dari sebuah kendali yang tidak ia ketahui. Setiap pribadi mesti awas atas ancaman yang dapat datang dari manusia lainnya. Banyak hal di sebalik manusia yang lebih rumit dari Enigma. Boleh jadi, dalam kegamangan semacam itu, mesin yang hanya benda dipercayai lebih menenteramkan daripada manusia yang hidup. Mesin Turing disebut para sejarawan telah berhasil mempersingkat perang selama dua tahun. Selain itu, mesin ini pula yang mengadang niat Nazi menguasai seantero Eropa.

Setelah perang berakhir, Turing harus memusnahkan mesin dan data-data rahasia yang ia temukan. Namun, lelaki yang hidup tak menikah itu menciptakan Christopher yang lain. Dalam kesunyiannya yang ngilu, Turing memanggil mesin itu sebagai “dia”. Sebuah kasus homoseksualitas kemudian memberinya pilihan, dipenjara selama dua tahun atau menelan obat kimia pengebiri manusia untuk “menyembuhkan” penyimpangan hasratnya. Turing memilih yang kedua. Dipenjara ia tak bisa hidup bersama Christopher. Lelaki jenius ini tidak pernah merasa hidup sendirian, ia hidup bersama “kekasihnya” yang semakin cerdas. Ia menebus kekecewaannya akibat pemesinan oleh perang dengan menciptakan kecerdasan buatan yang dipercayai dapat melampaui kecerdasan manusia.

Pada 7 Juni 1954, Alan Turing tewas bunuh diri dengan menenggak racun sianida. Kini, di bawah kaki patungnya (Turing Memorial Statue) di Sackville Park, Manchester, tertabal sebuah maklumat dan kalimat ngilu Bertrand Russell:


Alan Mathison Turing 1912-1954
Father of Computer Science, Mathematician, Logician, Wartime Codebreaker, Victim of Prejudice

"Mathematics, rightly viewed, possesses not only truth but supreme beauty, a beauty cold and austere like that of sculpture" - Bertrand Russell

***

Kecemasan eksistensial manusia, kekhawatiran asli dan mendasar mengenai hakikat keberadaan diri yang dialami manusia, bisa jadi berasal dari pertanyaan-pertanyaan sederhana. Dari mana manusia berasal? Untuk apa dan mengapa ia ada di dunia? Dan, ada apa setelah kematian? Tiga pertanyaan tersebut meniscayakan jawaban yang mengekalkan kepercayaan kepada Tuhan atau jawaban keras yang bermakna sebaliknya: meniadakan Tuhan.

Modernisme yang sekular telah menolak, atau paling tidak telah menempatkan Tuhan, Wahyu, dan akhirat di pojok-pojok kepercayaan yang terpisah dari pengetahuan. Sebagian dari mereka bahkan tak meyakini keberadaan Tuhan. Kaum sekular modern mempercayai bahwa tak ada satu perangkat pun dalam diri manusia yang dapat menggapai Tuhan dan hal-hal yang meliputinya. Oleh karenanya, hal itu ditolak atau paling tidak diisolasi di dalam gereja dan tidak diperkenankan turut campur urusan orang banyak, apalagi urusan sains dan teknologi.

Satu-satunya yang manusia miliki ialah rasionya, ialah otaknya. Dan, dengan itulah manusia hidup. Manusia tak memiliki perangkat lain. Hanya dengan rasio itulah, hanya dengan otak itulah mereka menunjang kehidupan dan mencoba memahami dunia. Emosi, perasaan, cinta, kasih sayang dipandang hanya sebagai peristiwa ketubuhan yang tak melibatkan hal-hal semacam ruh, qalb, ‘aql, atau nafs.

Para saintis sekular meyakini bahwa manusia hanya makhluk bendawi semata, tak ada yang batin di sana atau di tempat lain. Tindak berfikir manusia dianggap sebuah kumpulan aksi-reaksi yang melibatkan organ-organ biologis bernama otak dan juga saraf. Sementara, emosi atau perasaan hanyalah sebuah reaksi biokimia hormonal dalam tubuh manusia. Baik perilaku otak/syaraf (berfikir) maupun hormon (perasaan) ialah gerak-gerak bendawi yang dapat dipelajari, diurai hukum-hukumnya, dan kemudian dianggap dapat dibuat tiruannya. Artificial intelligence (AI) ialah sebuah rekaan manusia yang berambisi untuk menduplikasi kecerdasan manusia itu dalam sebuah perangkat canggih.

Kini, kita mengetahui bahwa kecerdasan yang dimaksud oleh artificial intelligence sebenarnya mengandung penggerusan jiwa manusia hanya sebagai otak, saraf,  dan hormon belaka. Pandangan terhadap manusia yang kebendawian inilah yang hendak ditiru oleh para ilmuwan sekular itu. Sisi batin manusia, jiwa manusia diabaikan atau malah dianggap tidak ada. Kepercayaan pada yang ghaib telah ditebang patah di batang. Organ-organ spiritual manusia diabaikan dan kemudian segala hal tentang manusia direduksi pada peristiwa ketubuhan yang materialistik.

Dalam keadaan begini, “kecerdasan” partikular manusia sangat mungkin dipelajari pola-polanya dan kemudian dibuat tiruannya. Perilaku otak yang dapat mengenali, membedakan, dan mengumpulkan dapat diduplikasi dan dikomputasi. Tapi, tidak dengan ruh, qalb, nafs dan ‘aql. Dalam perangkat semacam itu, kita tak akan menemukan cinta atau iman. Kita tak akan menemukan kehendak atau semacam kesadaran untuk menyebut diri sebagai “aku”. Yang ada hanyalah kumpulan data-data rumit yang diproses dalam sebuah mesin.

Matematika akan menjadi patung yang terlihat indah tapi tak memiliki jiwa. Di dalam angka-angka yang tertata luar biasa itu kita akan menemukan pukau kegemilangan mengambang tak terkira, namun di dalamnya ada suatu ngilu yang dingin. Sebuah sepi manusia yang terasing dari Tuhannya. Manusia yang tak pernah tahu dari mana ia, untuk apa ia hidup di dunia, dan akan ke mana ia setelah kematian.  

Dalam pandangan-alam sekular pilu seperti itulah Enigma, Bombe, Alan Turing, Perang Dunia, kecerdasan buatan, dan kisah-kisah luka lahir. Hukum-hukum positif dan logis yang ada dalam sains dan dipraktikkan teknologi kemudian dipaksakan untuk diterapkan kepada seluruh unsur kehidupan menjadi hantu-hantu Enigma tak berkesudahan. Kengerian pandangan yang beku itu terus menggerayangi kehidupan kita. Sosiologi, politik, bahkan seluruh kemanusiaan difahami dalam kacamata sains dan teknologi yang serba niscaya. Sains dan teknologi seperti berambisi menjebak triliunan kemungkinan ke dalam suatu kepastian yang terpola.

Sains dan teknologi dipercayai oleh manusia-manusia sekular sebagai jalan paling ringkas menuju kesejahteraan duniawi. Meski telepon genggam dan media sosial senyatanya telah membuat hidup manusia menjadi semakin hambar dan bising, namun kepercayaan ini tetap dipegang teguh oleh mereka. Bahkan, mereka terus berambisi untuk mengekalkan kehidupan melalui teknologi. Suatu ambisi berselubung ketakutan dalam menghadapi dunia di luar benda.

Pandangan sungsang ini telah menempatkan sains dan teknologi bukan sekadar alat pembantu-tunjang hidup manusia, tetapi juga sebagai sebuah nilai. Teknologi menjadi tujuan hidup, penimbang benar dan salah, atau juga kemuliaan dan kerendahan seseorang. Seperti uang, teknologi yang asalnya merupakan sebuah alat kerap tersesat menjadi tujuan hidup manusia. Sebilah pisau ialah alat yang berguna untuk membantu manusia memotong daging atau bawang di dapur. Pisau tentu amat berguna untuk menunjang hidup manusia. Akan tetapi manusialah yang memberi nilai kegunaan pisau itu berdasarkan tujuan hidupnya, berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya.

Pisau itu sendiri tak memiliki kehendak dan kemampuan untuk memilih. Manusia dapat menggunakan pisau untuk memotong bawang di dapur, saat itulah pisau merupakan alat yang berguna menolong memudahkan hidup manusia. Namun, manusia pula dapat menggunakan pisau itu untuk menikam kawannya sendiri. Pisau sedemikian tak lagi menjadi alat yang berguna, tetapi merupakan senjata yang berbahaya. Bukan teknologi yang menentukan sesuatu menjadi baik dan buruk, tetapi manusia itu sendiri.

Pada akhirnya, kita perlu mengenal batas dan mengetahui kedudukan segala sesuatu. Manusia telah berhasil menciptakan alat-alat penembus angkasa luas, pengebor kedalaman bumi, dan penjelajah lautan dalam. Namun, alat hanyalah alat. Manusia mungkin bisa membuat tiruan kecerdasan otak dan saraf, tetapi sebuah mesin tetaplah mesin yang tak dapat berkehendak dan tak memiliki kesadaran ke’aku’an.

Hantu-hantu Enigma menyihir manusia dengan kegemilangan pencapaiannya yang serbaajaib. Seperti sihir, teknologi dapat memukau kita dengan kepalsuan. Kita terpana dengan tekno-nano tak terperkirakan dan terkagum sebagaimana orang-orang dahulu melihat tali yang menjadi ular sebagai sebuah kebenaran.

Peradaban ini telah membuat manusia dapat terbang dengan beragam mesin, melampaui kemampuan burung-burung. Teknologi pula telah mengirim manusia menyentuh rembulan. Dan, beragam perkakas telah memudahkan hidup kita. Akan tetapi, ketenangan dan tujuan hidup tak ada di sana. Bagaimanapun semua itu hanyalah benda-benda semata dan kebahagiaan tak terletak di sana.

Pada Allahlah segala sesuatu akan tetap kembali meski kaum sekular mencoba mengingkarinya.

***

Tulisan ini terinspirasi dari beberapa karya:

Risalah untuk Kaum Muslimin, khususnya perenggan ke-15 (hlm 42-46) karya Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas.

Penjelasan Budaya Ilmu (hlm 45), karya Prof. Wan Mohd. Nor Wan Daud.

Juga berdasarkan penelaahan sederhana atas film The Imitation Game, karya Morten Tyldum.