Pemberontakan Wajah Wong Ndeso
Bagikan

Pemberontakan Wajah Wong Ndeso

Tak tanggung-tanggung, kini wajah ndeso itu merindu-dendam menjadi sosok seorang presiden.

Sekian lama, wajah orang desa telah dikuyek-kuyek orang kota dalam citra terbelakang, dungu, dan merupakan bahan dasar tertawaan paling renyah. Sinetron dan film merupakan prajurit-prajurit terdepan dalam menampilkan kepandiran orang desa. Wajah-wajah ndeso yang gagap terhadap perkembangan kota ialah kelucuan nomor satu. Dialek Tegal, aksen Papua, atau nada melekuk orang Sunda tampil di muka televisi sebagai babu, tukang kredit, atau preman. Kota telah menikmati wajah-wajah daerah, muka-muka desa, sebagai citra kebodohan dan bahan komedi.

Mari bayangkan seorang Tegal dengan dialeknya yang khas melafalkan suatu kalimat yang terdiri dari beberapa kata Inggris. Kengapakan si tokoh yang lidahnya tampak berpayah menyebut kata-kata asing itu kerap jadi bahan lucu-lucuan. Atau, dalam gambaran lain, kita bisa bayangkan seorang “pandir” seperti Kabayan membungkuk-bungkuk menyeberang jalan amat lebar dengan kendaraan meraung-raung tak kenal permisi. Citra-citra gagap menghadapi perkembangan kota, udik, lugu dan bodoh ialah bahan dasar komedi kita yang menyakitkan. Di dalamnya tersimpan pandangan buruk terhadap daerah sekaligus mengukuhkan keangkuhan Jakarta. Tersimpan pula cara pandang terhadap budaya yang sentralistik, dominan, dan jelas timpang.

Demikianlah bertahun-tahun pandangan semacam ini merayap menjangkiti orang daerah, menjadi penyakit mental ketakberhargaan diri, dan perasaan rendah di hadapan kota atau pusat. Orang-orang kota bersusah payah membusungkan dada menunjukkan tingkah hidupnya yang sekular sebagai simbol kemajuan. Semakin berani meninggalkan tata krama daerah, si kota merasa semakin maju. Semakin lepas dari tata adat yang tidak efisien dan merepotkan, ia semakin modern. Tambahannya, semakin berani kurang ajar terhadap moral, si orang kota merasa semakin yakin dengan nalarnya.

Sementara, orang-orang daerah tergopoh mengejar gaya orang kota. Tingkah laku, peri wicara, gaya badan, dan seluruh propaganda sinetron di televisi diikuti tanpa perlawanan. Menjadi kota ialah tuntutan agar tak tersingkir, agar tetap merasa ada, dan berharga. Daerah telah lama disingkirkan dan tak dihargai secara layak, simbol-simbolnya tersungkur jadi bahan tertawaan dan lucu-lucuan. Pusat terlalu angkuh untuk bersikap bijak pada kearifan dan tradisi.

Agen besar dari perilaku sungsang ini ialah televisi, internet, dan pemerintah yang gagal mengurusi kebudayaan. Juga ketakhadiran nilai-nilai agama di tindak keseharian, ditambah masyarakat yang semakin gamang dengan kepribadiannya sendiri.

Maka, wajah-wajah desa dengan keudikan dan keluguannya terus siwar-siwer di televisi dinikmati sebagai hiburan. Di antara penat pertumbuhan ekonomi dan pergolakan politik, orang-orang memerlukan rehat yang sederhana. Menertawakan wajah-wajah kampung yang pontang-panting mengikuti tingkah laku kota ialah rehat murah dan tak memerlukan otak berat.

Diam-diam pandangan licik ini menumpuk dendam. Wajah-wajah kampung yang diperosokkan amat dalam di citra lugu, udik, dan pandir itu melawan. Mereka menolak ditertawakan dan menjadi objek lucu-lucuan. Daerah bangkit, meski harus susah payah, berusaha bangga pada dirinya sendiri. Kesadaran akan agungnya nilai-nilai ulayat mulai tumbuh, mengembuni kegersangan modernitas-sekular yang diangkut kota, digotong pusat.

Perlawanan ini bertemu dengan kerinduan orang-orang kota akan kepermaian. Kerinduan yang terus menumpuk, mengerak, dan mengendap di kesadaran kita sebagai bangsa. Beton-beton dan hidup yang penuh persaingan melelahkan jiwa-jiwa kita. Kita rindu pada sawah menghampar atau suara burung bercuit. Segala yang buatan telah menyergap hidup kita dan kita rindu yang alami. Kita lelah dengan besi-besi keras, beton-beton keras. Kita rindu tanah atau lumpur yang lunak. Kita capek dengan gedung-gedung menjulang dan raungan kendaraan. Kita rindu suara daun bergesekan tertiup angin. Kita bosan dengan senyum tanpa kemurnian yang diatur SOP, lalu kita merindukan sapaan hangat tanpa kepentingan di bibir orang desa. Kita muak dengan wajah penuh ambisi dan kemunafikan, lantas kita rindu pada wajah sederhana penuh kejujuran. Wajah lugu tanpa ambisi, wajah yang mengingatkan kita pada kemurnian, pada alir air yang belum tercemar di hulu kampung.

Dendam orang-orang desa mendentum, bersahutan dengan rindu orang-orang kota. Kepura-puraan yang menahun, modernitas-sekular yang mengkhianati jiwa asli bangsa kita telah mempertemukan rindu-dendam itu. Dendam karena wajah mereka telah ditertawakan dan rindu akan kemurnian bertemu di suatu titik yang sayangnya adalah perkara politik, menghasilkan perlawanan amat besar, pembalikan pandangan, dan anti-mainstream paling ekstrem dalam sejarah kenegaraan kita. Rindu-dendam itu ialah bahan bakar politik kualitet nomor satu, cap paling menjual di politik masa kini.

Tak tanggung-tanggung, kini wajah ndeso itu merindu-dendam menjadi sosok seorang presiden.