Mengurai Wajah Daerah, Menata Wajah Indonesia
Bagikan

Mengurai Wajah Daerah, Menata Wajah Indonesia

Diam-diam, banyak dari kita mulai bingung, apa perbedaan teriakan “Allahu Akbar!” dan “NKRI harga mati!”. Beberapa pemuda yang fikirannya tersesat lantas menjawab dengan penuh percaya diri: teriakan yang satu menyimbolkan kubu politik ini, teriakan yang satu lagi penanda kelompok politik itu.

Reformasi 1998 telah mengamanatkan otonomi daerah sebagai sebuah bagian dari tata berbangsa kita. Secara politik dan ekonomi, kini, wajah sentralistik bangsa kita memang mulai memudar. Kedaulatan politik daerah lebih tertampak dalam pagelaran pilkada lima tahunan. Pun geliat daerah mengelola potensi ekonominya semakin menampak. Persoalan banyak daerah yang justru semakin buruk tata pemerintahannya, semakin maruk raja-raja lokalnya, itu perkara lain. Reformasi memang hanya membagikan kesempatan yang dulu terpusat di Jakarta. Namun, gaduh 1998 itu tak serta-merta mengajar warga bangsa, khususnya di daerah, perkara moral politik atau moral ekonomi.


Lebih lagi, persoalan daerah-pusat atau daerah-nasional bukan semata-mata masalah politik ataupun sekadar bagi-bagi jatah ekonomi. Ada yang lebih dalam dari itu. Persoalan jati diri daerah yang berhubungan dengan jati diri nasional di tengah zaman yang semakin menjagat ialah salah satunya. Citra daerah dan citra nasional, dalam berbagai unsur kebudayaan, masih kita rasa kerap tak serasi dan sepadan. Menjadi orang Jawa, menjadi orang Sunda, menjadi orang Melayu, atau menjadi orang Papua seharusnya sepadan dengan menjadi orang Indonesia. Namun lagi, sudah sepadankah dan benarkah tak ada soal antara menjadi orang Indonesia dan menjadi orang suku tertentu. Lalu, kebudayaan mana yang kita anut, kebudayaan Sunda, Jawa, Melayu, atau kebudayaan Indonesia? Kebudayaan Indonesia itu seperti apa?


Belum lagi kita memiliki jati diri khas sebagai seorang beragama. Sebagai seorang Muslim, kita juga menanggung jati diri sebagai orang Indonesia dan sekaligus orang Sunda (misalnya). Apakah tiga jati diri itu benar-benar selaras dan baik-baik saja, tidak ada persoalan? Kerap kita mendengar ungkapan bahwa keindonesiaan dan Islam itu telah selesai. Persoalan itu dianggap perbincangan abad lalu. Sayangnya, kita justru kerap mendapati persoalan Islam dan keindonesiaan itu tampak tak tuntas dan justru gagap dipraktikkan oleh umat.


Berikhtiar menata dengan wajar dan pas terhadap tiga jati diri yang biasanya melekat dalam diri bangsa kita itu tentu merupakan hal penting pada zaman yang serbamenderas ini. Sebab, persoalan-persoalan abad ke-21 ini terus menekan kita, meminta jawaban dan tanggapan yang canggih memadai. Diam-diam, banyak dari kita mulai bingung, apa perbedaan teriakan “Allahu Akbar!” dan “NKRI harga mati!”. Beberapa pemuda yang fikirannya tersesat lantas menjawab dengan penuh percaya diri: teriakan yang satu menyimbolkan kubu politik ini, teriakan yang satu lagi penanda kelompok politik itu. Nah, fikiran anfal pemuda begini menunjukkan bahwa masalah jati diri kita sebagai Muslim, bangsa Indonesia, dan suku tertentu ialah sesuatu yang perlu terus disigi agar kita tak gagap menghadapi persoalan zaman.


Tentu saja, menyigi jati diri ialah sebuah perjalanan panjang. NuuN.id berikhtiar turut serta ikut menyeret langkah dalam perjalanan panjang itu dalam edisi perdana setelah lama terlelap ini. Insya Allah, edisi ini akan dimulai dari tanggal 3 Dzulqa’dah 1439/16 Juli 2018 sampai 9 Dzulqa’dah 1439/22 Juli 2018.


Perlu kami sampaikan, selain tulisan-tulisan yang besesuaian dengan tema edisi (dalam rubrik Obrolan Warung Kopi, Tafakur, dan Bincang-bincang), sidang pembaca juga dapat menikmati tulisan-tulisan berseri dalam rubrik-rubrik yang tak berkaitan dengan tema edisi. Dalam Telaah Pustaka, kami akan mencoba menampilkan kajian rutin dari sebuah buku. Pada rubrik Khazanah, ada dua subrubrik: Tokoh dan Kenusantaraan. Melalui Khazanah, kami bermaksud menghadirkan kembali (makna) Islam yang telah lama hadir di Tanah Air kita ini. Agar jati diri kita sebagai Muslim, sebagai Indonesia, dan sebagai bagian dari suku tertentu tak goyah dipukul angin ribut perkembangan zaman. Ada juga rubrik Buku yang akan menampilkan resensi sumber pustaka yang baik digunakan untuk meneroka Indonesia. Sementara, Ulasan Peristiwa kami hadirkan agar wacana yang kami ikhtiarkan tidak terlalu lepas dan membumbung jauh dari kenyataan kita hari ini.


Pada akhirnya, kami dari redaksi NuuN.id mengharap sajian-sajian kami dapat menjadi peneman pembaca sekalian dalam menempuh keseharian. Siapa tahu ada manfaat yang dapat sama-sama kita reguk dan nikmati.


Mari kita renungkan kemusliman, keindonesiaan, dan kedaerahan kita lebih dalam.