Kaum Urban yang tak Ingat Jalan Pulang
Bagikan

Kaum Urban yang tak Ingat Jalan Pulang

Kita bingung tentang tempat dan makna asal-usul, budaya juga adat istiadat. Kita mengunyah-ngunyah modernitas dengan sukacita sambil memuntahkan tradisi karena dianggap percuma.

Gaya hidup urban itu bebas, terbuka, dan perorangan. Dengan gawai di genggaman, jangankan kampung halaman, kaum urban mampu menjelajah perkembangan tren di setiap gang dunia. Di mana pun kaum urban berada, mereka punya kemampuan untuk terus bergerak sambil menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan. Bahkan kini, bergaya necis menuju kantor atau duduk berjam-jam di dalam kubikel tidak lagi menjadi tuntutan. Kalau tak lagi beda tinggal di desa atau kota, untuk apa repot-repot pulang mencari kampung halaman?

“Orang mana, Dek?” tanya seorang ibu paruh baya dengan amat ramahnya.

“Uuuunnngg…,” kata yang ditanya berfikir keras, ia membuka earphone yang sejak tadi terpasang.

“Jakarta, Bu,” lanjutnya sambil menatap ibu itu, berusaha sopan.

“Oh, Betawi, tho?” Sambut ibu tadi dengan agak medok.

“Uuunngg…  bukan, Bu, saya lahir dan besar di Jakarta,” jawabnya sambil kembali membuka gawai, mengira percakapan sudah usai.

“Oh, memang asalnya dari mana?” Lanjut  ibu tadi tak menyerah.

Yang ditanya mengeluarkan cengiran tak keruan, berfikir untuk tidak menjawab saja, “Bapak saya orang Jawa, tapi lahir di Pekanbaru. Ibu saya orang Cianjur.”

“Wah, wong Jowo?” Simpul ibu itu mengambil garis patrilineal.

“Tapi, saya tidak bisa bahasa Jawa, Bu,” sambar yang ditanya karena khawatir diajak bicara bahasa Jawa.

Orang Indonesia ini memang dikenal ramah dan senang senyum lagi menyapa. Dalam perjalanan panjang di angkutan umum atau ruang tunggu keberangkatan, sapaan ringan bisa berubah menjadi obrolan menarik bahkan mendekatkan. Tak jarang dari kalimat pembuka obrolan sesederhana “dari mana?” banyak kisah bisa terungkap.

Namun, pertanyaan sederhana itu rupanya tak selalu mudah untuk dijawab beberapa kalangan. Dalam benak beberapa orang, “dari mana” itu bisa bermakna, sebelum tiba di sini dari mana atau asal usulnya. Pertanyaan pertama mudah sekali untuk dijawab, tetapi tidak semua orang punya jawaban yang pasti untuk pertanyaan kedua. Apalagi, generasi yang lahir dan besar di kota-kota besar di Indonesia.

Misalnya, seseorang lahir dan besar di Jakarta hingga dewasa, berayahkan keturunan Jawa yang lahir dan besar di Riau, tak pernah mengajarkan anak-anaknya berbahasa Jawa, juga beribukan kelahiran Cianjur yang tak lagi sepenuhnya hidup dalam adat istiadat Sunda. Situasi budaya macam ini tentu membuat seseorang tak hanya bingung soal kampung halaman, tetapi bisa juga sampai kehilangan adat kebiasaan dan jati dirinya. Bahasa dan tradisi orang tua juga kakek-neneknya tak dikenali, bahkan tak dibutuhkan lagi.   

Jawaban ‘orang Jakarta’ atau ‘orang Surabaya’, bahkan ‘orang Indonesia’ adalah jawaban paling mudah, tapi sekaligus susah untuk ditelusuri artinya. Apa karena lahir dan besar di kota tertentu, seseorang menjadi bagian dari budaya kota itu seutuhnya? Kota besar macam Jakarta atau Surabaya tidak mempunyai adat resam khusus yang mencirikan manusianya, belum lagi Indonesia yang demikian luas dan kaya budaya. Kebudayaan Jakarta atau Surabaya adalah kebudayaan modern-kota yang dibentuk industri, menyusup ke sumsum kaum urban-milenial menjadi konsumerisme.

Di kota, lembaga pendidikan bergeser menjadi biro jasa pelayanan jual beli ilmu. Guru adalah penyedia jasa, murid adalah konsumen yang harus memperoleh pelayanan prima. Lalu infrastruktur sebagai penunjang kemudahan hidup malah tumbuh tak terkendali bak jamur di musim hujan. Bangunan-bangunan pinggir jalan menjadi deretan toko, pusat penjualan, restoran, rumah makan, dan biro jasa, dengan trotoar sebagai tempat parkirnya. Ruang terbuka menjadi lahan spanduk iklan komersial, dari tiang listrik ke tiang listrik, tembok-tembok, hingga papan dan televisi besar yang khusus di jalan arteri.

Bagi masyarakat urban, kehidupan beragama pun tak lepas dari konsep pasar. Tradisi agama dalam Islam bulan Ramadhan, misalnya, telah dieksploitasi sedemikan rupa menjadi pasar hiburan. Sahur dan berbuka bertemankan acara bertabur artis kenamaan dan kuis berhadiah. Berbagai rumah makan full-booked untuk bukber sekalian reuni sampai akhir Ramadhan. Pelaksanaan hari raya bak pesta pora dengan segala macam atribut dan aksesori yang ditaruh pada etalase paling depan swalayan. Konsumerisme dengan segala kebutuhan palsunya menjadi pemenuhan syarat keberadaan diri manusia urban, manusia kota besar.

Bagaimana dengan kampung halaman dan adat istiadat di tempat kelahiran orang tua? Itu mah tempat rekreasi melepas penat dan sesak tuntutan kota yang tak berkesudahan tadi. Dan demi itu, permainya biru laut dan hijau gunung serta bebukitan di kampung halaman perlahan digerus serupa kota.

Sementara itu, orang tua-orang tua yang wajahnya lelah tengah menunggu kepulangan anak-cucunya, juga bersiap menutup usia. Tanpa mengambil warisan apa-apa dari mereka, kita berteriak lantang mencintai negeri, memakai batik dengan genit dan obral aurat, memajang bangga patung-patung etnik di depan kantor pemerintah dan gedung bertingkat, juga menyindir pedas kaum yang kita kira tak mencintai negeri tapi masih menggunakan fasilitas dan infrastruktur dari negara.

Kita bingung tentang tempat dan makna asal-usul, budaya juga adat istiadat. Kita mengunyah-ngunyah modernitas dengan sukacita sambil memuntahkan tradisi karena dianggap percuma. Kala kebutuhan belanja memburu, tradisi yang sudah berceceran itu diambil lagi, dibungkus dengan plastik paling cantik, lalu dipamerkan dengan gaya pop paling trendi: Damn, wonderful Indonesia!