Menyayangi Binatang, Menjadi Manusia, Mendekati Tuhan
Bagikan

Menyayangi Binatang, Menjadi Manusia, Mendekati Tuhan

Dalam kisah-kisah fiksi, yang sebagian besar dapat kita jumpai dalam bentuk animasi, hewan-hewan ini digambarkan memiliki sifat-sifat yang begitu lekat dengan manusia. Mereka bisa tertawa, menangis, sedih, marah, kecewa, jatuh cinta, hingga patah hati.

Awal tahun 2016 lalu, dunia sempat dihebohkan oleh insiden penembakan seekor gorila bernama Harambe. Harambe terpaksa dibunuh karena seorang anak kecil yang lepas dari pengawasan orang tuanya terjatuh ke kandang primata terbesar di dunia itu. Dalam rekaman video, gorila dewasa berusia 17 tahun dan berbobot sekitar 200 kg itu terlihat menyeret sang bocah lelaki dan menunjukkan perilaku yang bisa membahayakan si bocah. Penjaga Kebun Binatang dan Taman Botani Cincinnati, Amerika Serikat, pun terpaksa menembak Harambe.

Banyak orang menyesalkan peristiwa itu dan melancarkan kritikan keras kepada orang tua yang tidak bisa menjaga anaknya dengan baik sehingga kehidupan Harambe harus berakhir dengan tragis. Harambe si gorila telah menjadi martir demi menyelamatkan anak manusia, yang sejak zaman Adam dan Hawa selalu penuh dengan dosa. Nama Harambe dikenang dalam waktu yang cukup lama, bahkan dijadikan ikon pengorbanan di kalangan netizen.

Masih di tahun 2016, seekor lobster berusia kira-kira 110 tahun diselamatkan dari tangan manusia yang akan menjadikannya menu makanan. Lobster yang diberi nama Larry itu dibeli seharga US$ 300 oleh pengusaha real estat setempat. Rencananya, Larry akan dibawa ke pusat penelitian biota laut untuk diteliti. Ia akan menghabiskan masa hidupnya di sana atau dikembalikan ke habitatnya. Sayangnya, hewan laut yang telah mengalami berbagai peristiwa sejarah itu, mulai dari tenggelamnya kapal Titanic hingga Perang Dunia II, dikabarkan mati dalam proses pengiriman dari restoran ke pusat penelitian.

Dari dunia animasi, kita semua tentu tahu karakter ciptaan Walt Disney seperti Mickey Mouse, si tikus bercelana tapi tak berbaju, yang cerdas dan mampu memecahkan kasus-kasus layaknya Sherlock Holmes. Atau Donal Bebek, si bebek berbaju tapi tak bercelana, yang suka marah-marah tapi bisa jatuh cinta. Mickey, Minnie, Donal, Daisy, dan Goofy hidup dengan tenteram bersama anjing peliharaan Mickey, Pluto.

Para penggemar animasi lainnya tentu juga masih ingat dengan kisah mengharukan seekor ikan badut kecil bernama Nemo dari Finding Nemo. Nemo adalah ikan yang malang. Sejak masih berbentuk telur, ia telah kehilangan ibu dan saudara-saudaranya yang dimakan oleh ikan barakuda. Peristiwa itu membuat Nemo hadir ke dunia dengan sirip yang tidak sempurna hingga tidak bisa berenang sebebas ikan yang lainnya.

Pada suatu hari, Nemo terpisah dari bapaknya dan jatuh ke tangan manusia jahat, yang kemudian mengungkungnya ke dalam kehidupan sempit bernama akuarium. Sang bapak, yang bernama Marlin, akhirnya memulai perjalanan panjang untuk menemukan anak semata wayangnya. Di perjalanan, ia bertemu seekor ikan dari jenis Paracanthurus hepatus berwarna biru cerah bernama Dory, yang menderita penyakit kehilangan memori jarak pendek.

Kisah-kisah dari dunia binatang di atas mungkin begitu dekat dengan kehidupan kita. Dalam kisah-kisah fiksi, yang sebagian besar dapat kita jumpai dalam bentuk animasi, hewan-hewan ini digambarkan memiliki sifat-sifat yang begitu lekat dengan manusia. Mereka bisa tertawa, menangis, sedih, marah, kecewa, jatuh cinta, hingga patah hati.

Sifat-sifat manusia yang dilekatkan kepada hewan-hewan ini membuat kita berpikir bahwa mereka juga bisa merasa dan berpikir seperti kita. Kita menjadi gagal menemukan makna dari keberadaan hewan-hewan ini karena menggunakan cara pandang dan perasaan kita dalam melihat mereka.

Kita sudah tahu, hewan juga memiliki emosi yang membuatnya bisa merasa tenang, takut, atau marah. Namun, kita tidak dapat memastikan apakah rasa takut yang mereka rasakan sama dengan kita. Kita hanya bisa menilai dari perilaku yang mereka tunjukkan. Dari sana kemudian kita membuat kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan itu boleh jadi benar, tapi bukan tak mungkin salah. Kita tidak pernah bisa menjadi hewan untuk benar-benar memahami isi kepala dan hati mereka. Kita juga tidak bisa mewawancarai atau meminta mereka mengisi kuisioner.

Allah menciptakan makhluk-makhluk-Nya bukan tanpa tujuan. Manusia dengan kelebihan akalnya diberi tugas untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Tumbuhan ada agar manusia bisa membuat rumah untuk berteduh, menjadi bahan makanan, menjadi bahan pakaian, dan lain sebagainya. Sama seperti tumbuhan, Allah juga menciptakan hewan dengan fungsinya sendiri. Mereka bisa dijadikan bahan makanan, alat transportasi, juga penjaga kebun dan rumah. Allah juga menjadikan hewan-hewan sebagai nama-nama surat di dalam Al Qur’an agar kita dapat mengambil hikmah darinya.

Jika kita menganggap hewan adalah sahabat setia yang tidak akan pernah berdusta, maka bisa jadi kita telah salah menempatkan hewan pada tempat yang tidak seharusnya. Hewan memang tidak akan berdusta karena mereka tidak bisa berkata-kata. Pada titik yang ekstrem, seseorang kadang merasa tidak perlu berhubungan dengan manusia sebab hewan lebih setia dan tak merepotkan. Bahkan ada yang menganggap hewan tidak boleh dibunuh dan dijadikan makanan. Hewan seringkali ditempatkan lebih tinggi dari manusia. Padahal apabila kita berhenti memberi makan dan perhatian kepada peliharaan kita mungkin mereka pun akan berpaling dari kita.

Industrialisasi hewan telah membuat hewan-hewan diperlakukan dengan buruk. Induk-induk sapi dipaksa untuk terus hamil dan melahirkan agar terus memproduksi susu. Anak-anak sapi dipisahkan dari induknya agar susu sang induk yang berharga tidak dikonsumsi oleh mereka, tapi untuk diolah dan dijual hingga dapat diminum anak-anak manusia. Mereka ditempatkan di tempat yang sempit sehingga ruang gerak mereka terbatas dan tak memiliki kebebasan.

Teknik penyembelihan hewan yang tidak manusiawi semakin memperparah luka ini. Hewan-hewan itu dikumpulkan di dalam satu tempat sempit, lalu tempat itu dialiri dengan karbon dioksida hingga mereka mati lemas. Di tempat lain, hewan-hewan ini disetrum, dipukuli sampai tulang tengkoraknya retak, atau digantung terbalik sebelum dipotong. Hewan-hewan ini hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, bukan sebagai makhluk Tuhan yang hidup bersama dengan kita di dunia.

Perlakuan-perlakuan yang kejam itu menimbulkan luka yang dalam di hati anak manusia, khususnya mereka yang tinggal bersama hewan-hewan tersebut. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana hewan ini diperlakukan dengan kejam.  Akibatnya, ada di antara mereka yang memutuskan untuk tidak akan pernah lagi memakan daging seumur hidupnya.

Sebagai Muslim, kita seharusnya tidak mengalami luka semacam itu. Kita telah diberikan petunjuk yang jelas tentang cara menyembelih hewan yang akan kita makan. Jika dilaksanakan sesuai dengan petunjuk yang telah Allah tetapkan, maka hewan-hewan yang disembelih itu akan pasrah dengan takdir mereka. Hewan-hewan itu telah menjalani makna penciptaannya.

Selain itu, Muslim yang baik tidak akan pernah menyakiti makhluk Allah yang lain, apalagi dengan sengaja. Sebab, berbuat baik kepada hewan sama pentingnya dengan berbuat baik kepada sesama manusia. Dengan memahami dan merenungi baik-baik makna di balik penciptaan makhluk-makhluk Allah, kita akan bisa menempatkan hewan sesuai dengan fungsinya, yang jelas tidak sama dengan tumbuhan, apalagi dengan manusia.