Ketika Tuhan Disingkirkan
Bagikan

Ketika Tuhan Disingkirkan

Ide tentang Tuhan dianggap mengganggu manusia. Maka, para pemuja kebebasan berkomitmen: singkirkan Tuhan agar kebebasan kita tak terganggu, agar kita sepuas-puasnya melampiaskan hawa nafsu. Padahal, al-Qur’an justru menjelaskan: “Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang!” (QS 13:28).

Peradaban Barat, menurut sejarawan Marvin Perry, ialah sebuah peradaban besar sekaligus sebuah drama yang tragis (a tragic drama). Peradaban ini penuh kontradiksi. Pada satu sisi ia memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan kemudahan, serta penyediaan fasilitas hidup. Namun pada sisi lain, peradaban ini juga memberikan kontribusi besar terhadap kerusakan alam semesta (Marvin Perry, Western Civilization a Brief History, 1997).

Pada zaman modern ini pula, manusia telah membelanjakan secara gila-gilaan alat-alat pembunuh massal. Sekadar contoh, Jeremy Issacs dan Taylor Downing, dalam bukunya, Cold War, memaparkan, antara 1945-1996, sekitar 8 triliun USD ($ 8.000.000.000.000) biaya telah dikeluarkan untuk persenjataan di seluruh dunia. Puncaknya, persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Padahal, seluruh bom yang diledakkan pada perang dunia II ‘hanya’ enam megaton.

Dunia kedokteran modern mengenal praktik vivisection (secara harfiah berarti memotong hidup-hidup), yaitu cara menyiksa hewan hidup sebagai dorongan bisnis untuk menguji obat-obatan agar dapat mengurangi daftar panjang segala jenis penyakit manusia (Pietro Croce, Vivisection or Science: An Investigation into Testing Drugs and Safeguarding Health, 1999). Praktik ini, selain tidak beretika keilmuan dan “tidak berperikemanusiaan”, juga menyisakan pertanyaan intrinsik tentang asumsi atas tingkat kesamaan uji laboratorium hewan dan manusia yang mengesahkan eksplorasi hasil klinis dari satu ke lainnya.

Dalam dunia pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia, seperti pestisida, herbisida, pupuk nitrogen sintetis, dan lainnya telah meracuni bumi, membunuh kehidupan margasatwa, bahkan meracuni hasil panen dan mengganggu kesehatan para petani. Pertanian yang sebelumnya dikenal dengan sebutan agrikultura (kultur: suatu cara hidup saling menghargai, timbal balik komunal, dan kooperatif, bukan kompetitif) kini berkembang dengan istilah agribisnis, sebuah sistem yang memaksakan tirani korporat untuk memaksimalkan keuntungan dan menekan biaya, menjadikan petani/penduduk lokal yang dahulu punya harga diri dan mandiri lalu berubah menjadi buruh upahan di tanah mereka sendiri (Adi Setia, Three Meanings of Islamization Science Toward Operationalizing Islamization of Knowledge, 2007).

Ketika wahyu disingkirkan maka aqal dituhankan. Rasionalisme menjadi pedoman. Gagasan rasionalisasi dapat ditelusuri dari seorang bernama Rene Descartes (w. 1650). Ia digelar sebagai bapak filsafat modern. Dialah orangnya yang memformulasikan sebuah prinsip: cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Descartes tidak saja mengukur suatu kebenaran dengan rasio tapi juga mengakui eksistensi seseorang hanya bagi mereka yang menggunakan rasio sebagai asas tingkah lakunya.

Pendapat Descartes bahwa sumber ilmu adalah rasio dan pancaindra diikuti oleh para filosof lain, seperti Thomas Hobbes, Benedict Spinoza, John Locke, JJ Rousseau, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Bertrand Russel, Emilio Betti, Gadamer, Jurgen Habermas, dan lain-lain. Selanjutnya, pendapat ini melahirkan pembaratan (westernisasi) yang menekankan dasar ilmu pengetahuan adalah rasio dan pancaindra.

Pendapat ini makin membuat peran aqal menguat sehingga menafikan peran wahyu dan melahirkan ide-ide ateis. Immanuel Kant menyatakan bahwa segala hal yang berbau metafisika tidak mungkin mencapai kebenaran karena tidak disandarkan kepada pancaindra. Menurut Kant, di dalam metafisika tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetik-a priori seperti yang ada dalam matematika, fisika, dan ilmu-ilmu yang berasas fakta empiris (Justus Harnack, Kant’s Theory of  Knowledge, 1968, hlm. 142-145).

Ide Kant ini berpengaruh pada filosof lain, di antaranya, Hegel yang melahirkan filsafat dialektika, tesis-antitesis. Intinya, pengetahuan itu selalu berproses. Tahap yang sudah dicapai lalu disangkal atau didebat untuk melahirkan tahap baru. Sebuah tesis dibuat antitesisnya untuk melahirkan sintesis. Jika yang menyangkal (antitesis) kalah kuat dengan yang disangkal (tesis) maka tesis tersebut tetap dipertahankan dan menjadi sintesis. Ide ini kemudian melahirkan paham ateisme yang diusung oleh Ludwig Feurbach (1804-1872) dan Karl Marx (w. 1883). Marx berpendapat bahwa agama adalah candu. Agama adalah faktor sekunder, faktor primernya adalah ekonomi (Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2001, hlm. 71-76).

Selain Karl Marx, ilmuwan barat yang berpengaruh luas dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Charles Robert Darwin (w. 1882). Ia menulis sebuah buku yang berjudul The Origin of Species yang menyatakan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Makhluk hidup dapat hidup dan bertahan karena faktor adaptasi pada lingkungan. Menurutnya, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dengan yang lain disebabkan karena kondisi-kondisi alam (natural condition) (Charles Darwin, The Origin of Species, 1985, hlm. 437).

Lalu, berbagai disiplin ilmu lain yang ateistik juga bermunculan. Bidang psikologi digemakan oleh Sigmund Freud dengan teori psikoanalisisnya. Lucunya, psikologi modern justru menjauhkan ilmu itu dari objek kajian utamanya, yaitu “jiwa” manusia itu sendiri. Dalam bidang sosiologi, positivisme August Comte berhasil menggusur peran agama. Di bidang politik, Machiavelli menggulirkan politik tanpa moral. Bahwa politik adalah sekadar mekanisme untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Di lapangan filsafat, ada Friedrich Nietzche (1884-1990) dengan semboyannya, “God is dead”.

Dalam bukunya, A History of God (1993), Karen Armstrong menulis sebuah bab berjudul “Does God Have a Future ?”

Di Barat, gugatan terhadap eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan terus dikumandangkan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) bertahan dengan pendapatnya, “Even if God existed, it was still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom”.

Jadi, ide tentang Tuhan dianggap mengganggu manusia. Maka, para pemuja kebebasan berkomitmen: singkirkan Tuhan agar kebebasan kita tak terganggu, agar kita sepuas-puasnya melampiaskan hawa nafsu. Padahal, al-Qur’an justru menjelaskan: “Ingatlah dengan mengingat Allah hati menjadi tenang!” (QS 13:28).