Teknologi sebagai Sebuah Mitos
Bagikan

Teknologi sebagai Sebuah Mitos

Meski menampilkan sisi yang amat rasional, modernisme-sekular juga menciptakan mitos-mitosnya sendiri. Di antaranya, tentang teknologi. Kamus Besar Bahasa Indonesia menghadirkan suatu kata kerja turunan dari kata ‘mitos’, yaitu ‘memitoskan’ yang diartikan: mengeramatkan, mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang pahlawan, benda, dan sebagainya; menjadikan mitos; mendewakan. Perilaku orang modern terhadap teknologi nyaris persis dengan arti memitoskan yang termuat di kamus kebanggaan kita itu.

Keyakinan sekular amat membenci kepercayaan terhadap hal-hal tak masuk akal, hal-hal gaib, dan mitos-mitos. Sekularisasi ialah pembebasan manusia dari kungkungan agama dan kemudian kungkungan metafisika yang mengatur akal dan bahasanya. Termasuk pembebasan manusia dari mitos-mitos.

Mitos ialah penjelasan berbagai kejadian alam yang dikaitkan dengan keberadaan dewa-dewa atau kisah asal-usul sebuah tempat tanpa suatu penjelasan logis. Penafsiran atas sebuah pohon yang memiliki penunggu atau sebuah rumah sakit yang dihuni makhluk-makhluk tak kasat mata juga kerap disebut mitos. Secara umum, istilah ini merujuk pada segala penjelasan mengenai kejadian-kejadian aktual yang ditautkan dengan kepercayaan terhadap kekuatan nonbendawi. Penautan tersebut biasanya melompat jauh, tak kausal, tak logis, dan mengandung semacam khayalan. 

Meski menampilkan sisi yang amat rasional, modernisme-sekular juga menciptakan mitos-mitosnya sendiri. Di antaranya, tentang teknologi. Kamus Besar Bahasa Indonesia menghadirkan suatu kata kerja turunan dari kata ‘mitos’, yaitu ‘memitoskan’ yang diartikan: mengeramatkan, mengagungkan secara berlebih-lebihan tentang pahlawan, benda, dan sebagainya; menjadikan mitos; mendewakan. Perilaku orang modern terhadap teknologi nyaris persis dengan arti memitoskan yang termuat di kamus kebanggaan kita itu.

Segala perilaku umum manusia modern terhadap teknologi ialah suatu tindak pemitosan, pengagungan secara berlebih-lebihan, dan pendewaan yang amat sangat sehingga menghasilkan ketergantungan terhadapnya. Orang modern percaya, teknologi dapat membuat hidup lebih mudah dan pada akhirnya mampu menyejahterakan manusia. Orang modern percaya, teknologi ialah jalan keluar dari persoalan-persoalan hidup manusia yang ruwet. Dan, orang modern percaya bahwa teknologi amat agungnya sebagai hasil capaian kemanusiaan yang membahagiakan. Semua hanya kepercayaan belaka dan kenyataan tidak selalu seperti itu.

Kepercayaan-kepercayaan orang modern terhadap teknologi memang tak serupa dengan kepercayaan manusia praindustri terhadap kekuatan dewa di sebalik banjir. Akan tetapi, prosedur ‘mempercayai’ (baik pada teknologi maupun pada kekuatan dewa) ialah serupa meski modusnya tak selalu identik. Manusia modern ‘berlari’ dari bahaya banjir dengan mendirikan bendungan sementara manusia praindustri ‘berlari’ dari banjir dengan membuat sesajen persembahan. Ikhtiar kedua manusia ini untuk menghindari banjir sama-sama mungkin: mungkin berhasil, mungkin gagal. Keduanya juga sama-sama melihat kepercayaannya mengandung kemutlakan meski narasi-narasi kemutlakan itu berasal dari cara pandang yang berbeda atau bahkan bertentangan.

Dan, cara pandang berbeda cum bertentangan itu bertemu di Indonesia, di setumpuk sesajen yang dipersembahkan untuk memperlancar pembangunan sebuah bendungan. Bangsa Indonesia patut berbangga karena kita ialah bangsa yang membuat teori perkembangan August Comte (Mistis-Metafisis-Positif) menjadi tampak gamang dan meragukan. Ketiga tingkah manusia dalam sejarah itu tidak hadir secara berurutan di negeri ini, tetapi secara sekaligus. Kita ialah bangsa rasional-mistis-simbolik yang sering mengaku religius (meski tak taat-taat amat), yang gemar menonton film hantu dengan teknologi kamera paling canggih. Suatu kompleks yang pasti luput dari perhatian Comte dan karenanya kita memiliki Soekarno, Habibie, juga Nyi Roro Kidul. Kekayaan bangsa yang sepertinya tidak dimiliki orang-orang Prancis. 

Persoalan manusia dan teknologi sebenarnya bukan persoalan baru. Seperti manusia yang merasa kecil di hadapan alam (banjir, gunung, hutan), manusia modern sekular pun kerap merasa tak berarti di hadapan teknologi yang diciptakan peradabannya sendiri. Alam dan teknologi sama-sama bisa menenggelamkan kedirian seorang manusia.

Manusia praindustri terkungkung kebesaran alam dan ia merasa lemah di hadapannya. Dengan kelemahannya itu ia mereka-reka asal-usul alam, mereka-reka bagaimana hujan dan petir terjadi, dan menerka mengapa ayam berkokok pada Subuh hari. Semua rekaan dan terkaan itu ia yakini sebagai kebenaran dan ia terasing dari alam itu sendiri.

Manusia sekular modern pun bersikap sama di hadapan teknologi. Ia merasa kecil di hadapan raksasa perkembangan, merasa tak mampu menebak arah dan kemudian tergantung pada teknologi itu. Orang-orang modern takut bila harus hidup tanpa listrik, suatu ketakutan yang menguntungkan PLN. Ia merasa kehilangan setengah kediriannya ketika tak bersama telepon genggam. Juga merasa tak berarti bila tak mengunggah foto terbaru di media sosial. Manusia sekular-modern ialah manusia yang semakin ragu (atau malas) dengan kemampuan aqal menghitung secara cepat karena dunia telah memiliki kalkulator. Seperti nenek moyang manusia dahulu yang takut kehilangan para dewa, manusia zaman ini pun takut hidup tanpa internet.  

Pada suatu kenyataan, manusia memang sering tak berdaya di hadapan alam ataupun teknologi. Manusia kerap merasakan sesuatu yang misterius dari segala hal yang berada di luar dirinya. Oleh karenanya, ia mencoba untuk menaklukkan yang di luar dirinya itu, mencoba untuk mengetahui dan menguasainya. Manusia selalu mencoba menguasai bahkan menaklukkan alam ataupun teknologi. Namun, yang terjadi kerap kerusakan. Keyakinan bahwa alam tidak memiliki kekuatan apa pun telah menghasilkan eksploitasi dan kerusakan tak terkira.

Sementara, teknologi makin mencengkeram hari-hari kita. Mesin-mesin pintar telah mulai menguasai hidup manusia, kita diatur benda-benda mati itu. Kebergantungan yang sangat terhadap teknologi menjadi suatu yang mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Padahal, manusia dapat hidup tanpa teknologi meski agak ribet. Kita bisa pergi ke hutan, berlari ke pantai, dan memecahkan gelas lantas mulai membuat kapak persegi. Berburu dan kembali meramu tanpa harus mengunggah semua itu di media sosial. Sepi. Ketergantungan manusia terhadap teknologi ialah semacam mitos yang terlalu diyakini sebagai kebenaran mutlak.

Seperti mitos-mitos tentang alam, mitos-mitos teknologi pun telah mengungkung kesadaran manusia. Dan, kita tidak perlu memecahkan gelas atau berlari ke pantai untuk keluar dari kungkungan itu. Kita hanya perlu percaya pada Almarhum KH Zainudin MZ yang menyatakan bahwa: “Kuncinya adalah takwa”. Kalimat ini bukan mitos melainkan sebuah kebenaran. Manusia yang meyakini kebenaran wahyu tidak akan kehilangan kedaulatannya, baik di hadapan alam maupun teknologi. Ia bisa hidup bersama kompor gas, kalkulator, ataupun banjir. Ia tahu dari mana asalnya, untuk apa ia ada di dunia, dan akan ke mana ia setelah mati. Oleh karena itu, ia tahu bagaimana cara menempatkan dan menghadapi kompor gas, kalkulator, banjir, bahkan simulacra paling rumit sekalipun.

Perkembangan teknologi serumit apa pun tetaplah tak dapat merampas kedaulatan manusia yang mampu menyadari dirinya sendiri, manusia yang mampu menyadari kegandaannya sebagai hamba Allah sekaligus pemimpin di muka bumi. Manusia semacam ini seharusnya tidak khawatir jika listrik mati atau Facebook diblokir Kemkominfo. Sebab, listrik dan Facebook adalah fana, yang baka hanyalah Dia.

Maka, peran agama pada masa kini ialah pembebas manusia dari kungkungan mitos-mitos dan sekaligus kungkungan faham sekular yang melingkupi fikiran dan bahasanya.

Mari mengurai persoalan ini selama sepekan ke depan bersama NuuN.id.