Sepuluh Perempuan Tentang Keadilan Bagi Laki-Laki
Bagikan

Sepuluh Perempuan Tentang Keadilan Bagi Laki-Laki

Laki-laki harus menanggung citra kuat dan macho, tidak boleh cengeng atau menangis, juga harus bisa berantem

Beberapa bulan lalu, redaksi NuuN.id melakukan survei kecil-kecilan ala kadarnya ke beberapa orang perempuan dengan beragam latar belakang. Tapi, karena ini survei kecil-kecilan ala kadarnya saja, jangan bayangkan teknik risetnya bisa memberi batas yang jelas atas data. Penyelidikannya masih sederhana dengan tanya jawab yang mengandalkan kemajuan teknologi. Meskipun begitu, survei ini mencoba mengungkap pandangan dan perasaan para perempuan mengenai keadilan bagi laki-laki. Siapa tahu saja survei ini bisa memperlihatkan hal-hal yang selama ini disalahkirai. Kalau tidak pun tidak apa, namanya juga usaha. 

Dari 10 orang responden yang berhasil kami tanya-tanyai, tujuh orang sudah menikah dan menjadi ibu sementara tiga lainnya masih lajang. Mereka tinggal di beberapa kota di Indonesia, ada yang di Jakarta, Depok, Bandung, Tangerang Selatan, Bogor, Surakarta, hingga Batam. Mereka pun berasal dari berbagai suku, ada Jawa, Sunda, Batak, Minang, dan campuran. Kami pun tak hanya melakukan survei pada Muslimah, ada dua orang kawan Protestan kita yang bersedia diwawancarai. Rentang usia mereka dari 27 tahun hingga 44 tahun. Selain menjadi ibu rumah tangga, sebagian dari mereka berwiraswasta, menjadi guru, terapis anak berkebutuhan khusus, pustakawan sekolah, hingga manajer di suatu pusat kajian perempuan dan anak.

Pertanyaan pertama yang kami ajukan adalah mengenai keberadaan Komnas Perlindungan Perempuan di Indonesia. Saat ditanya, apakah hal ini adil bagi laki-laki, mengingat laki-laki tidak mempunyai komnas perlindungan yang sama. Jawaban para responden terbagi dua, adil dan tidak adil. Yang mengatakan tidak adil menganggap laki-laki juga memerlukannya. Seorang ibu dengan tiga anak yang tinggal di Bogor mengatakan dengan lugas, “Hari gini banyak banget perempuan gajinya lebih tinggi dan nggak jarang jadi sok, galak mulut, galak fisik, juga galak ego. Dan, kesok-sokannya ini dia nggak cuma melalaikan satu sampai dua hak doang. Lelaki penyabar yang mendampinginya gue rasa butuh konseling ke komnas perlindungan laki.” Dengan agak bercanda seorang gadis asal Bojonegoro menuturkan, “Nggak adil, musti ada tandingannya sekalian dong kalau mau dibilang harus setara.”

Sementara, bagi yang mengatakan adil, lembaga ini hadir demi melindungi para perempuan yang banyak menjadi korban kekerasan laki-laki. “Masalahnya bukan adil atau tidak bagi lelaki, tetapi sampai kapan perempuan terus jadi korban?” Ujar ibu satu putra asal Sragen. Opini yang sama juga disampaikan oleh seorang ibu satu putri yang menjadi manajer di pusat kajian perempuan dan anak sambil meluruskan nama lembaga dimaksud, “Pertama, nama lembaganya adalah Komnas Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Kedua, ini adil karena memang banyak literatur yang bisa memperkuat data bahwa perempuan jauh lebih rentan menerima perlakuan kekerasan.” 

Meski ada perbedaan pandangan, seluruh perempuan ini pada dasarnya setuju agar komnas ini semestinya tidak ada. “Aku rasa lebih baik memang komnas perlindungan perempuan tidak ada karena itu artinya tidak ada masalah dengan perempuan dan tidak ada perempuan yang perlu dilindungi,” lanjut ibu satu putra asal Sragen. “Kayaknya kalau semua laki-laki bersikap bijaksana dan bertanggung jawab, seimbang kewajiban dan haknya, termasuk kewajiban melindungi kaum hawa, komnas perlindungan perempuan mungkin tak perlu ada,” tutur ibu dua putra yang baru beberapa bulan tinggal di Bandung.  

Seorang ibu muda asal Minang beropini, “Seharusnya keberadaan komnas perempuan ini nggak jadi soal. Toh ada atau tidak ada komnas ini, laki-laki dan perempuan tetap harus saling menjaga hak dan kewajiban masing-masing.” 

Pada dasarnya, kekerasan itu tidak mengenal gender. Secara umum, baik laki-laki maupun perempuan pernah mengalami atau melakukan kekerasan. Kami pun menanyakan pendapat mereka mengenai kekerasan yang dialami laki-laki secara ekonomi, sosial, atau pendidikan. Menariknya, sembilan dari 10 responden yang kami tanya mengatakan bahwa laki-laki mengalami kekerasan juga. Hanya saja, ibu seorang putri dari Solo mengatakan, “Saya nggak melihat laki-laki mengalami kekerasan. Saya tidak setuju siapa pun melakukan kekerasan dan menjadi korban kekerasan.”

Responden lainnya boleh dikatakan sepakat, kekerasan yang dialami laki-laki biasanya berkaitan dengan gaji, pekerjaan, dan karier. Selain sindiran, para lelaki juga tidak dihargai jika tidak bekerja kantoran, bergaji kecil, atau mengalami stagnansi karier. Yang lumayan menyedihkan, para perempuan ini melihat perlakuan itu sering kali datang dari keluarga sendiri. Dua orang responden menyebut tuntutan macam ini bisa membuat laki-laki melanggar aturan atau menghalalkan segala cara agar dapat memenuhinya.

Selain itu, laki-laki juga menanggung citra kuat dan macho, tidak boleh cengeng atau menangis, juga harus bisa berantem. Seorang gadis Batak yang kini berkarya di Batam mengatakan, “Laki-laki pakai baju pink atau ‘melambai’ harusnya jangan langsung di-judge gay atau ‘melambai’, ini stereotype, belum tentu begitu.”

“Menurutku, itu rentan bikin seorang lelaki jadi pem-bully untuk menunjukkan kemaskulinannya,” ujar ibu satu putra asal Sragen, yang beropini hal-hal tadi bukanlah kekerasan melainkan tekanan sosial. 

Kami pun bertanya pada kesepuluh responden ini apakah mereka pernah melakukan kekerasan terhadap laki-laki. Tiga orang mengatakan tidak pernah sementara tujuh orang lainnya mengaku pernah. Dari tujuh orang ini, dua orang mengakui pernah melakukan kekerasan secara fisik. 

“Aduh! Saya pernah khilaf nabok bokong anak pertama saya usia 3,5 tahun saat tantrum. Huhuhu,” aku ibu dua putra yang kini tinggal di Bandung dengan amat menyesal. Ibu lainnya pun memberi pengakuan serupa, kadang kala, ketika anaknya sedang sangat menjengkelkan, bisa sampai dihukum secara fisik juga. Untuk ke pasangan atau laki-laki dewasa, bukan kekerasan secara fisik yang diberikan, tetapi lebih ke psikis, seperti marah dengan suara tinggi atau memaksa suami memenuhi kebutuhan yang bukan pokok. Seorang ibu empat anak yang tinggal di Serpong memberi opini, “Yang buruk dari seorang istri itu kalau menganggap suami not capable enough. Dan itu termasuk 'kekerasan ' juga karena berpengaruh terhadap ekspektasi dan respect istri ke suami.” Bahkan ibu tiga anak yang kini tinggal di Bogor bercerita, ia menemukan beberapa kasus di lingkungannya, istri bisa menyebut suaminya dengan kata-kata kasar, seperti bego, goblok, anjing, sampai mencubit atau menggigit. 

Sejauh ingatannya, gadis Batak yang tinggal di Batam tidak pernah merasa melakukan kekerasan apa pun kepada laki-laki, tetapi ia sedikit berbagi cerita. Dulu di suatu organisasi yang pernah diikutinya, ia pernah mempertanyakan kepemimpinan ketuanya. Ia menuntut sang ketua untuk mundur bukan karena kelelakiannya, melainkan perilaku buruknya yang sama sekali tidak patut dijadikan teladan. Namun, orang yang dituntutnya merasa sebagai laki-laki yang diintimidasi perempuan.

“Dia merasa saya intimidasi. Padahal, saya ini orangnya apa adanya dan logis. Organisasi kami ini aktivitasnya membina anak-anak. Saya bilang, menurutku, nggak bisa kau jadi ketua, memegang nama organisasi dan namanya se-Indonesia.” Karena sang ketua bersikukuh dan mendapat dukungan dari beberapa teman, akhirnya responden kita ini memilih mundur dan pindah ke Batam.

Beberapa tahun silam, salah satu televisi nasional menampilkan sitkom berusia tahunan yang cukup digemari masyarakat, judulnya “Suami-Suami Takut Istri.” Komedian Sule juga sempat membuat lagu yang cukup populer berjudul, “SUSIS”. Judul lagu ini merupakan singkatan dari suami sieun (bahasa sunda yang artinya takut) istri. Agaknya, anekdot ini sesuatu yang lumrah kita dengar di tengah masyarakat. Kami pun menanyakan para responden, anekdot ini dinilai sebagai fakta atau mitos.

Gadis Batak yang kini tinggal di Batam melihat dalam keluarganya. Dalam keluarga Batak secara umum hal ini adalah mitos belaka. Di pengalamannya, dalam keluarga Batak, suamilah yang mendominasi dan tak ada suami yang takut dengan istrinya. Agak berbeda dengan ujaran seorang ibu empat anak yang juga bersuku Batak. Baginya ini fakta karena ia melihat ada beberapa suami takut melakukan keinginannya karena istri yang sangat membatasi, menguasai semua uang, harta, dan waktu suami hanya untuk dirinya. Namun, kami tak bertanya lebih lanjut, yang dilihatnya itu di kalangan keluarganya sendiri atau bukan. Hal ini senada dengan yang disampaikan ibu tiga anak yang tinggal di Bogor, “Fakta. Uwak gue begitu. Ipar gue begitu. Dan, makin ke sini makin banyak sih fenomena itu.” 

Dua ibu muda yang baru memiliki seorang anak ini pada dasarnya mempunyai pandangan yang mirip. Bagi mereka, mungkin banyak suami yang takut istri. Akan tetapi, ketakutan di sini bukan seperti bawahan pada atasan melainkan ‘takut’ karena sayang atau bentuk penghargaan mana kala hendak mengambil keputusan. “Suami yang ‘nurut’ sama istri itu alasannya sayang, bukan takut. Kadang susah dibedain karena sering kali bentuknya sama-sama ngikutin kemauan istri. Tapi, bedanya suami yang takut, ngikutin kemauan istrinya karena terpaksa. Kalau yang sayang akan mengikuti dengan senang hati dan akan menasihati jika tidak patut,” jelas ibu asal Minang.

“Jangan bayangin kayak di sitkom, bapak-bapak genit suka godain janda semok lalu pulang dijewer istri. Lelaki kalau mau selingkuh mah pasti nemu aja jalannya,” tambah ibu asal Sragen.

Sementara, gadis Bojonegoro dan ibu satu anak dari Jakarta mempunyai opini yang sama. Bagi mereka berdua, pernyataan ini perlu dibuktikan dengan data yang akurat dulu sebelum disimpulkan sebagai faka atau mitos. “Faktanya ada sih, tapi nggak tahu deh jamak apa nggak, belum survei soalnya,” ujar gadis Bojonegoro santai.

Menjelang akhir wawancara, kami bertanya pula mengenai perlu tidaknya laki-laki membuat kekuatan semacam maskulinisme. Dalam persoalan ini, gadis Batak dan ibu satu putri di Jakarta memiliki kesamaan pendapat. Laki-laki tidak perlu membuat kekuatan serupa melainkan turut dalam membela pemenuhan hak perempuan. “And the world would be a better place,” ujar sang ibu. Sementara, bagi gadis Batak, sah-sah saja kalau laki-laki ingin membuat komunitas yang mendukung perempuan, “Misalnya buat komunitas he for she, laki-laki sayang anak, laki-laki peduli perempuan, laki-laki melawan strereotype, komunitas bapak rumah tangga, atau papa masak di dapur.”

Tiga responden lainnya merasa jika laki-laki membuat kekuatan serupa, laki-laki malah terkesan lemah dan tertindas. “Nggak usahlah lelaki merengek-rengek begitu...,” kata ibu asal Minang. Ibu satu putra asal Sragen malah memberi opini begini, “Kalau lelaki merasa tertindas, ya silakan. Orang bikin gerakan itu kan kalau merasa tertindas.”

Ibu dua putra yang kini tinggal di Bandung juga mengatakan ini, “Memang salah kaum feminis juga yang minta disamaratakan kewajiban dan hak, jadi bingung deh nanti kalau di transportasi umum lelaki minta hak untuk dapat tempat duduk dari ibu-ibu. Si Ibu nggak bisa mengelak, padahal jelas juga fisik lelaki fitrahnya lebih kuat dibanding perempuan. Jadi konyol, kan? Masak membuat kubu kekuatan melawan yang tak seimbang!?”

Ibu muda empat anak juga mengatakan tidak perlu karena baginya dari segi adat Batak dan agama yang dianutnya, lelaki memiliki kekuatan yang terbatas pada perempuan. Laki-laki tidak boleh semena-mena.

Pada pertanyaan terakhir, rupanya kesepuluh perempuan ini dapat bersepakat secara bulat bahwa laki-laki bukan musuh perempuan dan juga sebaliknya, baik dulu, sekarang, maupun nanti. Mereka meyakini Tuhan sudah menciptakan manusia dengan fitrah untuk saling menyukai, melengkapi, mengayomi, kompromi, dan bekerja sama. Laki-laki dan perempuan tidak pernah diciptakan untuk menjadi musuh atau bermusuhan.

Ibu satu putra dari Sragen, ibu dua putra yang tingga di Bandung, dan gadis Batak menyampaikan argumentasi yang sama, jika laki-laki dan perempuan bermusuhan, tentu tak akan ada pernikahan dan menghasilkan keturunan. “Nggaklah. Musuh itu nggak kenal gender. Kalau musuhan, ngapain aja selama ini sampe bisa beranak-pinak dan menjadikan dunia ini dihuni tiga miliar orang?” Tegas ibu satu putra.

“Ya ampun. Sedih sekali pandangan seperti ini. Sejak awal, maksud diciptakannya perempuan (Hawa) ya untuk menemani, menjadi teman. Bukan menjadi musuh. Dan laki-laki memang pada dasarnya butuh ditemani dan didukung,” kata ibu asal Minang. Senada, ibu empat anak asal Batak pun mengungkapkan pendapatnya, “Dari awal manusia diciptakan, Allah membentuk wanita (Hawa) dari tulang rusuk Adam diharapkan kelak mereka hidup sebagai partner. Saling bekerja sama dalam kehidupan apa lagi berumah tangga. Keluarga bahagia adalah kerja sama suami istri.”

“Bukan musuh. Kalaupun masih musuhan, ujungnya paling musuh tapi mesra,” kata ibu tiga orang anak yang tinggal di Bogor sambil menyungging senyum jahil.

“Absurdlah,” ujar ibu empat anak di Serpong. “Laki-laki itu pemimpin bagi perempuan dan keluarganya, dan perempuan itu partner bagi laki-laki. How in this world they could be enemy for one another?” lanjutnya.

Sementara itu, ibu seorang putri dari Solo menyampaikan pendapatnya dengan tegas, “Jika kita selalu menggunakan cara pandang laki-laki dan perempuan saling berhadap-hadapan atau bermusuhan maka itu akan menyebabkan keduanya bersaing dan saling menguasai. Dan, yang berkuasa bisa dipastikan akan menindas yang lemah. Dari sini awal terjadinya tindak kekerasan.”

Dengan pertanyaan, “Apakah selamanya laki-laki adalah musuh perempuan dan sebaliknya?” gadis Bojonegoro malah berkelakar, “Selamanya? Lah, emang kapan mulai pertandingannya?”