Banyak kalangan membahas soal diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mulai dari kebudayaan yang dianggap terlalu maskulin hingga sikap seksis yang merebak di mana-mana. Padahal, lelaki pun kerap didiskriminasi dalam banyak keadaan. Kebudayaan kita pun sering menomorsatukan perempuan dan menomorduakan lelaki. Kesempatan bagi perempuan untuk melakukan beberapa hal selalu diutamakan. Kita mengenal istilah ladies first dari negeri Barat.
Pengalaman dinomorduakan itu saya rasakan pula ketika istri saya hamil dan kemudian melahirkan anak pertama kami. Selama istri saya hamil, perasaan terdiskriminasi sebagai laki-laki kerap kali muncul. Bagaimana tidak, beragam lagu yang memuja pengorbanan seorang ibu dalam mengandung dan melahirkan nyata-nyata tak menyebutkan peran dan pengorbanan bapak sama sekali. Contohnya lagu Surga di Telapak Kaki Ibu. Lirik lagu tersebut nyata bias gender dan mengandung social abuse (berupa pengabaian) kepada kaum laki-laki. Lagu karya Jhon Dayat/Ririn S. tersebut sama sekali tak menyebutkan apa-apa tentang bapak. Hanya ibu.
Padahal, selama masa kehamilan, bapak juga turut berperan. Menjaga ibu, mendapat cubitan rutin di pinggang tiap motor melewati jalan berlubang, sampai harus membelikan roti susu di tengah malam. Kadang-kadang, istri meminta sesuatu yang sulit dikabulkan, seperti minta jambu di kebun milik sebuah universitas. Meski tak sebesar pengorbanan dan peran seorang ibu, bapak juga ada perannya. Paling tidak disebutlah (dalam lagu), walau cuma sekali. Bayangkan, dari 66 kata yang digunakan dalam lagu yang pernah dinyanyikan Dhea Ananda itu, kata ibu disebut sebanyak enam kali atau 8,26 % dari keseluruhan kata dalam lagu. Sementara, kata “bapak†nol kali alias tidak disebut sama sekali. Statistik ini saja menunjukkan diskriminasi akut kebudayaan kita terhadap kaum bapak. Dan boleh jadi, angka-angka ini hanya fenomena gunung es. Saya percaya, dalam kenyataan yang tidak sempat distatistikkan angkanya jauh lebih besar.
Di atas usia kehamilan enam bulan, wajah masyarakat kita yang sebenarnya tak ramah pada laki-laki itu makin kentara. Banyak orang tanya sama saya,
“Gimana, istrinya sudah hamil?â€
“Sudah, Pak, alhamdulillahâ€
“Ya, syukurlah. Semoga, ibu dan bayinya selamat. Bapak doakan!â€
Bayangkan, sesama lelaki saja begitu. Ketika berdoa pun masyarakat kita diskriminatif. Yang didoakan hanya Ibu dan (calon) bayinya, keselamatan bapak tidak didoakan sama sekali. Dan, fenomena ini bukan hanya sekali dua kali saya temui melainkan berkali-kali. Alangkah hebatnya kekerasan yang harus ditanggung kaum lelaki dalam kebudayaan seperti ini. Doa bapak tadi mungkin tidak dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi atau apa lagi kekerasan. Namun, telah mengendap dalam alam bawah sadar masyarakat kita bahwa lelaki tak apa-apa diabaikan. Tapi, kita mesti ingat, orang-orang antidiskriminasi juga ada yang menyebutkan, “Pengabaian Anda ialah bentuk lain dari kekerasan!†Nah, ini harus berlaku universal. Bukan hanya untuk kaum perempuan atau kaum ibu. Kaum lelaki dan kaum bapak juga jangan diabaikan, dong!
Celakanya ada bentuk kebudayaan lain yang juga sifatnya intimidatif. Kalau kita mempersoalkan hal-hal semacam di atas, telunjuk-telunjuk dengan ganas menuduh, “Jadi lelaki jangan lemah, begitu aja sewot!†Padahal, perempuan kalau membela hak-haknya malah dianggap kuat dan tabah.
Kan, gawat!
***
Hari menjelang kelahiran anak (apalagi anak pertama) tentu ialah hari yang menegangkan. Dan, ketegangan semacam ini rupanya nggak pake gender-genderan. Semua gender tegang, baik ibu maupun bapak. Melihat istri mulai mulas-mulas, kekhawatiran mulai merambati perasaan. Kalau anak atau istri saya kenapa-napa, bisa apa itu bias gender? Mulas istri saya amat panjang. Melewati waktu tidur yang wajar. Calon ibu anak saya ini jelas kelelahan karena mulas itu datang berkali-kali. Ia juga tidak berselera makan. Rasanya keadaan semakin genting. Istri saya semakin melemah. Sementara, bidan masih saja menghitung berapa kali mulas terjadi dalam 10 menit.
Doa-doa terus saya panjatkan. Jam-jam dilalui dengan perasaan tidak karuan. Rasanya amat lama dan panjang. Apa akan kuat ia melahirkan? Padahal, tak sesuap makanan pun berani masuk mulutnya. Terbayang istri saya harus mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mengejan, untuk melahirkan. Sementara, keadaannya makin kecapaian manahan mulas tanpa ujung itu.
Saya tak tahan. Kekhawatiran benar-benar menyergap hati dan fikiran. Saya terus berdoa untuk keselamatan istri dan anak saya. Rasanya, doa orang banyak khilaf semacam saya tidak cukup. Saya menghubungi orang-orang tua, menghubungi guru-guru terbaik, dengan segenap jiwa saya mohon dengan sungguh-sungguh yang paling sesungguhnya agar semua yang bertuah itu mendoakan keselamatan istri dan anak saya. Keselamatan istri dan anak saya. Keselamatan istri dan anak saya. Istri dan anak saya.
***
Kelahiran ialah pengorbanan dan itu hanya milik perempuan. Lelaki tak diberkahi pengalaman melahirkan yang amat ruhaniah itu meski semasa kehamilan boleh jadi ia harus minta jambu kepada tetangga. Wajar sekiranya kaum ibu ditempatkan lebih tinggi dalam kehidupan kita. Faham kesetaraan gender tidak patut menggerecoki persoalan-persoalan batin semacam ini. Toh paling ia hanya bisa melihat bias-bias budaya dan persoalan-persoalan manusia yang zahir saja. Ia tak mampu meraba hakikat batin kemanusiaan.
***
Hari-hari setelah anak saya lahir (kebetulan anak saya lelaki), saya mesti terlibat secara penuh dalam pencucian popok dan pakaian-pakaian. Untuk kaum menengah gawat macam kami, menyewa binatu ialah sesuatu yang terlalu mewah. Sementara, bayi belum bisa mencuci popoknya sendiri dan ibunya belum bisa aktif menjalankan keseharian.
Di kawat jemuran, popok anak saya berkibar-kibar dengan ceria, bersisapa dengan cahaya matahari. Dan, di bawah kibaran popok itu saya bersabda:
“Anakku lelaki, percayalah, kita tidak memerlukan Komisi Nasional Perlindungan Laki-Laki karena ujungnya yang akan kita fikirkan adalah keselamatan Ibumu juga!â€