Judul Film: Keluarga Markum
Sutradara: Chaerul Umam
Cerita dan Skenario: Asrul Sani
Penata Musik: Franky Raden
Penata Seni : Sjaeful Anwar
Produser: Ismet D. Tahir
Pemain: Ikra Negara, Dwi Yan, Ully Artha, Lydia Kandou, Yunita, Yovita, Finsa, Amak Baljun, Usbanda, Ami Priyono, Paul Polll.
Keluarga Markum boleh dikatakan kisah lanjutan dari Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Apabila dalam film sebelumnya cerita terpusat pada hubungan Ramadan dan Ramona, kali ini kisah utama berpindah pada rumah tangga Markum dan Marni. Gaya dan cara film ini menampilkan berbagai keadaan keseharian, masih tatap sama seperti pada Kejarlah Daku. Chaerul Umam seperti menata adegan-adegan keseharian yang telah dikarikaturkan. Menertawakan keseharian dan pengalaman yang (kemungkinan) dirasakan banyak orang masih menjadi nafas utama film ini. Sebuah pengemasan apik untuk membungkus tema rumah tangga dan cinta di umur paruh baya yang sebenarnya berat.
Markum (Ikra Negara), lelaki yang telah membaca berbagai buku tentang perempuan, merasa dirinya sangat mengerti tentang perilaku dan sifat-sifat istrinya. Dia merasa tahu kapan seorang perempuan sedang bermain sandiwara, kapan tidak. Pengetahuan agung tentang perempuan itu ia praktikkan dalam rumah tangganya bersama Marni (Ully Artha). Markum menakhodai biduk rumah tangganya berdasarkan asas-asas pemahamannya atas kajiannya yang mendalam dan luas mengenai perempuan yang dilakukan selama bertahun-tahun, sejak ia masih membujang dalam waktu yang panjang.
Selain pengetahuan mengenai perempuan, Markum pun selalu taat asas dan tertib administrasi. Semua harus serbaresmi. Sebagai pegawai notaris yang taat hukum, asas-asas ketertiban dan kejujuran senantiasa Markum terapkan dalam hidupnya. Termasuk ketika ia lupa hari lahir istrinya. Dengan jujur, ia mengatakan bahwa ia memang lupa meski dipaksa untuk ingat akan hal tersebut oleh keponakan merangkap tetangga cum sekutunya: Ramadan (diperankan Dwi Yan, dalam film sebelumnya diperankan Deddy Mizwar).
Markum juga menolak ketika Ramadan memintanya untuk mengatakan kepada Marni bahwa istrinya itu ialah perempuan tercantik di dunia. Bagi Markum, mengatakan Marni adalah perempuan tercantik di dunia adalah suatu kebohongan. Suami yang baik tidak boleh berbohong kepada istrinya. Sementara, mengatakan perempuan senang dibohongi merupakan suatu penghinaan kepada perempuan itu sendiri. Begitu Markum berfalsafah tentang perempuan.
Di sisi lain, Marni telah lama jengkel karena Markum kerap melupakan hal-hal sederhana namun penting dalam perkawinan mereka. Mulai hal sebesar ulang tahun sampai mencium istri sebelum berangkat dan pulang bekerja. Marni merasakan asmara yang dulu membara kini telah redup. Kepada sekutunya, Ramona (istri Ramadan, diperankan oleh Lydia Kandou), Marni mencurahkan kesahnya. Markum selalu mengatur-atur dan jika Marni marah lelaki itu malah bertanya, "Lantas maumu apa?". Bagi Marni, pertanyaan suaminya itu tidak sopan. Seharusnya lelaki peka dan mengerti apa maunya perempuan meski perempuan itu sendiri tidak tahu apa maunya.
Oleh karena itu, cara pandang terhadap bisul yang tumbuh di pantat Markum pun menjadi polemik. Marni memandang, bisul itu sebagai sesuatu yang harus segera diledakkan, paling tidak dibawa ke dokter. Sementara, Markum amat menikmati kesengsaraannya tersebut karena dengan itu ia bisa meneror semua orang. Dengan alasan bisul, Markum dengan semena-mena meminta Marni untuk menghentikan kokok ayam jantan Ramadan. Kokokan ayam jantan membuat bisul Markum berdenyut ngilu. Suatu bisul yang agak menyimpang dari kebiasaan umum.
Rumah tangga Markum dan Marni semakin ruwet karena hal-hal yang sebenarnya sederhana. Perbedaan cara pandang terhadap bisul menjadi rumit, sebenarnya dikarenakan meredupnya api cinta. Istri yang mulai memasuki akhir usia baya mengutamakan perasaan dan menginginkan perhatian. Sementara, suami semakin berfikir logis dan runut, menakar ulang tahun dan tetek bengek cinta-cintaan sebagai sesuatu yang sudah berlalu, bukan masanya lagi, untuk kemudian mengabaikannya. Satu sama lain terjebak dalam rutinitas rumah tangga dan merasa telah kehilangan kemesraan tanpa kesefahaman akan pengertian kemesraan itu sendiri.
"Perempuan mesra ialah perempuan yang menganggap bisul suaminya lebih penting dari ketombe di kepalanya, setidak-tidaknya sama!" begitu seru Markum memaparkan tafsirnya atas kemesraan seorang perempuan.
Sayangnya, kesefahaman akan arti kemesraan ala Markum ini tidak pernah disepakati suami-istri tersebut karena Marni ternyata tidak pernah berketombe.
Menimbang keadaan rumah tangganya yang ada di titik nadir, Markum mengambil tindakan penting. Ia mulai menerapkan tangan besi dan disiplin tinggi pada segala hal di rumahnya. Waktu mandi untuk setiap orang dibatasi hanya tiga menit dan Marni hanya mendapat jatah 15 menit untuk berganti pakaian. Tentu saja 15 menit bagi perempuan sangat kurang, "hanya cukup untuk memakai celana dalam", begitu seru Marni. Ikhtiar Markum membangun disiplin dalam rumah tangganya melahirkan pemberontakan keras dari seluruh rakyat di rumah itu.
Menanggapi sikap diktator kepala rumah tangga, Ikum (diperankan Yunita) beserta Bunga (adiknya, diperankan oleh Yovita) dan ibunya melakukan sebuah pemberontakan sistematis. Di suatu hari yang cerah, Ikum melakukan aksi menolak tunduk pada aturan-aturan diktator Markum. Ia melakukan aksi panjat pohon mangga dan menolak turun sampai tuntutan rakyat di keluarga itu dipenuhi oleh kepala rumah tangga. Aksi Ikum ini didukung penuh oleh Awal (anak semata wayang Ramadan-Ramona, diperankan oleh Finsa) yang dengan sukarela dan tanpa paksaan bersedia menyediakan logistik secara rahasia demi lancarnya aksi Ikum tersebut.
Markum tak dapat lagi mempertahankan aturan-aturannya. Dengan disaksikan oleh Ramadan-Ramona, Markum menandatangani pencabutan aturan-aturan dan bersepakat untuk mengizinkan anaknya berlatih seni suara di dalam rumah.
"Kum, turun, Kum! Perjanjian sudah ditandatangani!" Seru Bunga kepada Ikum.
Perjanjian yang tentu saja membuat Markum jantungan. Markum kalah oleh rakyat di rumahnya sendiri.
Perasaan kalah Markum semakin menjadi ketika Ramadan membeli sebuah mobil. Marni, Ikum, dan Bunga serta merta menuntut hal serupa kepada Markum. Sayangnya, Markum tak dapat memberi hal yang lebih tinggi dari apa yang telah ia lakukan selama ini. Ia merasa sudah bekerja dengan baik dan tertib. Sebagai asisten notaris, ia tak mungkin naik pangkat lagi. Satu-satunya pangkat di atasnya ialah notaris itu sendiri. Dan selama ini, baik dirinya dan tuan notaris memang tidak pernah naik pangkat karena itu jelas tidak mungkin.
Markum berkesimpulan bahwa ia telah memberikan yang terbaik yang ia bisa. Akan tetapi, Marni menuntut di luar kesanggupannya. Anak-anak pun bersepakat dengan Marni. Akhirnya Markum pergi dengan perasaan tidak dihargai oleh rakyat rumah tangganya. Dalam perenungan-perenungannya di pelarian, Markum tetap berkesimpulan bahwa ia telah melakukan segala sesuatunya dengan benar. Ia sudah bekerja dengan benar, menjadi ayah dan suami dengan semestinya. Akan tetapi, semua itu tidak memuaskan rakyatnya. Ia merasa disiakan dan segala jerihnya tak dihargai orang-orang sekitarnya.
"Bagaikan kepala jawatan yang tiba-tiba dipensiunkan," ujar Markum kepada Ramadan, menggambarkan rasa terluka yang ia alami.
Minggatnya Markum tentu saja melahirkan kebimbangan dalam rumah tangganya. Puncaknya Ikum dan Bunga pergi dari rumah, hal yang membuat Markum terpaksa kembali dari pangasingan. Ia kembali berdiri sebagai kepala jawatan rumah tangga. Pensiun terpaksa dianulir sebab Bunga dan Ikum harus dicari.
Dengan bantuan Awal akhirnya kedua putri Markum-Marni itu diketemukan di rumah Iwan. Di sana ada pengajian remaja yang rutin dilakukan. Ikum dan Bunga rupanya mencari suaka di sana.
Film ini ditutup dengan penemuan kembali revolusi cinta Markum dan Marni. Di Monas, mereka melanggar Perda No. 3 Tahun 1972 mengenai pelarangan bermain bola, berbuat asusila, menjemur pakaian, membuang hajat besar/kecil, menaruh benda-benda berjualan, dan merusak tanaman. Markum dan Marni digelandang Satpam dengan sangkaan telah bercium-ciuman di depan umum di kawasan Monas. Mereka terpaksa diamankan, namun keduanya tidak menyesal. Sebab, cinta ialah juga pemberontakan, paling tidak terhadap perda perlindungan Monas itu.
Keluarga Markum layak ditonton oleh ayah-ibu yang baru saja mengayuh biduk rumah tangga. Di dalamnya terkandung nilai-nilai dan ajaran luhur berumah tangga yang tak akan ditemukan dalam seminar pranikah jenis apa pun. Ajaran luhur yang menunjukkan betapa rapuhnya kita dalam memahami cinta dan rumah tangga. Kita seperti tak beranjak dari pesona kebendaan dalam memandang peristiwa-peristiwa cinta yang seharusnya membumbungkan kita mendekati hakikat kemanusiaan kita.
Ajaran-ajaran luhur (atau pandangan umum) yang menunjukkan hal itu di dalam film ini, antara lain, (bagi laki-laki): 1. Perempuan selalu membesar-besarkan yang kecil, 2. Perempuan, meskipun dihadapkan dengan regu tembak sekalipun, tak akan mau mengaku dia cemburu, 3. Memimpin rumah tangga lebih sulit dari mengurus negara.
Bagi perempuan, nilai-nilai yang dapat diresapi (atau pandangan umum yang mesti dikritisi), antara lain: 1. Memang begitu nasib perempuan, kebaikannya selalu disalahgunakan (oleh laki-laki), 2. Kasihan kepada laki-laki ialah pintu bagi penindasan, 3. Laki-laki itu seperti anak kecil, 4. Ketika suamimu mengejek pisang goreng yang kamu masak maka bersumpahlah untuk tidak membuat pisang goreng lagi sampai mati!
Melihat begitu megahnya ajaran-ajaran luhur yang dikandung film ini, patutlah kiranya Keluarga Markum menjadi tontonan wajib keluarga Indonesia bahkan masyarakat dunia. Pun muda-mudi yang akan mengawali rumah tangga. Keluarga Markum menampilkan secara jujur mutu pemahaman bangsa kita akan cinta, rumah tangga, dan bahkan kehidupan. Cinta akan pasangan hidup kerap terkurung dalam hal ihwal kebendaan, seperti gaji, kedudukan di kantor, kecantikan/ketampanan, ataupun kepantasan memamerkan pasangan di hadapan orang lain. Pasangan kadang kita manfaatkan untuk menebus keberadaan kita yang rapuh. Pasangan menjadi benteng bagi ketaksanggupan kita hadir di hadapan kenyataan dengan terbuka.
Hal-hal yang lebih mendalam dalam rumah tangga, seperti kecukupan dan kemampuan untuk saling mencintai, menghargai, dan mengerti satu sama lain terkubur cita-cita kebendaan itu. Setiap orang hanya dihargai akan kebendaannya belaka, bukan keutuhannya akan manusia. Dalam keadaan semacam itu, rumah tangga adalah rutinitas tuntutan umum yang jauh dari pemanusiaan. Ayah, ibu, anak, dan lain-lain status dalam keluarga hanya tertimbang dalam takaran-takaran ekonomi yang sekular, minus kesejatian cinta, dan tanpa nilai-nilai batin. Hambar tak terkira.
Keluarga Markum mengajak kita untuk mengupas diri sendiri. Melihat ke dalam dan memeriksa seperti apa sebenarnya kita memahami cinta. Seperti pada film sebelumnya, Chaerul Umam berhasil menampilkan kerapuhan-kerapuhan pemahaman kita akan cinta dan rumah tangga menjadi sebuah komedi yang ringan bermakna. Di dalam film ini kita diajak untuk menertawakan kekeliruan-kekeliruan kita sendiri.
Kejelian sang sutradara untuk menampilkan berbagai adegan komedi yang membayangkan keadaan masyarakat itu didukung oleh kemumpunian berperan para pemainnya. Ikra Negara dengan penuh penghayatan memerankan Markum. Ia menjadi kaca dari banyak lelaki yang menjadikan rumah tangga dan cinta sebagai cara untuk terlihat berkuasa. Sementara, Ully Artha berhasil menampilkan sisi perempuan yang naif dan tidak mengerti apa maunya sendiri. Lydia Kandou masih tetap menawan memainkan peran Ramona, wanita modern namun kerap takluk pada kodratnya sebagai penyayang dan pecinta. Dwi Yan menggantikan Deddy Mizwar memerankan Ramadan. Meski tak sebaik Bang Naga Bonar, tapi kesan lelaki rantau yang terjebak oleh rutinitas dan keadaan batin Jakarta masih dapat Dwi tunjukkan dengan baik. Sementara, peran Yunita, Yovita, dan Finsa seperti meminta permakluman penonton bahwa mereka ialah anak-anak muda yang sedang belajar main film.
Film ini pada akhirnya ialah cermin besar tempat kita menertawakan sekaligus memeriksa diri kita sendiri. Boleh jadi kita adalah berbagai kemungkinan Markum atau berbagai kemungkinan Marni di dunia nyata. Markum dan Marni boleh jadi ialah wajah kita dalam bentuk yang lain.
Mari sama-sama belajar dari Keluarga Markum agar cinta dan rumah tangga tak hanya berwarna merah muda, tetapi juga aneka warna, bermacam rasa dan beratus sedap rupa.