Marx yang Terasing, Bermain Facebook dengan Cara yang Keliru
Bagikan

Marx yang Terasing, Bermain Facebook dengan Cara yang Keliru

Orang-orang modern meleleh di dalam Facebook, wajah dan kata-kata yang mereka ucapkan melumer dalam algoritma Mark yang rumit dan tak tergapai.

Keterasingan ialah masalah penting nan genting yang nyaris mutlak dialami orang modern, khususnya orang modern yang bernama Karl Marx. Keterasingan yang dimaksud ialah keterpisahan manusia dari pengalamannya sendiri. Di dalam kerangka berfikir Marxisme, keterasingan ini biasanya dialami manusia ketika ia tidak menemukan dirinya dalam tindakan bekerja. Manusia tidak melihat manifestasi kediriannya dalam kerja-kerja yang ia lakukan.

Seorang tukang sol, misalnya, tidak merasakan sepatu yang diproduksi pabrik tempat ia bekerja sebagai karyanya. Ia berjarak amat jauh dengan karya itu sebab ia hanya bertugas sebagai tukang sol dari ribuan sepatu yang dimuntahkan pabrik itu. Di dalam ribuan sepatu itu, ia tak melihat kerja dan karya dirinya. Ia kehilangan, tak memiliki, dan tak menemukan kesadaran atas diri sendiri dalam produk yang sebenarnya turut ia kerjakan. Kediriannya terkubur dalam statusnya sebagai bagian dari moda produksi. Terasinglah, teralienasilah, si tukang sol diperas kapitalisme yang jahat dan serakah. Begitu kira-kira dongeng Marxisme ini.

Namun,  kreativitas manusia modern tidak hanya berhenti di Karl Marx, di soal kerja, dan di masalah sol sepatu. Keterasingan dikembangkan dan diproduksi lebih banyak lagi sehingga manusia-manusia melarut dalam kerumunan massa dan tak menyadari keberadaan daulat dan daya hidupnya sendiri. Manusia-manusia tergulung suatu absurditas kapitalisme dan pembangunan di mana identitas pribadi makin sukar dikenali.

Sambungan internet yang telah menelusup hingga ke desa-desa perbatasan masa bercocok tanam dan zaman industri (daerah semacam ini masih banyak ditemukan di suatu negeri di sekitar khatulistiwa) telah mengirimkan berbagai kabar dan gelombang besar kata-kata. Dalam samudra kata-kata yang mendahsyat tak terkira itu, orang-orang modern mengalami keterpencilan yang purba. Ia merasa sulit merasakan dirinya di hadapan kedahsyatan pembangunan dan teknologi. Daulat diri dan daulat aqal sehat semakin kerdil di hadapan raksasa data yang dimitoskan sebagai mampu mendikte nasib.

Persoalan asing keterasingan ini kemudian nyaris selesai ketika Mark Zuckerberg menemukan Facebook. Penemuan yang boleh jadi melampaui prestasi Alexander Graham Bell dan Vasco da Gama. Graham Bell memang berhasil membuat bumi lebih bising sementara berbagai perusahaan travel kelas dunia jelas berhutang pada Pak Vasco. Akan tetapi, orang-orang ini tidak menemukan cara untuk mengatasi keterasingan yang dipaparkan Marx. Marklah yang nyaris menjawab persoalan manusia modern paling akut ini.

Di sela-sela kelelahan lahir batin manusia pascaindustri yang jiwanya nyaris tandas diperas kapitalisme jenis apa saja, Facebook menawarkan perangkat untuk menulis pernyataan apa saja di hadapan umum. Bertukar perhatian dan saling berbagi kabar. Segala keluh jiwa dan rasa sakit pertarungan antarkelas bisa diungkapkan melalui layanan ini. Luka-luka modernitas menemukan penebusannya di berjuta-juta status dan komentar. Beribu jenis keterasingan diobati lewat layanan unggah foto profil amat menawan. Pada awalnya, Facebook membuat dunia menjadi lautan keluh kesah dan arena mengaktualkan kedirian. Manusia nyaris menemukan dirinya sendiri.

Facebook membuat manusia merasa menjadi ada. Tanpa perlu susah-susah berfikir, manusia bisa tetap “ada” dengan bermain media sosial buah karya Mark ini. Manusia seperti tak terasing lagi; memiliki teman begitu banyak, ratusan hingga ribuan; bisa melaporkan segala yang dilakukan di muka umum; dan mendapat perhatian begitu banyak orang lewat kolom komentar atau tombol suka.

Tukang sol sepatu di pabrik-pabrik mungkin tak menemukan dirinya di jejak kaki Ronaldo atau dalam rintihan Neymar. Namun, ia jelas bisa mengunggah foto dirinya yang paling imut dengan ucapan: “Cape nich, abis kerja!” di dinding Facebook-nya. Kawan-kawannya akan segera menanggapi dengan satu dua kata atau tanda jempol. Masyarakat perbatasan zaman bercocok-tanam dan zaman industri pun dapat mewartakan senyumannya yang paling khas di antara bebatuan dan cangkul dengan ungkapan: “Selamat Pagi Indonesia! Tetap cemungud (dibaca ‘semangat’)!”.

Keberadaan manusia, dalam artian yang paling telanjang, dapat kita ketahui melalui Facebook. Ada di mana si tukang sol sepatu? Kita bisa mengetahuinya melalui laman Facebook-nya. Kita juga bisa menerka perasaan, fikiran, dan kelakuan orang lain melalui media biru tua-putih itu. Akan tetapi, “keberadaan” tukang sol sepatu dan manusia-manusia modern lain di Facebook justru kian tak terkira dan jauh dari kenyataan. Setiap orang bisa berpura-pura bahagia karena hasrat ingin dilihat bahagia oleh orang lain. Padahal, ia tak lagi mengenali dirinya sendiri dan menimbun banyak kekecewaan atas hidupnya.

Di dalam tumpukan luka khas orang modern itu, berjuta manusia membangun istana khayal kediriannya di dalam Facebook. Dengan menanggalkan kendali aqal, orang-orang ini membangun angan-angannya sendiri, tentang dirinya sendiri, di Facebook-nya sendiri. Kadang ia ingin tampil seperti seorang artis, kadang ingin hadir dengan bijak, dan di waktu lain ia menjadi seorang pujangga tanpa tanding. Sebuah akun Facebook telah menjadi sesuatu yang lain, yang jauh berbeda dari kedirian pemiliknya. Menghasilkan kerumunan manusia yang akhirnya hanya mampu menikmati dirinya sendiri, terasing dari kenyataan, dan terhubung secara palsu dengan manusia lain.

Facebook memang tidak menyajikan pertentangan antarkelas (oleh-oleh khas abad ke-19 yang sudah semakin usang). Mark juga bukan seorang borjuis abad pertengahan atau tuan tanah abad ke-20 (ia memakai kaos warna biru keabu-abuan). Akan tetapi, Facebook dan para penggunanya secara sadar atau tak sadar telah membangun kelas-kelas tertentu dalam masyarakat. Kelas-kelas kecil yang asyik dengan kelompoknya sendiri, terpencil dari kelompok-kelompok lain, dan saling mengasingkan satu sama lain. Kelas-kelas ini tidak bertentangan, tetapi semakin saling tak peduli.

Dunia semacam ini boleh jadi ialah sebuah hiperealitas, di mana manusia tak mampu lagi membedakan kenyataan dan suatu fantasi. Ia tak lagi mampu mengenali diri dan Facebook-nya. Beragam rangsangan dan respon dari pihak-pihak dan hal-hal di luar dirinya menjadi raksasa simulakrum yang menghablurkan kesadarannya dan tak memberi tapak bagi suatu kepribadiaan yang utuh. Bersama jutaan gelombang-gelombang absurditas, jiwa-jiwa mengawang-ngawang tak berarah, melayang-layang dilamun gelombang simulakra teknologi informasi yang terus menerus menggerus kepribadian manusia.

Kumpulan busa-busa tanpa kepribadian kukuh begini ialah sari-sari makanan yang amat mudah dihisap lambung kapitalisme dan kekuasaan politik. Kepribadian dan kedirian yang semakin melemah tak akan lagi mampu berkata ‘lawan’ meski sedikit saja di pojok jiwanya. Ia adalah pakan paling alami bagi keserakahan dan beberapa jenis kejahatan.

***

Dan di suatu malam yang begitu dingin, di mana angin menusuk amat tajamnya, manusia-manusia modern dan makhluk-makhluk perbatasan masa bercocok-tanam – zaman industri berseliweran di dalam Facebook. Mereka mengada dan berhantam dalam suatu proses yang tak pernah selesai. Mungkin Mark sudah tidur dan Marx jelas sudah mati. Ramai sekali. Tubuh-tubuh yang merapuh dihela nafas topan global terbaring sendirian di kamar-kamar. Mereka ramai di kamar yang sendiri. Mereka sendiri di dalam Facebook yang ramai, sendiri tapi merasa ramai, merasa ramai namun nyatanya sendirian, tak menyadari kesendiriannya, melebur dalam kericuhan tanpa suara.

Kata-kata menyerbu mata mereka, masuk ke dalam fikiran, merasuk ke dalam jiwa, merebut kedaulatan, merenggut kesadaran pribadi, dan melemparkan diri-diri ke dalam larutan massa yang hambar tanpa bentuk ataupun rasa. Orang-orang modern meleleh di dalam Facebook, wajah dan kata-kata yang mereka ucapkan melumer dalam algoritma Mark yang rumit dan tak tergapai. Manusia terpisah dari pengalamannya sendiri di dalam Facebook dan menampilkan keterasingan-keterasingannya serta kepalsuan-palsuannya secara rutin. Jiwa-jiwa yang rapuh dihantam kapitalisme yang telah memerah kemanusiaan, kini terpanggang di dalam Facebook. Makhluk manusia menjadi sajian data amat besarnya, tempat industri dan kekuasaan bersekongkol menancapkan akar-akar mesin penghisap ekonomi yang tak pernah berhenti. 

Matahari terbit, Mark bangun pagi dan semakin kaya. Sementara, makhluk-makhluk perbatasan zaman bercocok tanam – zaman industri bergegas pergi bekerja setelah sarapan pagi. Mereka sudah menulis status baru dan siap sedia diperah kapitalisme yang mengupah mereka ala kadarnya. Nanti malam, sebelum tidur, mereka akan membuat Mark lebih kaya lagi.

Marx yang terasing, bermain Facebook dengan cara yang keliru.