Jusuf Wibisono: Pahlawan Tak Hanya Lahir dari Medan Pertempuran
Bagikan

Jusuf Wibisono: Pahlawan Tak Hanya Lahir dari Medan Pertempuran

10 November kemudian diawetkan sebagai Hari Pahlawan untuk menghargai mereka yang gugur dan menderita dalam peristiwa tersebut. Akan tetapi Jusuf Wibisono memiliki pandangan lain

10 November telah kita lantik sebagai Hari Pahlawan. Pada tanggal ini, di tahun 1945, pertempuran hebat dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang baru berusia 3 bulan terjadi di Surabaya. Belasan ribu pejuang Indonesia tewasdan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Sementara 2000 serdadu NICA dan Belanda harus pula meregang nyawa dalam peristiwa itu. Pertempuran berdarah diSurabaya tersebut telah memberi ilham bagi rakyat di seluruh Indonesia untuk terus melakukan perlawanan terhadap sekutu.

10 November kemudian diawetkan sebagai Hari Pahlawan untuk menghargai mereka yang gugur dan menderita dalam peristiwa tersebut. Akan tetapi Jusuf Wibisono memiliki pandangan lain. Menteri Keuangan Republik Indonesia pada dua periode kabinet demokrasi liberal ini mencoba mengajak kita berfikir ulang mengenai makna Pahlawan dalam kehidupan kebangsaan kita. Ia sangat khawatir makna Pahlawan menjadi sempit karena Hari Pahlawan diambil dari sebuah peristiwa pertempuran melawan penjajah sehingga kita mungkin menganggap pahlawan hanya mungkin muncul dari medan perang. Padahal Kamus Besar Bahasa Indonesia pun mencatat bahwa pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. 

Kita bisa mengenang 10 November sebagai hari yang penting dalam rangkaian panjang upaya bangsa ini mempertahankan kemerdekaan. Kita juga bisa menginsyafi 10 November sebagai masa terwujudnya konsep jihad, syahid, dan fi sabilillah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi kita perlu pula memaknai kata pahlawan dengan lebih dalam sehingga kita bisa mengenali sosok pahlawan sejati yang senantiasa hadir pada setiap zaman. Mereka yang teguh dan menjunjung tinggi kebenaran, sosok yang bijaksana sekaligus berani dan sedia berkorban untuk memperjuangkan kebenaran.

Berikut tulisan, Jusuf Wibisono yang kami kutip dari Majalah Mimbar Indonesia edisi bulan November 1950. Redaksi melakukan penyuntingan dan penyesuaian ejaan seperlunya dengan tetap mencoba mempertahankan kerangka tulisan asli seutuhnya.


*** 

10 November

Pada tanggal 10 November lima tahun yang lalu,terjadilah pertempuran sengit antara tentara pendudukan Inggris dan bangsaIndonesia di Surabaya. Tentara kita yang waktu itu bernama Tentara KeamananRakyat, masih dalam keadaan permulaan perwujudan. Adapun sebabnya pertempuranitu, di mana Inggris menggunakan pula angkatan udara dan lautnya, ialah karenabangsa kita tidak mau memenuhi tuntutan-tuntutan Jenderal-Mayor Mansergh yangmemang sangat menghina kita. Perkelahian mati-matian ini berlangsung sampaiakhir bulan, hingga tentara Inggris berhasil menduduki seluruh Surabaya.

Menurut penyaksian David Wehl, yang menulis The Birth of Indonesia, pertempuran Surabaya adalah pertempuranyang tersengit selama perjuangan kita, hingga aksi militer ke satu. Andai katapertempuran-pertempuran serupa itu menjalar di seluruh Jawa, berjuta-juta jiwaakan tewas, kata Wehl, karena orang-orang kita berkelahi secara sangat garang,fanatik dan dengan mengorbankan diri. Pada permulaan, orang-orang yang hanyabersenjata dengan pedang, menyerang tank-tank Sherman!

Semangatperlawanan di Surabaya itu, sangat mempengaruhi politik pimpinan tentaraInggris terhadap perjuangan kita, dan karena itu dicela oleh pihak Belanda.Belanda menghendaki supaya tentara Inggris bertindak keras terhadap kita danmenangkapi saja para pemimpin-pemimpin kita yang dianggap sebagai pemberontakbiasa.

Sungguhbesarlah hutang budi seluruh bangsa kita kepada pahlawan-pahlawan Surabaya itu.Maka patut sekali jika pertempuran di Surabaya itu, dicatat sebagai peristiwayang maha penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan kita. Satu-satunyakejadian yang memberi inspirasi kepada pemuda-pemuda dan angkatan muda kita.

Sangat menyesalkan bahwa selama perjuangan kita ini, tidak ada seorang pun daripimpinan tinggi tentara kita yang memberi contoh kepahlawanan yang dapatmenggetarkan jiwa anak cucu kita sepanjang masa, seperti kepahlawanan Leonidas,Raja Sparta zaman Yunani purbakala. Dalam tahun 480 sebelum masehi, di PasThermopylae, tentara Sparta yang dipimpin sendiri oleh Leonidas berhadapandengan tentara Persia yang jauh lebih besar dan yang bermaksud merampaskemerdekaan Yunani. Tidak dalam perkataan saja, seperti kebanyakan para pemimpinkita di masa yang lalu melainkan dengan perbuatan, Leonidas mempertahankanpintu gerbang ke daerahnya itu sampai titik darah yang penghabisan. Hanyaseorang saja dari tentaranya pilihan, bisa menyelamatkan diri daripenghancur-leburan oleh bala tentara Persia. Walau pun hancur lebur, tetapi keguguranLeonidas sebagai pahlawan itu, memberi inspirasi, memberi kekuatan batin kepadarakyatnya, sehingga sanggup meneruskan perjuangan kemerdekaan tanah airnya,sampai pada akhirnya Raja Persia, Xerxes, dan seluruh tentaranya dapat diusirdari Yunani.

Dalamperjuangan kita, keadaannya terbalik sedikit, bukan rakyat yang mendapatinspirasi dari para pemimpinnya, melainkan para pemimpin kita mendapat kekuatanbatin melihat tekad perlawanan dari rakyat kita.

Untukmemuliakan saudara-saudara kita yang telah berkorban guna kebesaran bangsa dannegara kita, maka pemerintah kita menjadikan 10 November ini, Hari Pahlawan.

Meski punkami sudah barang tentu sangat setuju menghormati dan memperingati jasasaudara-saudara yang tak ternilai itu, namun kami rasa kurang tepat apabilahari itu dinamakan Hari Pahlawan, karena mungkin menimbulkan faham di kalanganrakyat kita seakan-akan kepahlawanan itu hanya terdapat di lapangan ketentaraansaja. Padahal tidak demikian adanya.

Tentangfaham pahlawan ini, kami mengikuti pelajaran ahli sejarah dan pemikiran yangkenamaan dari Skotlan, Thomas Carlyle. Sebagaimana diuraikan dalam bukunya On Heroes and Heroworship, kepahlawanan itu tidak saja hanyaada di medan peperangan, melainkan pula di antara para Nabi seperti Muhammad, diantara para ahli syair seperti Dante dan Shakspeare, di antara para pendeta sepertiLuther dan Knox, dan di antara para ahli kesusasteraan seperti Johnson, Rouseaudan Burns.

Yang diapandang sebagai pahlawan ialah tiap-tiap manusia besar yang dapat membinasakankeadaan lama dan menciptakan keadaan baru. Bukan asal baru saja, melainkanbarang baru yang membawa kebahagiaan bagi orang banyak.

Semangat militerismeyang hanya membawa bencana saja kepada ummat manusia, harus kita basmi. Kitaharus mendidik rakyat kita bahwa juga di lapangan damai, tidak kurang kesempatanuntuk berjasa besar kepada bangsa dan negara.

Di antarorang-orang terkemuka kita, rupanya masih ada yang belum bisa melepaskan diridari pengaruh semangat Jepang yang memuja-muja golongan dan jasa ketentaraanlebih dari pada sepatutnya. Di luar Jerman dan Jepang, kami rasa, tidak adanegara yang menjunjung tinggi militerisme. Sekalipun demikian sepanjangpengetahuan kami, dua-dua negara itu tidak mengadakan Hari Pahlawan berhubungandengan sesuatu pertempuran besar yang dilakukan oleh angkatan perang mereka danyang maha penting artinya bagi sejarah mereka.

Pertempuranbesar di Tannenberg di mana Hindenburg membinasakan tentara Rusia, danpertempuran laut antara armada Jepang di bawah pimpinan Togo dan armada Rusia,kami fikir tidak kurang besar artinya bagi Jerman dan Jepang dari padapertempuran Surabaya bagi kita; meskipun demikian, tidak dicatat sebagai HariPahlawan oleh mereka itu. Pertempuran di Stalin-grad dalam peperangan yangakhir ini di mana bangsa Rusia memperlihatkan kepahlawanan luar biasa, pertempuranyang menentukan jalannya peperangan seterusnya, tidak dicatat sebagai HariPahlawan oleh Sovyet Uni.

Maka kamikira, kita tidak akan mengurangi sedikit pun penghormatan jasa pahlawan-pahlawanSurabaya itu, seandainya 10 November ini, tidak diabadikan sebagai HariPahlawan, melainkan sebagai “Hari Pertempuran Surabaya”. Dengan demikian kitamenghindarkan faham salah di kalangan rakyat, seakan-akan kepahlawanan ituhanya bisa didapat di medan pertempuran saja.

(MajalahMimbar Indonesia, November 1950, halaman 3)


***


Apa yang disampaikan Pak Jusuf Wibisono tentu dapat menjadi perhatian kita. Penggugatan terlalu jauh terhadap Hari Pahlawan mungkin tidak perlu dilakukan. Kita dapat terus merayakan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Akan tetapi, mengurangi kesan kebangsaan yang militer-sentris perlu juga dipertimbangkan. Bahwa perjuangan kemerdekaan dan kebangsaan kita ialah hasil dari keseluruhan kebudayaan Indonesia bukan hanya hasil peperangan saja.