Cerita Foto Tentang Penyemir Sepatu
Bagikan

Cerita Foto Tentang Penyemir Sepatu

Anak-anak itu penyemir sepatu. Mereka memilih mencari uang daripada sekolah. “Malas sekolah, Pak,” kata mereka. Pengakuan mereka, keluarga mereka terpencar. Orang tua tinggal di kampung, sedangkan saudara entah memperjuangkan nasib. Mereka dari keluarga miskin. Masing-masing harus menghidupi dirinya

Suatu pagi di Jakarta. Orang-orang menempuh liku hidupnya. Lelaki dewasa berangkat ke kantor naik bus Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Ibu-ibu pergi berbelanja ke pasar memakai jasa pengayuh becak. Pedagang membuka lapak usahanya. Anak-anak menuju sekolah menggunakan sepeda, berboncengan atau sendiri-sendiri.
 
Ini dekade 1960-an. Kota ini berpenduduk hampir 3 juta jiwa. Aktivitas pagi menjadi tanda awal geliat warga kota. Belum ada toko waralaba buka 24 jam, diskotek, dan hiburan malam lainnya. Warga kota ini masih mengenal jeda. Malam untuk istirahat, pagi untuk memulai aktivitas sesuai semesta peran dan umurnya. Namun, ada sekelompok anak menyimpang keluar dari semestanya.
 
Anak-anak itu berada di pusat-pusat keramaian, seperti pasar, warung makan, dan terminal. Wajah mereka kusut. Belum sempat cuci muka dan mandi. Mata mereka menuju ke sepatu orang-orang. Bila ada sepatu kelihatan kotor, mereka menghampir ke pemakai sepatu. “Semir, Pak,” kata mereka, seperti dikutip majalah Selecta, nomor 39, 1960, halaman 18.
 
Anak-anak itu penyemir sepatu. Mereka memilih mencari uang daripada sekolah. “Malas sekolah, Pak,” kata mereka. Pengakuan mereka, keluarga mereka terpencar. Orang tua tinggal di kampung, sedangkan saudara entah memperjuangkan nasib. Mereka dari keluarga miskin. Masing-masing harus menghidupi dirinya sendiri.
 
Pemerintah kota berupaya membina anak-anak yang menjadi penyemir sepatu itu. Menurut buku Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945—1966, pemerintah kota membuatkan mereka tempat penampungan di Pulau Edam, di Kepulauan Seribu, 24 kilometer dari Jakarta. Ini tempat untuk semua anak telantar dan pekerja.
 
Puluhan tahun kemudian, anak-anak pekerja semacam ini masih tersua di kota-kota besar. Mereka menjajakan koran di perempatan, menjual tisu di dalam bus kota, dan mengamen di tempat makan kaki lima. Mereka memanggul tanggung jawab di luar kesanggupannya. Dan tanggung jawab kita ialah mengembalikan mereka pada dunianya.

sumber : Selecta, nomor 39, 1960, halaman 18.