Editorial: Raup Harum Masakan Melayu-Nusantara
Bagikan

Editorial: Raup Harum Masakan Melayu-Nusantara

Maka rasa padat bumbu dan raup harum masakan Melayu-Nusantara perlu kita tafakuri dengan saksama. Kebudayaan kita semakin menua, persoalan hidup semakin rumit. Sudah saatnya kita menghayati makan dengan lebih saksama, tidak hanya memenuhi syarat agar tetap hidup.

Hadir tepat di garis khatulistiwa, bumi Melayu-Nusantara dilimpahi beragam keanekaragaman hayati. Tetumbuhan berjuta jenisnya dan beragam fauna berjuta pula spesiesnya. Maka kita mengenal rempah, mengenal bumbu, dan beragam dedaging untuk dimasak. Dari pala hingga andaliman, dari ketumbar hingga kecombrang, dari daging kuda sampai belut. Bangsa kita mengolah segala kekayaan alam dengan beragam cara gaya. Lidah orang Melayu-Nusantara ialah lidah yang mampu menziarahi jutaan rasa dalam hidupnya.

Kita dapat melihat nasi sebagai kesatuan umum dari kebudayaan memasak kita. Nyaris seluruh penduduk di beragam daerah di Indonesia menjadikan nasi sebagai bahan pangan utama. Tentu saja saudara-saudara kita di Papua yang memakan sagu tetap kita masukkan sebagai penyumbang kukuh kuliner kita. Tetapi nasi ialah urat nadi kebermasakan bangsa kita. Muncul pula pameo, tidak dikatakan sudah makan seorang dari kita sebelum ia menyantap nasi barang beberapa suap.

Nasi memiliki catatan panjang, tentu saja. Di dalam bulir-bulir nasi sesungguhnya menggelantung nasib petani dan persoalan lahan yang terus menjadi krusial. Dalam setiap suap kita ada banyak keluh kesah. Ada lumbung-lumbung yang semakin darurat, hama yang menyerang, penindasan tengkulak, dan petani yang nasibnya sering kali sumir. Sejauh mana kita menghayati nasi? Adakah kita mengingat sawah-sawah di jauh entah di mana ketika sarapan pagi atau makan siang?

Perut kita senantiasa memerlukan isi. Setiap hari, tak boleh berhenti, sampai mati. Masakan beragam, selera ratusan, dan jutaan rasa. Lidah kita telah mencecap sekian rasa, tapi berapa yang pernah kita hikmati? Apa makna makan kita hari ini? Telah menjadi sekadar syarat menyambung hidup atau ada makna lain? Merasakah kita, dalam makan ada kasih sayang begitu dalam dari Tuhan? 

Betapa kaya kita akan masakan. Yang berkuah, kue-kuean, rujak, bebakaran, yang digoreng, hingga minuman hangat ataupun dingin. Tapi apa arti semua itu bagi hidup kita hari ini? Bukankah kita juga telah bersilaturahim dengan bakpau, siomay, kwetiau, ramen, nasi kebuli, sari kurma, kebab, hingga hamburger?

Berjenis-jenis masakan itu bukan hanya tentang makan. Ada soal budaya ketika bakpau kita ganti dengan daging ayam, tak lagi berbabi. Ada soal-soal sosial sebab para petani sering kali menjadi bagian dari kaum rawan. Atau pula soal ekonomi sebab ketersediaan beras ialah jantung pertahanan hidup kita. Juga soal gaya yang sebagian kita sering kali merasa berderajat tatkala menenggak minuman bersoda.

Maka rasa padat bumbu dan raup harum masakan Melayu-Nusantara perlu kita tafakuri dengan saksama. Kebudayaan kita semakin menua, persoalan hidup semakin rumit. Sudah saatnya kita menghayati makan dengan lebih saksama, tidak hanya memenuhi syarat agar tetap hidup.
Mari meraup harum masakan Melayu-Nusantara bersama NuuN.id....