Dr Khalif Muammar : "Islam tidak Memerlukan Sekularisasi"
Bagikan

Dr Khalif Muammar : "Islam tidak Memerlukan Sekularisasi"

Sekularisasi di Turki menemui kegagalan. Ketika sesuatu ideologi dipaksakan kepada masyarakat ia tidak akan bertahan lama.

Jika sekularisasi menjadi solusi kepada masyarakat Barat untuk maju, ia tidak pernah relevan apalagi menjadi pilihan dalam sejarah umat Islam. Bahkan sekularisasi di dunia tidak akan membawa kemajuan. Sesungguhnya ia malah akan mendatangkan lebih banyak kekeliruan serta masalah kepada bangsa dan negara.

Para aktivis partai juga harus lebih mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan umat berbanding kepentingan partai dan kekuasaan. Mereka tidak harus berpendirian pragmatis, karena pragmatisme juga kesan dari sekularisme dan sofisme moden (postmodernisme).

***

Sekularisasi politik merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan Ummat Islam hari ini. Politik pada akhirnya menjadi sebuah perkara materi yang tak berhubungan dengan akhirat. Berkait dengan hal itu, Komunitas NuuN mewawancarai Dr Khalif Muammar. Perbincangan menjadi menarik karena Ustaz Khalif, begitu beliau biasa disapa, menguasai berbagai teori politik Barat sekaligus fasih berbicara mengenai politik Islam. Berikut kutipan wawancara tersebut:

Bagaimana konsep politik dalam pandangan sekular?

Salah satu definisi yang dikemukakan oleh sarjana Barat, sekularisme adalah paham yang memisahkan agama daripada politik. Definisi ini juga terkait dengan definisi filosofis yang diungkapkan oleh al-Attas, merujuk kepada Harvey Cox, bahwa sekularisasi adalah: “the deliverance of man first from religious and then from metaphysical control over his reason and his language”. Jadi menurut pandangan sekular agama tidak boleh mengatur kehidupan manusia. Maka politik ialah bidang kehidupan yang tidak terkait secara langsung dengan agama.

Kemudian agama sendiri dalam pengertian Barat telah disempitkan kepada hal-hal yang bersifat ritual dan spiritual. Karena agama telah dibataskan seperti itu ia tidak lagi relevan dalam kehidupan bermasyarakat, urusan publik, ia hanya relevan dalam kehidupan peribadi. Jadi masyarakat Barat sendiri tidak merasa kurang patuh dalam beragama, hanya agama itu sendiri yang sememangnya terbatas pada pandangan mereka. Bahkan mereka merasa cukup religious apabila pergi ke gereja seminggu sekali, membaca Bible sesekali, dan menjadikannya kitab sandaran ketika pemimpin negara bersumpah.

Apabila politik dipisahkan daripada agama, maka politik akan kehilangan dimensi kerohanian dan moralnya. Maka dalam berpolitik, seorang yang berpandangan sekular, akan melakukan apa saja yang dianggap perlu untuk meraih kekuasaan walaupun terpaksa berbohong, menjatuhkan orang lain, membantu orang yang zalim dan lain sebagainya seperti yang tercermin dalam The Prince karya Machiavelli. Ini yang dinamakan desacralization of politics sebagai bagian dari proyek sekularisasi.

Mengapa politik Barat menjadi sekular?

Politik di Barat menjadi sekular karena ketika agama dan gereja berkuasa masyarakat Barat berada dalam kegelapan. Agama tidak memberi kebebasan untuk manusia berfikir dengan kritis. Bahkan ada kecenderungan untuk mempertentangkan sains dengan agama. Selama ratusan tahun kemajuan sains disekat dan para saintis dieksekusi. Pengalaman pahit yang panjang ini menyebabkan masyarakat Barat secara kolektif memutuskan untuk menyempitkan peranan agama dalam kehidupan. Kesimpulan umum mereka adalah ketika agama dibawa ke pentas politik ia hanya akan membawa kemunduran dan konflik yang berkepanjangan.

Kesimpulan ini adalah kesimpulan yang pincang, karena ia merujuk kepada pengalaman satu bangsa yang tidak semestinya juga dialami oleh bangsa yang lain. Ia juga tidak mengambil kira kebenaran dan ketidakbenaran agama yang dimaksudkan. Pada hari ini sekularisme dan paham lainnya dipromosikan ke seluruh pelosok dunia sebagai satu solusi dan kebenaran mutlak. Dan malangnya umat Islam yang keliru terpengaruh dan tanpa disadari ikut mendukung dan melaksanakan paham Barat ini dalam segala bidang Baik itu politik, pendidikan, perundangan, ekonomi, dll.

Apakah Ummat Islam membutuhkan sekularisasi?

Penindasan terhadap sains dan saintis tidak pernah berlaku dalam Islam. Malah ketika perdaban Islam maju ilmu pengetahuan berkembang pesat dan para saintis serta ilmuwan diberikan penghargaan yang tinggi baik oleh penguasa mahupun oleh masyarakat. Dari fakta sejarah ini kita dapat menyimpulkan bahwa agama dan sains, akal dan wahyu, tradisi dan modernitas tidak pernah dilihat sebagai dua entitas yang bertentangan. Keduanya dapat hadir secara harmoni dan bergandengan.

Jika sekularisasi menjadi solusi kepada masyarakat Barat untuk maju, ia tidak pernah relevan apalagi menjadi pilihan dalam sejarah umat Islam. Bahkan sekularisasi di dunia tidak akan membawa kemajuan. Sesungguhnya ia malah akan mendatangkan lebih banyak kekeliruan serta masalah kepada bangsa dan negara. Kepincangan peradaban Barat hari ini sepatutnya sudah cukup membuka mata umat Islam agar tidak mengikuti paham-paham yang datang dari Barat.

Sebaliknya setiap individu perlu berusaha membangunkan bangsa dan negara masing-masing mengikut acuan sendiri yang berlandaskan kepada kebijaksanaan baik yang bersumberkan wahyu maupun dari ilmuwan agung terdahulu serta pengalaman dan sejarah yang patut dicontoh.

Apakah sekularisasi secara esensial, di negeri-negeri Barat atau di negeri muslim, seperti Turki, dapat dikatakan berhasil?

Sekularisasi di Turki menemui kegagalan. Ketika sesuatu ideologi dipaksakan kepada masyarakat ia tidak akan bertahan lama. Masyarakat hari ini semakin cerdas, mereka akan mempersoalkan segala kebijakan pemerintah. Pemerintah yang bisa menjelaskan dan berdialog secara ilmiah akan lebih diterima dibandingkan pemerintah yang memaksakan satu-satu pandangan dan pemikiran.

Di Turki, gerakan Islam semakin mendapat tempat di hati masyarakat karena apa yang diperjuangkan lebih dekat dengan jatidiri dan identitas mereka. Walaupun Islam telah ditindas tetapi ia tidak akan dapat dihapuskan. Sekularisasi di Barat juga sedang menemui jalan buntu. Pemikir-pemikir Barat pada awalnya memperkirakan semakin modern semakin ramai meninggalkan agama. Ternyata yang terjadi sebaliknya. Semakin masyarakat berfikir dengan cerdas semakin mereka ingin mencari kebenaran. Dan kebenaran tidak diberikan oleh filsafat Barat. Sebaliknya ia ada pada agama.

Apakah politik Islam, secara khusus sistem pemerintahannya, merupakan sebuah teokrasi?


Adalah satu kekeliruan apabila Islam dikaitkan dengan teokrasi. Ramai orientalis menghubungkan pemerintahan Islam pada zaman lampau sebagai sebuah sistem teokrasi. Begitu juga dari kalangan Islam, karena pemikiran yang konservatif, berpandangan bahwa hanya golongan ulama saja layak menjadi pemimpin. Golongan agama ini lantas diagungkan seolah-oleh mereka ma’sum. Konsep seperti ini tidak ada dalam tradisi Islam yang benar.

Konsep ulama’ dalam tradisi Islam tidak terbatas kepada golongan yang menguasai bidang-bidang keagamaan. Karena itu dalam Islam tidak ada istilah clergy (golongan agama). Sistem politik Islam adalah sistem Shura. Dalam sistem Shura ilmuwan terpilih dan para pemimpin dari berbagai lapisan membincangkan persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan umum. Keputusan syura sifatnya mengikat (binding). Imam tidak berhak memveto keputusan syura. Ini berarti ahl al-shura (badan legislatif) lebih tinggi kedudukannya daripada imam. Dan semua badan-badan pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun kehakiman mesti tunduk kepada syariah (supremacy of the Shari’ah). Secara mudahnya begitulah sistem politik Islam. Dan sistem ini sangat jauh berbeda dengan sistem teokrasi.

Bagaimana sesungguhnya kedudukan politik dalam Islam?

Politik amat penting dalam Islam. Imam al-Ghazali mengatakan agama dan politik itu seperti kembar, yang tidak akan sempurna tanpa adanya yang lain. Begitu juga Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa pemerintahan merupakan satu kewajiban agama yang paling besar. Ketika para ulama besar ini menekankan kepentingan politik, mereka tidak berarti politik adalah segala-galanya. Sehingga umat Islam harus menfokuskan segala usahanya untuk merebut kekuasaan politik.

Islam juga mementingkan ilmu dan pendidikan. Ini hakikat yang sering dilupakan oleh umat Islam, khususnya gerakan-gerakan Islam. Justru tumpuan perlu diberikan kepada pembenahan dan perbaikan (islah) karena kekacauan dan kerusakan yang ada pada hari ini adalah akibat dari kelalaian semua pihak: para pendidik, ibu bapa, pemerintah, ulama, dsb. jika perubahan pada individu dan masyarakat berjaya dilakukan maka perubahan dalam bidang politik akan mengikuti.

Jadi menurut saya perubahan tidak berlaku dari atas tetapi dari bawah. Kesadaran perlu ada. Barulah perubahan dapat dilaksanakan atas keinginan sendiri dan bukan karena paksaan. Kita juga menyaksikan banyak usaha untuk mengubah dari atas akhirnya menemui kegagalan. Karena itu Rasulullah tidak mau menerima tawaran untuk menjadi raja kaum Quraisy.

Apa tantangan bagi Muslim dalam perpolitikan kontemporer?

Kita perlu membedakan antara penolakan terhadap ideologi yang mendasari demokrasi dengan penolakan terhadap demokrasi sebagai satu sistem pemerintahan. Pada hari ini masyarakat dunia hanya dihadapi dengan dua pilihan: Satu sistem yang menjanjikan keterbukaan, kebebasan memlih bagi rakyat iaitu demokrasi dan satu lagi sistem yang despotik dan otoriter.

Kita sebenarnya bisa memilih sistem yang ketiga yaitu sistem politik Islam yang berlainan dengan sistem demokrasi Barat dan juga sistem teokrasi maupun otoritarian. Umat Islam seharusnya memilih sistem syura. Tetapi ia belum mampu dilaksanakan karena masih banyak kekeliruan di kalangan umat Islam. Bahkan di kalangan sarjana Muslim sendiri masih banyak kekeliruan. Di sinilah peranan para sarjana.

Muslim yang memiliki kerangka dan worldview Islam yang betul dalam meluruskan kekeliruan dan kekusutan yang ada. Sebelum membangunkan sistem politik Islam agar siap untuk diaplikasikan. Selama kekeliruan ini berleluasa, sistem politik Islam hanya akan disalahfahami dan didistorsi sehingga umat Islam sendiri takut dengan politik Islam.

Apa pesan Ustadz untuk para aktivis dakwah dalam menghadapi situasi politik kontemporer, yang kadang bagai buah simalakama?

Melihat kondisi umat Islam hari ini penolakan total terhadap sistem demokrasi, khususnya dalam tataran praksis, tidak praktikal. Karena umat Islam tidak hidup dalam suasana vakum tetapi perlu bertarung dengan ideologi dan sistem yang sudah mapan dalam masyarakat. Hanya setelah kesadaran akan perlunya sistem Islam dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan tersebar di kalangan masyarakat Islam maka sistem politik Islam dapat dilaksanakan. Dengan arti kata lain sistem Islam perlu dilaksanakan dengan keinginan rakyat sendiri dan bukan dari atas ke bawah atau melalui perebutan kuasa.

Dalam tataran praksis atau kehidupan harian umat Islam hari ini tidak mempunyai banyak pilihan. Aspirasi politik perlu diperjuangkan dan keadaan umat Islam akan lebih baik jika pemimpin yang terpilih, walaupun secara demokrasi liberal, dari kalangan aktivis Muslim. Jadi ketika demokrasi dilaksanakan di negara-negara Muslim, walaupun kadang-kadang tidak tulus dan tidak sepenuh hati, ia mesti dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam.

Oleh karena itu ramai sarjana Muslim kontemporer mengatakan bahwa gerakan Islam mesti memanfaatkan sistem demokrasi untuk menghapuskan sistem otoriter dan kuku besi yang menguasai banyak negara-negara Muslim. Keperluan akan hal ini semakin jelas dalam konteks negara-negara Arab yang dikuasai oleh rejim-rejim otoriter. Berhubung perkembangan terkini politik tanah air, bagi saya yang mesti dilakukan oleh umat Islam dalam hal ini adalah bersikap kritis dan cerdas dalam menanggapi persoalan politik. Kita harus bisa berfikir di luar lingkungan partai politik tertentu, bahkan kelompok tertentu. Untuk menanggapi setiap persoalan berdasarkan kepada ilmu yang benar, bukan fanatisme golongan dan taassub kepada tokoh atau aliran tertentu.

Saya juga berpendapat, para aktivis partai juga harus lebih mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan umat berbanding kepentingan partai dan kekuasaan. Mereka tidak harus berpendirian pragmatis, karena pragmatisme juga kesan dari sekularisme dan sofisme moden (postmodernisme).

*Wawancara berikut dimuat majalah atTafakkur Edisi V (Jumadil Akhir 1430/Mei 2009)