Tasyakur Pembebasan Tapol Orde Lama
Bagikan

Tasyakur Pembebasan Tapol Orde Lama

Acara tasyakur pembebasan tahanan politik, yang sebagian besar berasal dari pemimpin-pemimpin Islam, dilaksanakan di Masjid Agung al-Azhar pada 16 Agustus 1966. (Foto: "Panji Masyarakat" edisi 1, 5 Oktober 1966/21 Djumadilachir 1386, hlm. 18-19)

Di masa Orde Lama, sebagian besar tokoh-tokoh yang berseberangan pemerintah dipenjarakan secara semena-mena tanpa proses hukum yang jelas. Di antaranya adalah tokoh-tokoh umat Islam dari Partai Masyumi, seperti M. Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, M. Isa Anshary, Hamka, M. Yunan Nasution, Kasman Singodimedjo, dll. Selain mereka, ditahan pula mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan wartawan yang juga sastrawan, Mochtar Lubis.

Masa penahanan mereka beraneka ragam. Ada yang "hanya" sekitar dua tahun seperti Buya Hamka, ada pula yang empat tahun seperti M. Natsir dan Sutan Syahrir. Setahun selepas Gestapu, para tahanan politik Orde Lama ini dibebaskan. Hanya Sutan Syahrir tidak sempat merasakan kebebasan karena terserang stroke pada tahun 1965 dan meninggal dunia setahun kemudian di pengasingan dengan status sebagai tahanan politik.

Dua hari setelah Kabinet Ampera dilantik pada akhir Juli 1966, M. Natsir dan rekan-rekannya yang terlibat dalam PRRI-Permesta seperti Sjafruddin, Burhanudidin Harahap, dan Mr. Assaat dibebaskan. Kira-kira dua minggu setelahnya, tepatnya pada 16 Agustus 1966, diadakanlah tasyakuran pembebasan para pemimpin Islam ini di Masjid Agung al-Azhar, Jakarta. Majalah Panji Masyarakat edisi pertama setelah dibreidel Orde Lama merekam peristiwa bahagia ini. Umat Islam akhirnya bisa berada dekat kembali dengan para pemimpin mereka.

"Nampaklah Mesjid Agung tsb. menjadi arena yang penuh berjubal manusia yang hanya ingin melihat terutama ingin hendak mendengar suara bapak-bapaknya yang telah bertahun-tahun lamanya meringkuk di tahanan politiknya kaum kontra keadilan dan kebenaran. Hal tsb. dapat dibuktikan dengan berjejalnya manusia yang kepanasan karena harus berdiri di luar. Bahkan di lapangan aula mesjid sendiri telah menjadi padat, sedang para petugas sendiri nampak kewalahan oleh keadaan yang sedemikian hebatnya. Namun demikian rakyat yang berjubal itu nampak tenang dan tetap mengikuti jalannya acara dengan penuh khidmat." (Panji Masyarakat edisi 1, hlm. 18)

Mantan tahanan politik seperti M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Mr. Assaat, Isa Anshary, dan Imron Rosjadi menghadiri acara tersebut. Dua orang ulama besar Jakarta, K.H. Mansur dan K.H. Abdullah Syafii juga turut hadir dalam tasyakur ini.

Beberapa unit drumband dari korps drumband HMI, PII, Pemuda Anshor, GASBIINDO, Pemuda Muhammadiyah, dll. turut memeriahkan acara ini dengan seragam mereka yang berwarna-warni dan menarik perhatian.

Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Partai Masyumi terakhir yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia, dalam pidato penyambutannya menyampaikan rasa syukur karena dapat berada di dalam suasana kebebasan, yang berkebalikan dari suasana setahun yang lalu yang penuh dengan kekhawatiran dan ketakutan. Beliau menyampaikan bahwa suasana kebebasan semacam ini hanya dapat tercapai berkat nikmat dan karunia Allah yang sangat besar.

Beliau juga menyampaikan bahwa nikmat yang dirasakan saat itu adalah nikmat multikompleks, yang tidak hanya dirasakan oleh para tahanan politik yang baru dibebaskan. Nikmat ini juga dirasakan oleh setiap individu dan seluruh rakyat Indonesia yang telah menjadi tahanan politik orde lama yang telah mengungkung kebebasan setiap individu.

Prawoto juga mengingatkan bahwa adalah sunatullah jika dalam setiap usaha yang positif terdapat reaksi-reaksi yang negatif dan betapa pentingnya bagi kita untuk belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh diri kita sendiri maupun orang lain.

“Tiap-tiap kita yang mau belajar dari pengalaman-pengalaman kita sendiri, dari pengalaman-pengalaman orang lain, dari pengalaman-pengalaman orang di luar negeri, pasti sadar, bahwa kekuatan-kekuatan reaksi itu adalah sangat besar dan ulet, dan tidak mudah dipatahkan. Meremehkannya saya kira bisa menjadi dosa bersama yang besar, yang akibatnya akan dipikul oleh bangsa dan negara untuk waktu yang tidak berketentuan lamanya. Alangkah besarnya nikmat yang dilimpahkan kepada kita sekalian, jika sekiranya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih menghilangkan kecenderungan untuk meremehkan ini dari kalbu kita sekalian.

Allahu Akbar—Allahu Akbar—Allahu Akbar!”

(Panji Masyarakat edisi 1, hlm. 30)

Semoga Allah SWT. merahmati para pemimpin-pemimpin kita di masa lalu ini dan kita yang hidup di masa sekarang dapat mengambil hikmah dari perjuangan mereka.

Diolah dari:
Panji Masyarakat edisi 1,  5 Oktober 1966/21 Djumadilachir 1386, hlm. 11, 18-19, 30.

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia: Peran dan Jasa Mohammad Natsir dalam Dua Orde Indonesia (Bandung: Penerbit Mizan, 2010).