Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang Jiwa: Sebuah Pengantar Ringkas
Bagikan

Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang Jiwa: Sebuah Pengantar Ringkas

Manusia adalah makhluk hidup yang berbahasa (a language animal) atau makhluk hidup yang berbicara (al-hayawan al-natiq). Bagi Al-Attas, intelek merupakan substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenal kebenaran dan membedakannya dengan kesalahan.

Pembahasan Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengenai manusia tertuang dalam beberapa karyanya. Dua di antaranya adalah The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990) dan The Meaning and Experience of Happiness in Islam (1993). Al-Attas menyandarkan pemahamannya tentang manusia kepada Al-Qur’an dan hadith. Selain itu, beliau juga merujuk pemikiran ahli tasawuf seperti Sahl At-Tustari (m. 283/896 EB), Al-Junayd (830--910 EB), Abu Bakr Al-Kalabadhi (m. 380 H/990 EB), Abu Nasr Al-Sarraj (m. 988 EB), Abu Al-Qasim Al-Qushayri (376--465 H/986-1072), Ali Al-Hujwiri (990--1077 EB), Ibn Arabi (560-638 H/1165--1240 EB), Sadr ad-Din Al-Qunyawi (605-673 H/1207--1274 EB), Abd Ar-Rahman Al-Jami (817-898 H/1414--1492 EB) dan Imam Al-Ghazali (1058/1111 EB). Pemikiran para filsuf seperti Ibn Sina (980--1037 EB) juga banyak menginspirasi pemikiran Al-Attas tentang konsep manusia. Meski dipengaruhi banyak pemikir, Al-Attas tetap membangun pemikirannya sendiri yang memiliki perbedaan dengan para pemikir sebelumnya, khususnya dengan Ibn Sina.

Salah satu pembahasan paling menarik mengenai manusia ialah pembahasan masalah jiwa. Persoalan ini dibahas oleh banyak pemikir dari berbagai peradaban. Para filsuf Yunani kuno sebelum Socrates telah mengemukakan pandangan mereka tentang jiwa (ψυχή, psuché). Aristoteles dalam bukunya De Anima (Tentang Jiwa) membahas tentang jiwa. Di dalam buku itu, tertuang pendapat Phytagoras, Leucippus, Democritus, Anaxagoras, Plato, dan filsuf lainnya mengenai jiwa. Pemikiran para filsuf Yunani kuno ini (khususnya pemikiran Aristoteles, Plato, dan Plotinus) mewarnai pemikiran para pemikir Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, Imam Al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan yang lainnya.

Pemikiran Al-Attas mengenai manusia, khususnya perihal jiwa, perlu dilihat sebagai suatu kesinambungan pembahasan dari pemikiran para filsuf Muslim. Namun, Al-Attas mengayakan pemahaman para filsuf yang sudah disebutkan dengan menyertakan perenungan para ahli tasawuf dalam pemahaman para filsuf tersebut.

Manusia

Syed Naquib Al-Attas, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, menyebutkan kata manusia (insan) berasal dari kata nasiya, yang artinya: lupa. Bagi Al-Attas, manusia lupa dengan mithaq1 antara dirinya dengan Tuhan-Nya. Mithaq merupakan perjanjian manusia kepada Tuhan sebelum manusia itu wujud di alam dunia. Manusia berjanji kepada Allah untuk patuh menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibn Abbas menyebut manusia sebagai insan karena setelah adanya mithaq dengan Tuhan, manusia lupa untuk melakukan tugas dan tujuannya.2 Menurut Al-Attas, kelupaan tersebut menjadi penyebab ketidaktaatan manusia dan menggiringnya untuk bertindak tidak adil (zulm) dan bodoh (jahl). Salah satu penyebab kelupaan dari manusia akan janjinya adalah kelahiran.

Namun, Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan, daya, dan visi untuk memahami kebenaran. Tuhan telah pula menunjukkan kepada manusia perbuatan yang benar dan yang salah. Sepatutnyalah manusia berusaha memilih dan melakukan perbuatan yang berguna bagi kebaikan dirinya. Kebebasan (ikhtiyar), dalam pandangan Al-Attas, adalah memilih yang lebih baik. Kemampuan untuk memilih ini ada pada diri manusia. Allah telah pula melengkapi manusia dengan akal untuk mengetahui yang benar dan yang salah, membedakan kebenaran dari kesalahan. Al-Attas menyatakan manusia dianugerahi daya imajinasi dan daya estimasi oleh Allah Swt. Kedua daya ini mungkin dapat saja membingungkan dirinya apabila tidak digunakan dengan benar. Akan tetapi, bagi manusia yang ikhlas dan bersikap benar terhadap tabiatnya yang mulia, Tuhan, dengan anugerah-Nya, rahmat dan kasih-Nya, akan membantunya dan membimbingnya meraih kebenaran.3

Kemampuan dan daya yang dianugerahkan Allah kepada manusia menjadikannya mampu untuk menanggung amanah sebagai khalifah Tuhan di bumi. Manusia menanggung amanah dan tanggung jawab untuk mengatur kehidupan di bumi sesuai dengan tuntunan-Nya, kehendak-Nya, dan ridha-Nya. Amanah, bagi Al-Attas, memberi dampak tanggung jawab. Pengaturan yang dilakukan manusia harus disertai dengan keadilan. Pengaturan yang dimaksud tak hanya pengaturan dalam persoalan sosial politik atau pengaturan alam dalam makna ilmu pengetahuan. Pengaturan yang juga penting dan lebih mendasar adalah mengatur, mengontrol, dan memelihara dirinya atau jiwa rasionalnya.4

Jiwa manusia memiliki banyak nama, meski entitasnya tetap satu. Hal ini terjadi karena kondisi aksiden. Tatkala ia terlibat dengan intelektual, ia disebut intelek (intellect); ketika ia mengatur raga, ia disebut jiwa (soul); ketika terkait dengan iluminasi intuitif, ia disebut hati (heart); ketika ia kembali kepada dunianya yang abstrak, ia disebut ruh (spirit).5

Dalam pandangan Al-Attas, hati, jiwa, ruh, dan akal merujuk kepada sesuatu yang tidak terbagi, entitas yang identik.6 Hati, jiwa, ruh, dan akal adalah substansi spiritual. Entitas ini adalah sesuatu yang menjadi esensi manusia. Ia adalah al-latifah al-ruhaniyah, sesuatu yang dicipta, tetapi abadi dan tidak dapat dibatasi dengan ruang dan waktu; ia menyadari dirinya dan merupakan lokus bagi hal-hal yang intelek. Dengan demikian, manusia dapat mengetahui jiwanya melalui intelek dan dengan mengamati aktivitas yang berasal darinya.

Al-Attas juga menyebutkan, hati (heart), jiwa (soul) atau diri (self), ruh (spirit) dan akal (intellect) merupakan aspek-aspek jiwa yang satu, namun berbeda fungsinya. Kesemua aspek itu merujuk kepada dua entitas: pertama, merujuk kepada materi atau aspek jasmani manusia atau jasad (body); kedua, merujuk kepada nonmateri dan aspek spiritual atau kepada jiwa manusia.7 Secara umum, dari pandangan etika, makna pertama menunjukkan aspek sifat-sifat buruk yang melekat pada kekuatan jiwa makhluk hidup yang juga terdapat dalam aspek jasmani manusia. Ini perlu diatur dengan iman yang benar dan amal shalih. Tanpa pengaturan yang benar terhadap aspek ini, manusia akan jatuh pada kehinaan. Ia akan lebih hina dari binatang. Makna kedua merujuk kepada realitas manusia dan kepada esensinya, seperti hadis Nabi yang menyebutkan, siapa yang mengetahui dirinya akan mengetahui Tuhannya.8 Makna kedua inilah yang seharusnya membimbing yang pertama.

Sebagaimana pendapat umum di kalangan umat Islam dan yang termuat di dalam Al-Qur’an, Al-Attas mengelompokkan tiga jenis jiwa manusia. Jenis pertama: al-Nafs al-Mutmainnah (Al-Fajr [89]: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Jenis kedua: jiwa yang seperti bala tentara yang terlibat dalam perang yang berkelanjutan. Terkadang jiwa tersedot ke kekuatan intelektual (intellectual powers) dan mendekat kepada Tuhan, dan terkadang kekuatan jiwa (animal powers) mendorongnya ke arah yang hina. Kondisi jiwa dalam kebimbangan seperti ini adalah al-Nafs al-lawwamah (Al-Qiyamah [75]: 2).  Jenis ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su’ (Yusuf, 12: 53), adalah jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan.9

Al-Attas juga bersepakat dengan pendapat umum di antara para filsuf. Bukan hanya manusia yang memiliki jiwa, hewan dan tumbuhan pun berjiwa. Al-Attas menyatakan, ketika jiwa terlibat dengan raga, maka jiwa memiliki daya. Tumbuhan memiliki daya nutrisi (al-ghadiyyah), daya pertumbuhan (al-namiyah), dan daya reproduksi (al-muwallidah). Ketiga daya ini juga terdapat dalam manusia dan hewan. Selain ketiga daya tersebut, manusia memiliki daya kemauan (al-muharrikah) dan daya persepsi (al-mudrikah). Secara universal, jiwa seperti sebuah genus, yang memiliki spesies jiwa vegetative (al-nabatiyyah), hewan (al-hayawaniyyah), dan rasional (al-natiqah).10

Al-Attas, sebagaimana pandangan tradisional, mendefinisikan manusia sebagai mahkluk rasional (rational animal). Manusia adalah makhluk hidup yang berbahasa (a language animal) atau makhluk hidup yang berbicara (al-hayawan al-natiq). Bagi Al-Attas, intelek merupakan substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenal kebenaran dan membedakannya dengan kesalahan.11 Al-Attas menyatakan:

The intellect is then a spiritual substance by which the rational soul recognizes truth and distinguishes truth from falsity. It is the reality that underlies the definition of man, and is indicated by everyone when he says “I”.12

Dalam pandangan Al-Attas, jiwa manusia memiliki lima indra eksternal (sentuh, penciuman, rasa, penglihatan, dan pendengaran). Selain itu, jiwa manusia juga memiliki pancaindra internal, yaitu indra bersama (common sense= al-hiss al-musytarak), representasi (representation= al-khayaliyyah), estimasi (estimation= al-wahmiyyah), rekoleksi (retention/recollection=al-hafizah/al-dhakirah), dan imaginasi (imagination= al-khayal/al-mutakhalliyyah).13

Jiwa dan Raga

Al-Attas menolak pendapat Ibn Sina bahwa jiwa dan raga ada bersamaan. Pandangan ini didorong oleh pandangan khas kaum esensialis. Bagi Aristoteles, jiwa tidak bisa ada tanpa jasad. Jiwa juga bukan jasad, tetapi jiwa sesuatu yang relatif kepada jasad. Jiwa ada di dalam jasad. Aristoteles mengatakan: “Hence the rightness of the view that the soul cannot be without a body, while it cannot be a body; it is not a body but something relative to a body.”14

Aristoteles berpendapat, jiwa tidak dapat dilepaskan dari jasad karena menurutnya jiwa adalah substansi. Bagi Aristoteles, substansi adalah materi, bentuk, dan gabungan antara materi dan bentuk. Jiwa merupakan gabungan antara materi dan bentuk. Jika materi adalah potensialitas, maka bentuk merupakan aktualitas. Bagi Aristoteles, the soul is the first grade of actuality of a natural body having life potentially in it.15   

Pendapat Ibn Sina tentang jiwa terwarnai oleh pemikiran Aristoteles ini. Dalam pandangan Ibn Sina, jiwa mustahil ada sebelum adanya jasad. Jiwa dan jasad hadir bersamaan. Kehadiran jiwa bersama jasad bahkan merupakan keharusan. Bagi Ibn Sina, tidak ada jiwa, tanpa jasad, dan sebaliknya. Keberadaan jiwa sebelum jasad adalah mustahil. Ibn Sina menyatakan sebagai berikut.

It is impossible for the soul to exist before the body. For then there will have to be either a plurality of souls or one soul. A plurality of souls is impossible. For in their prior existence these souls are immaterial and since matter is the individuating principle, these souls cannot be many. But the supposition of the existence of one soul is equally impossible. For then the soul of an individual like Zayd would be identical with the soul of an individual like ’Amr. This is absurd. If then, in the supposed prior existence their can be neither plurality of souls nor one soul, the prior of existence of soul to body. The soul cannot exist without the body but must exist with the body.16  

Bagi Al-Attas, jiwa sudah ada sebelum raga. Inilah al-mithaq. Ini juga pandangan kaum eksistensialis. Pandangan ini juga sesuai dengan pandangan ahli tasawuf seperti Al-Junayd, Al-Kalabadhi, dan yang lainnya.17

Kebahagiaan

Dalam pandangan Al-Attas, kebahagiaan (al-sa’adah) mencakup kebahagiaan di akhirat dan kebahagiaan di dunia. Kebahagiaan di akhirat merupakan puncak kebahagiaan (ultimate happiness), keberuntungan dan kebahagiaan abadi, yang tertinggi adalah melihat-Nya (the vision of God), dan yang dijanjikan kepada siapa yang, di dunia, hidup dengan penyerahan diri dan kesadaran yang tulus (willing submission and conscious) dan patuh kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bagi Al-Attas, kebahagiaan akhirat sangat terkait dengan kebahagiaan dunia. Keterkaitan ini mencakup tiga hal: (1) kepada dirinya (nafsiyyah) seperti memiliki ilmu dan akhlak yang baik; (2) kepada jasmani (badaniyyah) seperti kesehatan dan keamanan yang baik; (3) kepada sesuatu yang eksternal kepada diri dan jasmani (kharijiyyah), seperti kekayaan dan sebab-sebab lain yang mempromosikan kebaikan diri, jasmani, dan sesuatu yang eksternal dalam kaitannya dengan hal tersebut. Oleh sebab itu, Al-Attas menegaskan, kebahagiaan di dunia bukan hanya kepada kehidupan sekular, melainkan kebahagiaan juga terkait dengan kehidupan yang ditafsirkan dan dibimbing dengan agama yang sumbernya adalah Wahyu.18

Kebahagiaan bukan sekadar mengenai unsur fisik, bukan juga mengenai jiwa hewan dan raga manusia, bukan juga kondisi akal ataupun perasaan yang mengalami berbagai kondisi, bukan juga kesenangan dan hiburan. Kebahagiaan terkait dengan keyakinan tentang Kebenaran Akhir dan melakukan aksi yang sesuai dengan keyakinan tersebut. Keyakinan tersebut adalah kondisi kesadaran permanen yang alami kepada yang permanen dalam manusia dan dipahami oleh organ spiritual pengetahuan, yaitu hati; aman dan nyaman serta ketenangan hati; ilmu pengetahuan dan iman yang benar. Pengetahuan tentang Tuhan: sebagaimana yang Dia gambarkan mengenai Dirinya dalam Wahyu yang asli; juga mengetahui dengan posisi dan kedudukannya yang tepat dalam ruang penciptaan dan keterkaitannya dengan Pencipta yang dibarengi dengan perbuatan yang sesuai dengan ilmu sehingga kondisi seperti ini menghasilkan keadilan. Hanya melalui ilmu, cinta Tuhan dapat diraih, dan tujuan kebahagiaan adalah cinta Tuhan. Di kehidupan duniawi, ada dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama: pada level psikologis; pada tingkatan kedua, spiritual, permanen dan pengalaman yang disadari menjadi substratum dari kehidupan duniawi yang diafirmasi kepada percobaan.19 Kebahagiaan di akhirat sangat terkait dengan kebahagiaan di dunia. Dalam pandangan Al-Attas, kebahagiaan terkait dengan kondisi permanen dalam jiwa rasional kepada pengetahuan dan keimanan, perbuatan baik, dan meraih kondisi adil.20 

Bagi Al-Attas, konsep keadilan bukanlah konsep yang merujuk kepada keadaan yang terkait dengan hubungan antara dua orang dan lainnya, atau antara masyarakat dan negara, atau antara yang diatur dan yang mengatur, atau antara raja dan rakyatnya. Tetapi, adil adalah juga terhadap dirinya sendiri.  Al-Attas menegaskan, konsep ketidakadilan bisa dilakukan kepada dirinya sendiri.

Dalam pandangan Al-Attas, kebebasan adalah ikhtiyar, bukan hurriyyah.22 Kebebasan (ikhtiyar) adalah memilih sesuatu untuk yang lebih baik. Kebebasan, bagi Al-Attas, adalah berbuat menurut tuntutan sifat-dasarnya yang benar (to act as his true nature demands).23

Bagi Al-Attas, lawan kata dari as-saadah adalah ketidakbahagiaan (as-shaqawah). Dalam konteks masyarakat Barat, al-shaqawah merujuk kepada tragedi. Dalam pandangan Al-Attas, tragedi bukan sekadar suatu seni dalam sebuah drama, tetapi tragedi merupakan suatu realitas hidup di tengah masyarakat Barat, tragedi yang disebabkan karena penolakan terhadap agama dan berpaling dari Tuhan.24


Tulisan ini merupakan makalah pengantar dalam Kuliah Filsafat Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, DISC Masjid UI, 2015

____________________________________________________________________________________________

1 Allah berfirman yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), “Bukanlah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab, “Betul (engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,”Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” QS Al-A’raf (7): 172.
2
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization [ISTAC], 1995). hlm. 144. Selanjutnya disingkat Prolegomena. 
3
Ibid., hlm. 145.
4
Ibid.
5
Prolegomena, hlm. 148.
6
Fakhruddin Al-Razi menyebutkan istilah an-nafs (jiwa), al-aql (akal), ar-ruh (ruh) dan al-qalb (hati) merujuk kepada substansi jiwa (jawhar al-nafs) dan terkadang juga bermakna selain itu. An-nafs merujuk kepada akhlak yang tercela (al-akhlaq al-dhamimah). Al-aql merujuk kepada ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-dharuriyah). Ar-ruh merujuk kepada anggota jasad tertentu yang terindera (al-‘adw al-makhsus al-mahsus). Lihat Fakhr Al-Din Al-Razi, Kitab Al-Nafs wa Al-Ruh wa Sharh Quwahuma, hlm. 78.
7
Ibid., hlm. 146.   
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 147.
10
Ibid., hlm. 148-9.
11
Ibid., hlm. 122.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 150--154.
14
Aristoteles, On The Soul, hlm. 644.
15
Ibid., hlm. 642.
16
Dikutip dari Noor Shakirah Mat Akhir, Al-Ghazali and Soul; Comparative Context and Paradigms (Disertasi di Universitas Leeds, 2000), hlm. 212.
17
Prolegomena, hlm. 174.
18
 Ibid., hlm. 91--92.
19
Ibid., hlm. 35--36.
20
Ibid., hlm. 65.
21
Ibid.
22
Ibid., hlm. 33.
23
Ibid., hlm. 52
24
Ibid., hlm. 99--100