Politik Indonesia Kontemporer: Sudut Pandang Bang Sanip (Bukan Nama Sebenarnya)
Bagikan

Politik Indonesia Kontemporer: Sudut Pandang Bang Sanip (Bukan Nama Sebenarnya)

Seharusnya kita yang suka ribut di media sosial itu bersyukur masih bisa ribut, masih bisa saling merendahkan dan menghujat satu sama lain. Di luar sana, di luar laman-laman maya yang mendominasi pikiran dan waktu kita, masih banyak orang seperti Bang Sanip

Melihat keadaan politik kita akhir-akhir ini yang terasa dan keliatan semakin menggawat membuat sayamerasa perlu untuk menemui sohib saya. Bang Sanip, seperti disebut dalam judul,bukan nama sebenarnya. Penyamaran nama ini dilakukan agar diri Bang Sanipbeserta keluarga senantiasa aman. Maklum, musim pembungkaman. Apalagi pendapatBang Sanip sering kali mengarah kepada subversif. Meski Orde Baru sudah tamat,mentalitas kekuasaannya masih sering muncul. Jadi penting untuk melindungi BangSanip.

Setelah panjang lebar mengisahkan pendapat dan telaah sayaterhadap keadaan bangsa dewasa ini, saya menunggu pendapat Bang Sanip. Sayatatap lekat-lekat wajahnya yang penuh gurat-gurat ketegasan (atau penderitaan?Kurang jelas memang).

“Bagaimana pendapat Bang Sanip?” ujar saya mantap.

Bang Sanip tak segera menjawab. Ia malah menyeruput kopinya.Ruap harum kopi menguap di udara. Sedikit kepul masih tersisa di atas gelas. Iamenarik dan kemudian mengembuskan napas agak dalam. Seperti menyulurkan segalabeban ke udara. Matanya kemudian menerawang. Seperti memikirkan banyak hal. Inipasti soal bangsa ini. Memang berat memikirkan bangsa.

Tapi ia tak juga menjawab. Hampir semenit lebih. Cuma heningdi bale-bale itu. Meja-kursi kayutetap diam (ya emang mau ngapain?). Udara memberat karena asap rokok. Waktuseperti lambat memanggul detik satu demi satu. Hening. Bang Sanip melamun.

“Bang,” saya mencoba memecah hening.

“Hah?” Bang Sanip agak terkaget.

“Apaan?” Bang Sanip kayak baru sadar saya hadir di dekatnya.

“Itu, Bang, gimana pendapat Bang Sanip perihal apa yang sayapaparkan panjang lebar tadi?” Saya tetap memburu pendapat Bang Sanip.

“Ah, elu mah ngomongin politik melulu. Kayak yang ngertiaja.”

Ini dia yang saya maksud sebagai subversif. Acuh terhadappolitik, tak peduli, dan bias.

“Minggu kemaren anak ane masuk rumah sakit. Kena DBD. Ngutanglagi dah. Yang dulu aja belum kebayar, nambah lagi,” Bang Sanip malah ceritakesengsaraannya.

Pembicaraan akhirnya dipenuhi oleh kisah-kisah keseharianBang Sanip yang susah. BPJS dan KJP tidak serta-merta menyingkirkankesengsaraan. Atau pilkada dan pemilu. Pergantian pemimpin tidak meniscayakanperubahan-perubahan yang berarti bagi kemanusiaan Bang Sanip.

“Bang Sanip nggak ikutan demo?” tanya saya kemudian.

“Pengen sebenernya, tapi kan musti kerja. Bukannya nggakpeduli, tapi nggak semua orang bisa ninggalin kerjaan atau jalan kaki ke Monas”ujarnya agak nelangsa.

“Setelah demo kemarin, penghasilan nambah, Bang?” sayapenasaran. Apa sebenarnya yang dirasakan Bang Sanip dari demo itu?

“Sama aja. Buat orang kecil kaya saya mah yang pentingberusaha. Kalau nggak usaha, emang siapa yang mau peduli?” jawabnya sepertiacuh terhadap kehidupan.

Bang Sanip itu penjaga perlintasan kereta partikelir.Penghasilan tetapnya cuma Rp 300 ribu sebulan. Sisanya harus mengharap“kencleng” 1.000-2.000 dari orang-orang yang lewat perlintasan kereta yang iajaga. Semakin hari, semakin sedikit orang yang peduli untuk menyisihkan1.000-2.000 itu. Keselamatan bersama yang dikelola bersama semakin tak berarti.Kebetulan yang lewat situ kebanyakan mahasiswa yang lebih suka dan percaya padagubernur galak daripada menghargai usaha partikelir begitu.

***

Politik di mata orang-orang macam Bang Sanip memang semakintak bermakna. Perlu diketahui, Bang Sanip tidak punya HP Android dan akunFacebook. Twitter dan Instagram juga tidak punya. Tapi tolong jangan tertawakanBang Sanip. Tidak semua orang “beruntung” dan bisa bermedia sosial. Bang Sanipdengan demikian tak terpapar pertarungan kelas cie-cie-an sampai hujat-hujatan di internet. Dia juga tidakterlibat perang tanda pagar. Bang Sanip tidak punya alat dan waktu untuk itusemua.

Hidup Bang Sanip berliku dari satu kebertahanan menujukebertahanan lainnya. Laku politik para politisi dan para pendukungnya terlihattidak nyata dalam pandangan lelaki penjaga perlintasan kereta itu. Bang Sanipialah orang di luar keributan, di luar pertarungan, dan tak terperhatikan.Namun, selalu diperebutkan tiap pemilihan.

Seharusnya kita yang suka ribut di media sosial itu bersyukurmasih bisa ribut, masih bisa saling merendahkan dan menghujat satu sama lain.Di luar sana, di luar laman-laman maya yang mendominasi pikiran dan waktu kita,masih banyak orang seperti Bang Sanip. Tidak bisa berkomentar dan tidak bisamengungkapkan pikiran tentang presiden di media sosial. Bang Sanip kan nggakpunya media sosial.

Sementara kita semakin berani mengkritik siapa saja, termasukpresiden dan pejabat lainnya. Kita makin suka menghujat pejabat dan ada pejabatyang makin suka menghujat kita. Politik kita ialah politik saling hujat dansaling hardik, saling tuntut dan saling ancam. Saling merasa lebih kuat, lebihtinggi, sembari merasa yang lain rendah dan lemah. Begitu terus-menerus. Nyaristanpa kesadaran.

Dan di tengah keributan semacam itu, Bang Sanip harus mencariutangan untuk membayar utang. Kelak dia harus mencari utangan lagi untukkembali membayar utangnya. Utangnya selalu semakin banyak dan hidupnya semakinberat. Terus dan terus berhutang. Sementara kita terus ribut tentang benar dansalah. Tentang menang dan kalah.

Kalau Bang Sanip kenapa-kenapa (misalnya tewas tertabrakkereta), tentu kita akan berlomba-lomba menjadi yang paling memilikikepedulian. Menjadi yang terdepan dalam membela Bang Sanip. Kita akanmenyebarkan berita kemalangannya, akan menyesalkan nasibnya, lewat tanda pagar.

***

“Jadi, gimana pendapat Abang soal politik sekarang ini?”Rasanya masih penting untuk mengejar pendapat Bang Sanip.

“Sekarang mah terserah ajalah pemimpin-pemimpin kita mau ngapain. Terserah juga orang-orang maungapain. Mau bikin partai kek, mau bubarin partai, terserah aja. Yang pentingane bisa pinjem duit 300 rebu buat bayar utang kemaren,” katanya semakin ketus.

Itulah pandangan politik Indonesia masa kini dari kacamataBang Sanip. Akhirnya saya punya bahan tulisan untuk saya sebar di media sosialsaya.