Pidato M. Natsir tentang Pembentukan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia
Bagikan

Pidato M. Natsir tentang Pembentukan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia

Tulisan ini diambil dari pidato Buya Natsir saat peringatan kesebelas milad Partai Masyumi pada tanggal 7 November 1956. Sumber tulisan ada pada Harian Abadi, Jakarta, pada tanggal 9, 10, dan 12 November 1956.

Tanggal 7 November 1945 adalah momen bersejarah dalam perhajatan hidup republik ini. Pada tanggal itu, beramai ulama dan kalangan Muslim lainnya berpadu hati membuat sebuah wadah politik bersama. Sebuah organisasi partai politik yang bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia, atau kemudian biasa dikenal dengan nama singkatnya: Masyumi.

Sebagai wadah politik umat Islam kala itu, Masyumi memiliki keunikan dari segi keragaman anggotanya. Anggota partai itu berasal dari dua kelompok umat Islam yang berbeda secara tradisi dan budayanya. Dalam memandang para anggota Masyumi ini, kita dapat meminjam istilah yang digunakan oleh beberapa orientalis meskipun pengistilahan ini tidak sepi dari kritik. Kalaulah boleh meminjam istilah pengamat Barat itu, anggota-anggota Masyumi terdiri atas kelompok budaya dan tradisi tradisionalis dan kelompok budaya dan tradisi modernis.

Dari kelompok modernis, Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan juga beberapa elemen lainnya menjadi pengisinya. Dari kelompok budaya tradisionalis, Nahdlatul ulama adalah isi utamanya.

Mengenai cikal bakal munculnya Masyumi ini, dalam peringatan milad partai ini tahun 1956, Mohammad Natsir, ketua Masyumi saat itu, memberikan kilas balik alasan Masyumi lahir sebagai wadah perjuangan politik para insan Muslim di Indonesia. Ada cita-cita luhur yang menjadi latarnya, ada semangat peribadatan sebagai hamba Allah yang menjadi dasarnya.

Meski pada tahun 1950-an Masyumi harus rela melepaskan kepergian sebagian anggotanya, yaitu saudara-saudara dari kalangan Nahdliyin, api persaudaraan terus terjaga. Niat dan cita-cita Masyumi tetap terus menyala dalam garis politik rumah baru para saudara Nahdliyin itu: Partai Nahdlatul Ulama.

Soal ikhtilaf di bidang fikih dan sunah-sunah kecil bukan masalah. Semua bisa menenggang antarsesama. Akidah, dan tujuan politik dengan napas Islam itu yang menjadikan jiwa orang NU, Muhammadiyah, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Persis, Sarekat Islam, dan masih banyak lagi merasa perlu untuk menjadi satu kesatuan. Satu jiwa. Satu persaudaraan. Satu cinta kepada tanah airnya: Indonesia.

Tulisan ini diambil dari pidato Buya Natsir saat peringatan kesebelas milad Partai Masyumi pada tanggal 7 November 1956. Sumber tulisan ada pada Harian Abadi, Jakarta, pada tanggal 9, 10, dan 12 November 1956. Ketiga tulisan itu dirangkum dalam buku yang disunting oleh Herbert Feith dan Lance Castle, dua sarjana Barat yang mengamati sejarah politik Indonesia. Buku itu berjudul Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, terbitan LP3ES  Halaman 211-213.

                                                                                ***

Masyumi didirikan pada tanggal 7 November 1945, di tengah-tengah kabut peperangan menentang tentara kolonial yang hendak kembali.

Ia didirikan atas hasrat dari umat Islam Indonesia yang diwakili oleh para pemuka ulama dan zuamaa Islam berasal dari seluruh kepulauan Indonesia dan datang berhimpun pada tanggal tersebut di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Ia adalah seluruh daripada cita-cita pandangan hidup dari umat Muhammad yang telah ditanamkan benihnya di Indonesia semenjak berabad-abad.

Cita-cita dan pandangan hidup ini telah berurat berakar dalam kalbunya puluhan juta bangsa kita, bertebaran di kepulauan Indonesia. Dan dari abad ke abad telah menempuh ujian yang meminta korban lahir dan batin.

Apa yang hendak ditegakkan oleh kaedah itu?

Yang hendak ditegakkan ialah kemerdekaan jiwa tiap-tiap orang perseorangan, daripada kemusyrikan tahayul dan rasa takut. Rasa takut kepada selain daripada Allah Pencipta Seluruh Alam. Yakni dengan menegakkan kalimat al-tauhid.

Yang hendak ditegakkan adalah pembebasan manusia dari tindasan kemelaratan dan kemiskinan, kefakiran yang menjadi sumber dari kekufuran.

Yang hendak ditegakkan pula ialah pembebasan menusia daripada sifat ta’ashub (chauvinisme), yang menjadi pokok pangkal daripada segala macam nafsu angkara murka antara bangsa dan bangsa atau suku-suku bangsa, ataupun ta’ashub dalam lapangan keagamaan dan kepercayaan.

Yang hendak ditegakkan ialah suatu masyarakat hidup yang didasarkan kepada musyawarah dengan menghargai nilai-nilai manusia (human dignity), atas dasar hidup dan memberi hidup, bukan atas dasar siapa kuat, siapa di atas, siapa lemah, siapa mati (survival of the fittest).

Riwayat tanah air kita ini membuktikan bahwa dari abad ke abad umat Islam Indonesia telah menunjukkan bukti yang nyata dari kerelaannya memberikan kurbannya, kurban jiwa dan harta benda untuk penebus harga dari akedah dan pandangan hidup kita.

Tak usah saya hari ini membentangkan di sini perjuangan umat Islam semenjak berabad-abad menegakkan kalimat Illahi itu satu per satu.

Perjuangan dari Imam Bonjol yang baru saja kita peringati, Teungku Chik Di Tiro, Diponegoro, Hasanuddin dan lain-lain harus kita lihat sebagai perjuangan menegakkan nilai-nilai tersebut.

Bentuk dan sifat perjuangan itu adalah menurut keadaan ruang dan waktu dan sesuai dengan kemampuan.

Bentuk perjuangannya tempo-tempo patah, tetapi api perjuangannya tetap hidup dalam kalbunya umat Islam dari zaman ke zaman, dan diwarisi oleh keturunan demi keturunan.

Maka para zuamaa dan ulama yang berkumpul di Yogyakarta tanggal 7 November 1945 itu, adalah insaf benar-benar, bahwa mereka adalah merupakan ahli waris daripada kaedah-kaedah dan dasar hidup tersebut.

                                                                                ***

Meski beragam latar, ada pokok-pokok penting yang menjadikan para mujahid Islam ini bergabung dalam satu organisasi politik yang bernapaskan Islam. Ada kesamaan cita-cita, kepaduan hasrat, dan kesatuan kesadaran politik pada orang-orang Islam saat itu: ingin menjadikan Indonesia sebagai negeri yang dirahmati sepenuhnya oleh Allah SWT.

Meski kemudian Masyumi harus merelakan sebagian anggotanya untuk membangun rumah partai politik yang baru, tetapi itu tidak mengapa. Tubuh boleh banyak, tetapi hati tetap satu.

Kemudian, pada tahun 1962, atas dasar keputusan politik penguasa, Masyumi harus membubarkan diri. Bagi para anggotanya, meski itu menyakitkan, mereka ikhlas. Ada yang lebih pokok lagi daripada wadah partai politik: perjuangan menegakkan amar makruf dan melawan kemungkaran tetap lestari. Suara politik umat Islam dan Masyuminya kemudian didelegasikan kepada partai (tubuh) lainnya: Partai Nahdlatul Ulama.

Hubungan Masyumi dengan Partai NU ini memang mesra. Selain memang berasal dari satu partai awalnya, semangat persaudaraan ukhuwah Islamiyah yang berdasarkan cinta kepada agama dan khaliknya memang tegak di hati masing-masing orang-orang itu. Juga ada kesadaran yang seinsyaf-insyafnya bahwa mereka sejatinya meneruskan perjuangan dan kehendak para tetua dahulu di nusantara hingga menyambung kepada Nabi dan sahabat.

Hari ini, ada banyak firqah (partai) yang menjadi tubuh-tubuh kasar orang-orang Islam. Namun, bisakah kita menjadikan setiap tubuh itu ke dalam satu jiwa, satu napas, satu persaudaraan, satu cita-cita? Itu memang kembali lagi ke kita yang dituntut untuk satu kesadaran akan agama, negara, dan cita-cita sebagai amal peribadatan kita kepada Sang Khalik.