Di zaman kolonial, pakaian orang masih terikat oleh aturan-aturan atau kebiasaan masyarakat yang ketat. Pakaian masih menjadi ukuran bagi yang memakainya, apakah ia termasuk golongan atas atau bawah.
Sarung adalah pakaian yang dipandang kurang sopan atau kurang terhormat. Di sekolah-sekolah di negeri Jawa, di Pekalongan pun, tempat orang membuat sarung, murid-murid tidak diperkenankan memakai sarung di sekolah-sekolah negeri. Sarung pakaian rakyat jelata.
Menurut keterangan Anwar Tjokroaminoto, ayahnya bukanlah seseorang yang terbiasa memakai sarung. Akan tetapi potret Pak Tjokro yang terkenal ialah potret Pak Tjokro yang memakai sarung, jas tutup, peci, dan sandal. Potret itu (menurut Pak Roem) dibuat pada 1915 dan kemudian seorang pelukis potret yang terkenal, Haji Zainal, membuat lukisan berwarna berdasarkan potret asli.
Dari lukisan Haji Zaenal itu kita bisa melihat sorot mata yang menantang. Pak Tjokro duduk dengan kaki kanan diletakkan di lutut kiri. Seorang Jawa tradisional tidak duduk dengan cara semacam itu. Dan kalau celana itu lambang golongan atas dan sarung itu menunjukkan pemakainya golongan bawah, Pak Tjokro tidak memilih memakai celana. Ia bersarung. Pak Tjokro turun ke bawah mempersatukan dirinya dengan rakyat. Untuk menuntut persamaan ia pandang tidak perlu meniru yang ada di atas, persamaan hak tidak terletak dalam persamaan berpakaian.
Pak Tjokro memakai sarung; akibatnya bukan ia yang turun kedudukannya, tapi sarung yang naik pangkat. Sarung menjadi pakaian orang yang terhormat dan hilanglah perbedaan dalam masyarakat yang ditentukan dengan memakai celana dan sarung.
Tentang lukisan potret Pak Tjokro itu, Haji Agus Salim pernah berkata, “Pada saatnya potret itu berarti revolusi.†Benarlah apa yang dikatakan Haji Agus Salim itu.
Digubah dari artikel Mohammad Roem berjudul “Potret H.O.S. Tjokroaminoto†yang dimuat dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah (II), Penerbit Bulan Bintang, 1977, halaman 71-76.