Nurcholis Madjid Pasca Gestapu'65 (II)
Bagikan

Nurcholis Madjid Pasca Gestapu'65 (II)

Banyak orang mengira visi sekular itu muncul setelah Cak Nur melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan kemudian ke Timur Tengah

Nurcholish Madjid adalah salah satu tokoh negeri ini yang mendapat banyak sematan atas berbagai pemikirannya mengenai pembaruan pemikiran Islam. Ia dijuluki "Masinis Islam Nusantara", "Guru Bangsa", dan karena kepeloporannya dalam mengolah gagasan neo-modernisme Islam, Nurcholish pernah disebut Tempo sebagai "Penarik Gerbong Kaum Pembaharu".

Redaksi NuuN id mengetengahkan bagian kedua dari salah satu tulisan Cak Nur yang terbit di Majalah Panji Masyarakat tahun 1967. Pada tulisan berjudul "20 Tahun HMI Berjuang", memang sekilas terlihat gagasan Cak Nur tak mengandung anasir-anasir sekuler sama sekali. Akan tetapi, jika dicermati lebih lanjut, sebetulnya telah tampak jika gagasan modernisme yang mengarah pada sekularisme telah mewarnai pemikirannya.

Seperti kita tahu bahwa pada awalnya Cak Nur diharapkan akan melanjutkan estafet perjuangan tokoh-tokoh modernis sebelumnya (M. Natsir, HAMKA, H.M. Rasjidi d.l.l.). Namun kemudian ia memilih jalan yang lebih sekular dari para pendahulunya.

Banyak orang mengira visi sekular itu muncul setelah Cak Nur melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan kemudian ke Timur Tengah. Namun kita dapat melihat lebih dalam lagi bahwa kegagalan menimbang "ilmu umum" dan "ilmu agama" secara memadai akan menghasilkan dualisme yang memang kerap mengarah pada sekularisme. Cara pandang yang ambigu terhadap ilmu (Barat) dan iman. Persoalan filosofis tentang ilmu ini lah yang sebenarnya kurang mendapatkan perhatian kaum modernis khususnya di abad ke-20. Tawaran integrasi ilmu yang kerap dimunculkan masih menyisakan celah-celah yang mengarah pada sekularisme. Persoalan Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (fisika, biologi, sosiologi d.l.l.) kurang terbahas dengan tuntas. Kadang hanya berkutat di persoalan etis dan sedikit di tingkat epistemologis.

Ketika hendak melompat ke ranah ontologis (perihal kewujudan) persoalan-persoalan baru mulai tampak. Ini lah yang sebenarnya terjadi pada diri Cak Nur.  Peradikalan secara filosofis hubungan Islam dan Ilmu yang ia lakukan pada akhirnya berakhir pada gagasan-gagasan sekular. Ia seperti tak menemukan perangkat-perangkat keilmuan yang memadai ketika mengabstraksikan persoalan ilmu (Barat) dan Islam. Sehingga ia lebih kerap menggunakan teori-teori Barat untuk melihat hal ini. Pandangan-pandangan teologis dari Harvey Cox dan kemudian pandangan-pandangan sosiologis dari Robert N. Bellah lebih banyak mewarnai pemikirannya.

Cikal bakal kesekularan tersebut justru dapat kita lihat dalam kutipan artikelnya berikut. Ini ialah kutipan bagian kedua dari artikel Cak Nur di majalah Panji Masyarakat berjudul "20 Tahun HMI Berjuang" (Silakan lihat Bagian I). Redaksi melakukan penyuntingan dan penyesuaian seperlunya dengan tetap berusaha menjaga wacana aslinya:

HMI adalah Himpunan Mahasiswa Islam. “Mahasiswa Islam!”. Itulah yang terpenting. Sebab mahasiswa Islam itu di zaman penjajahan tidak ada. Mereka batu timbul sebagai potensi hanyalah setelah kemerdekaan. Dan kemerdekaan itu direbut serta dipertahankan untuk bagian terbesar oleh ummat Islam, dengan darah para pemudanya yang menjadi syuhada’. Kemerdekaan tanah air merupakan rahmat karunia Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai bagi bangsa Indonesia, dan terutama ummat Islam.

Pohon kemerdekaan itu dalam waktu singkat telah menjatuhkan buahnya yang manis. Salah satu buahnya yang manis itu ialah dibukanya kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk menuntut ilmu sepuas-puasnya dan setinggi-tingginya tanpa diskriminasi, tanpa pembedaan-pembedaan golongan dan tanpa syarat-syarat apa pun kecuali syarat-syarat yang wajar dan objektif, seperti kecerdasan, kesehatan badan dan lain-lain. Buah itu sungguh terasa amat manis, terutama bagi ummat Islam.

Kita katakan terutama bagi ummat Islam karena kita khawatir bahwa golongan lain tidak begitu merasakan seperti yang dirasakan umat oleh Islam. Sebab golongan lain itu sudah merasakan kesempatan belajar itu dalam zaman penjajahan, meskipun tidak sebanyak setelah kemerdekaan. Sedangkan ummat Islam – dan di sini juga yang dimaksud ialah ummat Islam dalam arti kata yang sebenarnya – disebabkan watak mereka yang dengan sendirinya anti-Belanda sehingga timbul dendam kesumat antara mereka dan Belanda, pemuda-pemudanya adalah yang paling sedikit mendapatkan kesempatan belajar itu, kalau pun tidak bisa disebut tidak ada sama sekali. Hal itu berlaku di tingkat pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan sudah barang tentu lebih-lebih lagi pendidikan tinggi.

Khusus tingkat pendidikan tingkat tinggi ini, pada waktu itu hampir bisa disebut khayal atau utopi bagi seorang pemuda Islam biar bagaimana pun kecerdasan dan kemampuannya yang lain untuk umpamanya dapat memasuki THS (Technische Hoge School) di Bandung atau GHS (Gneeskundige Hoge School – Sekolah Tinggi Kedokteran) di Jakarta, atau pun RHS (Recht Hoge School – Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta dan lain-lain. Untuk bagian yang amat besar, kalau pun tidak seluruhnya, pemuda-pemuda pribumi (Indonesia) yang diperbolehkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk memasuki dan memperoleh pendidikan pada sekolah-sekolah tinggi tersebut dan juga pada sekolah-sekolah menangah atas dan pertama, malahan sampai juga sekolah dasar yang bermutu seperti HIS dan ELS, adalah dipilihkan dan diambil dari kalangan yang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti kebangsawanan, kekayaan, kedudukan orang tua sebagai pegawai Belanda yang patuh dan cukup berpangkat dan lain sebagainya. Syarat-syarat itu makin memperkecil kemungkinan bagi anak-anak ummat Islam – yang notabene kebanyakan terdiri daripada rakyat dengan kedudukan sosial yang rendah, miskin dan menempuh politik isolasi dari Belanda karena kebencian mereka terhadap penjajah itu – untuk mendapatkan kesempatan memperoleh penddikan yang cukup, apalagi yang setinggi-tingginya.

Oleh karena itu kalau pun pada zaman penjajah ada mahasiswa-mahasiswa dan pelajar-pelajar Islam, tetapi jumlah mereka sangat sedikit, dapat dihitung dengan jari tangan, atau ke-Islaman mereka sangat tipis dan lemah, bahkan mereka sangat malu mengaku sebagai orang-orang Islam, sebab mereka katanya adalah kelas intelektual. Oleh karena sistem pendidikan kolonial yang menumpas habis pertumbuhan pribadi yang independen dan karena pengajaran kolonial yang secara intensif mengidentikan keintelekkan dengan ke-Baratan serta mempertentangkan keterpelajaran dengan ke-Islaman, maka pelajar-pelajar dan mahasiswa asuhan pendidikan penjajah ini tumbuh sebagai golongan yang membenci Islam dan membanggakan diri mereka sebagai kelas terpelajar.

Mereka kemudian menganut sebagai way of life-nya ajaran-ajaran yang sekuler atau ajaran-ajaran Barat (Westernisme) pada umumnya. Maka setelah kemerdekaan tercapai pada tahun 1945, mereka kaum terpelajar ini muncul sebagai golongan yang paling tidak terpelajar. Mereka kaum terpelajar itu mungkin saja masih mau mengaku sebagai orang-orang Islam, tetapi pengakuan itu hanya berarti “beragama Islam” (statistik) untuk tidak mengatakan beragama lain selain Islam. Sedangkan dalam way of life-nya, mereka tidak lagi berorientasi kepada ajaran-ajaran Islam. Mereka telah kehilangan kepercayaan kepada ke-Islaman, sebab bagi mereka ke-Islaman adalah kekolotan.

Dan sebagai kaum terpelajar mereka hendak menempuh kehidupan modern, sedangkan modernisme adalah identik dengan Westernisme, dan Westernisme adalah berlawanan dengan ke-Islaman. Dan kita tidak usah menipu diri untuk berpendapat bahwa pandangan seperti itu hanya ada dikalangan terpelajar pada fihak “sana”, tetapi di kalangan ummat Islam sendiri pun sisa-sisa itu masih sangat kuat terasa, sehingga kalau kita tidak cepat-cepat untuk memberantas pohon jahat itu ada kemungkinan tumbuh subur dan berkembang biak sebagai benalu yang hendak menghancurkan pohon Islam.

Sampai sekarang masih banyak kaum terpelajar dari kalangan ummat Islam sendiri yang dalam pandangan-pandangannya tentang masalah-masalah hidup dan kehidupan tidak berorientasi kepada ajaran Islam atau setidak-tidaknya berusaha dan mencoba berorientasi kepada Islam, tetapi mengambil teori-teori dan ajaran lain yang sekuler sebagai tempat berorientasi. Inilah yang kita namakan keadaan disoriented. Dan disorientasi inilah sebenarnya sebab yang paling fundamental bagi adanya disintegrasi dan perpecahan di kalangan ummat Islam. Sebab dalam masalah ekonomi umpamanya – untuk menyebut salah satu contoh yang paling menarik – banyak pemimpin-pemimpin Islam yang menjadi kapitalis-kapitalis di samping banyak lainnya yang menjadi sosialis-sosialis, tetapi tidak cukup banyak yang mencoba – sedikit-sedikitnya mencoba – untuk menjadi Islamis-Islamis!

Keadaan disoriented ini tentu saja tidak bisa lepas daripada sejarah ummat Islam itu sendiri, terutama sejarah kemundurannya semenjak berabad-abad lamanya. Dan kemunduran itu hanyalah berarti tidak berhasilnya ummat Islam untuk memahami ajaran-ajaran Islam secara benar dan tepat, apalagi untuk melaksanakannya. Bagi kebanyakan kaum muslimin, Islam pada waktu ini tidaklah berbeda dengan agama-agama lain bagi pemeluk-pemeluknya masing-masing, yaitu hanya sekadar agama dalam arti kata cara-cara ibadah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, tidak lebih dan tidak kurang.

Bahaya intelektualisme yang diidentikan dengan westernisme adalah suatu kenyataan yang kini sedang kita rasakan dan alami. Sudah barang tentu Islam sebagai ajaran Kebenaran, suatu ketika akan difahami kembali oleh ummat Islam, bahwa seluruh ummat manusia, lambat atau pun cepat, dan ummat Islam suatu ketika akan menemukan dirinya kembali. Hal ini semuanya telah menjadi jaminan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada ummat Islam, bahkan sekalian ummat manusia, sehingga manusia seluruhnya akan hidup menurut hukum-hukum objektif, benar dan wajar sebagaimana telah menjadi dekrit Ilahi dalam zaman azali.

Itulah sebenarnya latar belakang yang lebih jauh dan fundamental daripada lahirnya Himpunan Mahasiswa Islam. HMI tidaklah lahir sebagai sekedar suatu reaksi terhadap keadaan temporer di depan mata, tetapi berakar ke dalam aspirasi ummat Islam yang dikandung untuk berbad-abad lamanya. HMI adalah merupakan cetusan daripada suatu tekad yang mulia, suatu manifestasi daripada “kalimah thoyyibah” (pernyataan yang baik). “Kalimah Thoyyibah” itu dalam al-Qur’an diumpamakan sebagai “pohon yang baik, uratnya menghujam ke bumi dan cabang-cabangnya mendulang ke langit, memberikan buahnya setiap waktu seizin Tuhan” (al-Qur’an, Surat Ibrahim, ayat 24-25). HMI berurat berakar dalam aspirasi dan cita seluruh ummat Islam, dan berkembang vertikalnya sebagai organisasi pemuda mahasiswa adalah yang paling banyak memberikan harapan untuk masa depan. Alumni HMI sudah beribu-ribu jumlahnya, dan tersebar dalam berbagai bidang kehidupan. Meskipun mungkin mereka tidak lagi berada dalam ikatan formil dengan organisasi HMI tetapi mereka tetap membawakan aspirasi-aspirasi HMI di segala lapangan, yaitu aspirasi Islam. Dan sewaktu-waktu diizinkan oleh Allah HMI memberikan perjuangannya kepada rakyat dan ummat Islam.

Pada masa setelahnya, Cak Nur pun berusaha merumuskan “wajah Islam Indonesia” yang inklusif melalui tiga tema besar, yaitu keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Keislaman yang dimaksud Cak Nur adalah Islam dengan basis utama etika dan moral. Agar dapat mengalami kemajuan, Cak Nur menganggap suatu bangsa harus berlandaskan pegangan etika yang kuat.

Cak Nur membandingkan Indonesia dengan Amerika. Kristen Protestan di Amerika merupakan civil religion yang menjadi dasar karakter dan etika sosial masyarakatnya yang beragam. Dalam hal Indonesia, Islam coba didudukkan di tempat yang sama dengan Protestan di Amerika. Ia beranggapan Indonesia dapat mengembangkan etika Islam dalam proses berbangsa dengan tidak melembagakannya secara formal dalam bentuk simbol-simbol atau hukum-hukum formal dan apalagi partai politik. Cak Nur dan pendukungnya meyakini bahwa penerapan sekularisme semacam ini tidak dimaksudkan mengubah Muslim di Indonesia menjadi kaum sekularis dan membuang peran agama dari ruang publik. Bagi mereka, dengan begitu, nilai-nilai dasar Islam tetap dihayati sepenuhnya oleh muslim di Indonesia dan kemudian dinyatakan sebagai nilai bermasyarakat secara umum.

Penggunaan istilah liberalisasi, sekularisasi, modernisasi hingga rasionalisasi dalam gagasan-gagasan Cak Nur tersebut sebetulnya menandakan kekentalan pandangan-hidup (worldview) Barat. Selama kita masih menganggap ilmu yang berpandangan-hidup Barat sebagai sesuatu bebas nilai dan universal, kita selamanya akan terjebak dalam perangkap modernitas sebagai jalan keluar dari kebangkrutan. Kalau sudah begitu, kita akan menjadi manusia yang berakidah Islam tetapi berpandangan-alam sekuler. Hal ini akan menyulitkan kita untuk melihat realitas dengan terang benderang dan memberi pemecahan persoalan ummat yang sesuai dengan fitrah penciptaan dan keridhoan Allah Yang Maha Tinggi.