Mengunjungi tanah suci untuk menjalankan haji adalah impian bagi setiap Muslim. Namun, tidak semua orang dapat menjalankan Rukun Islam yang kelima ini. Itulah sebabnya ada prasyarat “bila mampu†yang menyertai pelaksanaan ibadah ini. Mampu di sini tentu bukan hanya secara materi, tetapi juga fisik dan mental. Persiapan untuk melaksanakan ibadah haji biasanya telah dilakukan lama sebelumnya. Mulai dari menabung seperak demi seperak hingga menanti daftar panggil yang kini bisa mencapai puluhan tahun.
Persiapan haji tidak hanya dilakukan oleh jamaah, tapi juga oleh keluarga yang ditinggalkan. Mereka harus menyiapkan batin, jika anggota keluarga yang pergi haji tidak kembali lagi ke kampung halaman. Selain karena alasan-alasan alami, seperti sakit atau ada penyakit bawaan, musibah juga kadang membayangi para jamaah yang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Dua tahun yang lalu, misalnya, terjadi dua peristiwa memilukan dalam waktu yang berdekatan. Pertama peristiwa jatuhnya crane di Masjidil Haram pada 11 September 2015 yang menewaskan 107 orang dan lebih dari 200 orang luka-luka. Hampir dua pekan setelahnya, yaitu pada 24 September 2015, hampir 800 orang (bahkan media internasional mengabarkan hingga 2.000 orang) tewas di Mina karena terhimpit atau terinjak-injak ketika dua kelompok besar jamaah haji bertemu di dekat Jamarat.
Dua puluh tujuh tahun yang lalu, musibah serupa pernah juga terjadi di Mina. Ketika itu, Senin pagi 2 Juli 1990, lebih dari 1.400 orang tewas terinjak dan tergencet di dalam Terowongan Al Mu’aishim di Mina. Lebih dari 600 orang atau hampir separuh dari jamaah haji yang tewas dalam musibah itu berasal dari Indonesia.
Pagi itu, terowongan dengan panjang sekitar 650 m dan lebar 10 m itu dipadati oleh jamaah yang baru pulang melempar jumroh dan akan melempar jumroh. Musibah terjadi ketika dua rombongan besar dari arah yang berlawanan bertemu di mulut terowongan. Tahun itu, jumlah jamaah haji memang jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga terowongan yang memendekkan jarak antara perkemahan haji ke tempat pelemparan jumroh itu, dipadati oleh jamaah. Aturan yang diterapkan oleh petugas tidak ditaati, sehingga arus padat jamaah tidak lagi bisa ditangani. Majalah Panji Masyarakat No. 653, 18-27 Zulhijah 1410 H, 11-20 Juli 1990 menuliskan:
“Selain itu, suasana di arena pelemparan jumrah sering mempengaruhi tingkah laku para jemaah. Tak jarang dijumpai para jemaah asal Iran, Afrika, Pakistan, dan Turki yang bertindak seperti “kesetanan†ketika melempar jumrah. Mereka seperti tak perduli terhadap jemaah lain yang memadati tempat melempar dengan menyeruak cepat ke tugu jumrah menangis-nangis seraya mengucapkan takbir, kadang memukul tugu dengan sandal mereka. Tak sedikit yang kepalanya bocor karena terkena batu orang lain. Ada kemungkinan bahwa munculnya sifat tidak mau sabar di terowongan Al Mu’aishim itu disebabkan pengaruh dari suasana di arena jumrah yang “kesetanan†tadi.†(hlm. 23)
Raja Fahd, raja Arab Saudi ketika itu, menyayangkan peristiwa ini. Ia mengatakan bahwa peristiwa itu bisa dihindari jika para jamaah mematuhi instruksi yang telah diberikan. Ia menambahkan bahwa penegak hukum dan ketertiban Arab Saudi sudah berbuat semaksimal mungkin untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan jamaah.
Jamaah Indonesia dan rumpun Melayu lainnya yang cenderung bertubuh kecil, terkadang tidak bisa melawan arus ketika berhadapan dengan jamaah-jamaah bertubuh besar dari Afrika, Turki, atau negara-negara lainnya. Tidak jarang tubuh jamaah kita terangkat ketika tawaf, karena begitu penuhnya lautan manusia. Namun demikian, meskipun bertubuh kecil, tapi jamaah Indonesia selalu mendapat pujian dari pihak penyelenggara haji Arab Saudi. Mereka memuji ketertiban jamaah asal Indonesia ketika melaksanakan ibadah di tanah suci. Majalah Panji Masyarakat edisi yang sama mengutip perkataan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, “Kalau seluruh jemaah haji meniru keteraturan jemaah haji Indonesia, maka pelaksanaan haji di tanah suci akan berjalan lancar.â€
H. Munawir Sjadzali, Menteri Agama ketika itu, berusaha melobi pihak penyelenggara haji agar jamaah Indonesia yang menjadi korban dalam musibah itu dapat dimakamkan di satu tempat, supaya memudahkan para keluarga korban yang ingin berziarah di kemudian hari. Sayangnya, permintaan itu sulit untuk dikabulkan karena begitu banyaknya jumlah korban dan mereka harus segera memakamkan para syuhada haji itu supaya tidak terjadi bencana yang lebih besar setelahnya. Jenazah korban dimakamkan secara terpisah di Ma’la, Mina, Muzdalifah, dan Arafah. Ahli waris korban mendapatkan santunan sebesar Rp 5.320.000,- atau seharga satu ONH ketika itu.
Presiden Soeharto menetapkan hari Jum’at pekan itu sebagai hari berkabung nasional. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika itu, K.H. Hasan Basri dalam khutbah Jum’atnya di Masjid Istiqlal menyampaikan, “Para korban adalah syuhada haji. Mereka langsung masuk syurga.†Para khatib Jum’at di 130 ribu masjid di seluruh Indonesia menyampaikan mengenai keutamaan syuhada dan shalat ghaib tak henti-henti dilaksanakan.
Duka menyelimuti seluruh negeri, khususnya bagi keluarga yang ditinggalkan dan bagi para jamaah haji yang baru kembali ke tanah air. Tidak sedikit jamaah yang harus pulang seorang diri, karena seluruh keluarga atau rekannya menjadi korban di terowongan itu.
Meskipun musibah kadang terjadi dalam pelaksanaan ibadah haji, yang menyebabkan timbulnya korban jiwa, tapi jumlah jamaah haji setiap tahunnya tidak pernah menyurut, karena musibah dapat terjadi di manapun dan kapanpun. Lagipula, bagi kita umat Islam, apalah lagi yang lebih dirindukan selain dapat menghadap Allah Yang Maha Kuasa di tanah suci ketika melakukan ibadah haji, dalam kondisi tubuh dan hati yang suci.
Diolah dari:
Majalah Panji Masyarakat No. 653, 18-27 Zulhijah 1410 H, 11-20 Juli 1990, hlm. 18-24
Majalah Panji Masyarakat No. 654, 28 Zulhijah 1410 H-10 Muharam 1411 H, 21-31 Juli 1990, hlm. 18-26
Majalah Panji Masyarakat No. 655, 11-20 Muharam 1411 H, 1-10 Agustus 1990, hlm. 12-13.