Masalah Budaya yang Sering Diabaikan Umat Islam
Bagikan

Masalah Budaya yang Sering Diabaikan Umat Islam

Hingga saat ini, boleh dikatakan bahwa umat Islam belum punya konsep kebudayaan yang matang dan utuh berkaitan dengan Indonesia dan ke-Indonesiaan. Islam bukanlah ajaran yang perlu menghancurkan tradisi dalam suatu kebudayaan.

Kebudayaan menjadi sesuatu yang agak asing dalam kajian umat Islam saat ini. Hal itu disebabkan, secara sederhana, kebudayaan hanya dikenali dalam wujud lagu, tarian, adat istiadat dalam pernikahan atau kepercayaan terhadap takhayul. Secara umum, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan itu berarti mencakup seluruh aspek di dalam kehidupan manusia, hasil berfikir untuk memahami sekelilingnya dan memenuhi kebutuhannya, baik lahir maupun batin. Kebudayaan adalah nilai-nilai yang perlu terus menerus diwariskan dan dijaga dari generasi ke generasi agar manusia tak kehilangan akar dirinya.

Persoalan mengenai kebudayaan Indonesia sebetulnya menarik dan penting untuk dibahas. Ini sangat berkaitan dengan jati diri dan kekukuhan kita dalam menghadapi berbagai tantangan. Sayangnya tidak banyak yang cukup serius mendalami hal ini. Sebagian orang Indonesia sendiri sering merasa kebingungan jika ditanya tentang Indonesia atau kebudayaan Indonesia. Ada pula yang berusaha mendefinisikan Indonesia dalam kerangka kebudayaan yang terlampau sederhana atau cenderung menelaah pada permukaannya saja.

Beberapa fihak yang mencoba menguraikan Indonesia biasanya terbagi menjadi dua pandangan. Yang pertama mendefinisikan kebudayaan Indonesia sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Paling tidak hal ini dapat kita lihat pada perayaan HUT ke-72 Republik Indonesia di istana negara. Penggunaan pakaian adat dalam upacara kenegaraan tahunan itu tidak hanya tengah mempertontonkan keanekaragaman budaya Indonesia, tetapi juga memperlihatkan pandangan terhadap kebudayaan Indonesia yang berasal dan terbentuk dari puncak-puncak keragaman kebudayaan daerah di Indonesia. Menggunakan baju adat yang beragam dalam acara resmi nasional dianggap salah satu bentuknya.

Yang kedua sering juga menyebut, kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Tak dapat dimungkiri bahwa bangsa ini sudah berusia ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun. Sudah sejak lama bangsa ini berinteraksi dengan berbagai bangsa lainnya. Dengan keadaan geografis yang strategis, sejak dahulu wilayah Indonesia adalah wilayah yang ramai dikunjungi oleh bangsa-bangsa lainnya. Dimulai dari hubungan dan perdagangan yang normal hingga kolonialisme. Perjumpaan kebudayaan macam itu juga bermakna pertukaran tradisi. Bangsa Indonesia banyak menyerap kebudayaan dari luar dan menjadikan kebudayaan itu miliknya. Sebagai salah satu wujudnya, bahasa Indonesia sendiri dipengaruhi berbagai bahasa lain dari berbagai belaham dunia seperti bahasa Arab, bahasa Belanda, bahasa Inggris, bahasa Portugis, dll.

Dalam tulisan di berikut, H.B. Jassin, seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra asal Gorontalo, mengemukakan persoalan kebudayaan manusia Indonesia yang masih sekadar teori belaka, belum sampai pada praktiknya. Tahun 1930-an, beberapa tokoh nasional seperti Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Sanusi Pane, sastrawan pujangga baru, serta tokoh nasional lainnya berusaha merumusakan cita-cita nasional dalam segala bidang, salah satunya bidang kebudayaan. Mereka berkehendak mengangkat sastra Indonesia dan kebudayaan Indonesia agar terlepas dari bentuk yang dianggap tradisional, usang, dan tak mampu bersaing dengan keadaan zaman yang baru.

Bagi STA, kebudayaan Timur bersifat statis sehingga mati dan tidak berkembang, sementara kebudayaan Barat bersifat dinamis sebab itu dapat terus eksis dan menguasai dunia. Karenanya, di mata STA, Indonesia sebagai bagian dari Timur harus mengganti kiblatnya ke Barat agar bisa bangkit dan menyejajarkan diri dengan masyarakat Barat. Bagi Sanusi Pane, ke-Indonesiaan yang ideal adalah menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan kolektivisme. Sanusi Pane cenderung mempercayai bahwa Timur lebih baik karena “materialisme, intelektualisme, dan individualisme” yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat dapat pula menimbulkan ketimpangan sosial.

Dalam pandangannya di tahun 1950 ini, H.B. Jassin melihat bahwa tidak selayaknya pembahasan kebudayaan Indonesia perlu sampai pada bahasan pertentangan antara Timur dengan Barat. Hal ini dianggap tidak nyata dan signifikan. Kedua budaya ini, bagi H.B. Jassin, telah turut mewarnai kebudayaan Indonesia. Ia merasa kita cukup melihat keadaan dalam klasifikasi kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan luar negeri. Ini dianggap lebih nyata untuk ditelaah. Tidak perlu pula terlalu banyak teori, tetapi pada praktiknya kita belum juga punya ciri khas sebagai manusia Indonesia. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat di suatu daerah yang memegang teguh semua adat istiadatnya sementara masyarakat yang tinggal dan berada di perkotaan sudah tidak menggunakan adat istiadatnya serta hidup dalam modernitas. Tulisan ini dimuat kembali dari majalah Mimbar Indonesia, tahun IV, No. 35, 2 September 1950, halaman 3 dan 29.

***

Kebudayaan Teori dan Praktek

H.B. Jassin

Teori-teori terjadi dengan mengumpulkan bahan-bahan tertentu untuk memperkuat suatu pokok fikiran. Dengan berpegang kepada libido sexualis serta mengemukakan contoh-contoh tertentu sebagai bukti, Freud membangunkan teori tentang psikologi bawah sadar, dengan berpokok fikiran kerja sebagai jiwa produksi, Marx sampai kepada teori tentang masyarakat berkelas-kelas dan dengan mengemukakan kemurnian darah bangsa Aria, pemerintah Nazi sampai kepada pendewaan bangsa Jerman. Dan teori-teori ini menjadi sistem apabila dilaksanakan dengan konsekwen dalam praktek.

Juga kebudayaan hendak diteorikan orang dan timbul istilah-istilah seperti kebudayaan Barat, kebudayaan Timur. Bagi kebudayaan Barat dicari dan ditunjukkan sifat-sifat yang dianggap paling kuat kelihatan pada kehidupan bangsa-bangsa di Barat dan demikian juga halnya dengan kebudayaan Timur. Bahwa pembagian ini pada umumnya bisa dipakaikan menunjukkan kebenarannya, sedikit banyaknya.

Tapi apabila kita tinjau lebih lanjut, nyatalah bahwa pembagian ini teoritis sekali dan kebenarannya hanya separuh kebenaran. Apa yang disebut kebudayaan Barat banyak mengandung anasir-anasir yang juga ada di Timur bahkan yang dianggap sifat-sifatnya yang spesifik pun ada kedapatan di Timur dan begitu pula sebaliknya.

Dan pembagian kebudayaan Timur dan Barat ini di masa yang lampau orang suka sekali besar-besarkan dan yakin-yakinkan sebagai dua kebudayaan yang lain sekali dan tidak ada titik-titik persinggungannya, bahkan harus dijauhkan yang satu dari yang lain jangan sampai “saling menodai”.

Apakah sebabnya orang suka mempertentangkannya? Sampai sebelum Perang Dunia II seluruh dunia Timur boleh dibilang jadi jajahan bangsa Barat. Bangsa Barat ini yakin akan kelebihannya dan memang demikian halnya dalam banyak hal, terutama materiil.

Di dalam kelemahannya, Timur tidak bisa berbuat apa-apa. Akan menyamai Barat tidak ada kesempatan lagi sebagai bangsa yang dijajah. Bukan karena tidak cocok, atau tidak ingin, atau karena pertimbangan ketimuran, akan tetapi karena tidak bisa. Pada hakikatnya pada waktu itu pun dalam manusia Timur ada apa yang dianggap sifat-sifat atau anasir-anasir Barat, tapi tidak mendapat kesempatan untuk dilaksanakan. Dan sekiranya sudah waktu itu Timur mendapat kesempatan untuk berkembang sewajarnya dalam persentuhan dengan Barat, tidak berarti jadinya sugessi lainnya Timur dari Barat, seperti halnya Jepang sesudah restorasi 1870.

Tapi apa yang terjadi? Timur dalam serba kelemahannya berfilsafat tentang baiknya kelemahan dan lebih calaknya lagi: tentang jeleknya kekuatan. Sebaliknya Barat datang dengan filsafat: Memang Timur baik, janganlah menjadi Barat, meskipun Barat juga baik, karena Timur dan Barat tidak bisa bertemu. Dan dalam hati katanya: Tidurlah terus dalam mimpi yang agung, supaya kami bisa terus berkuasa.

Tentang Timur dan Barat ini telah banyak ditulis orang, juga di Indonesia oleh ahli-ahli budaya Belanda kolonial. Juga di kalangan Indonesia di tahun-tahun ‘35-‘40 pernah terjadi polemik yang hebat antara Sutan Takdir Alisjahbana, Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Sutomo, bahkan dalam dua kali kongres di Sukabumi dan Magelang tahun ‘46 dan ‘48 dan dalam konferensi kebudayaan bulan Agustus yang lalu masih perlu dibicarakan apakah kebudayaan dan menjadi perdebatan soal kebudayaan Timur dan Barat. Belakangan ini soal telah dipermudah jadi: Kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Luar Negeri. Soal ini lebih riil dari pada soal Timur dan Barat karena Indonesia tidak bisa lagi dikatakan masih dalam suasana mimpi kebudayaan Timur seperti diteorikan olah ahli-ahli kolonial. Dan kebudayaan Barat tidaklah lagi dianggap hanya terdapat atau hanya mungkin berkembang di Barat.

Dan boleh kita harapkan bahwa sebentar lagi kita sudah bisa bicara terlepas dari sentimen tentang kebudayaan manusia Indonesia yang lebih riil lagi. Apakah kebudayaan manusia Indonesia ini?

Di atas sudah dikatakan bahwa teori terjadi dengan mengemukakan bahan-bahan tertentu untuk memperkuat suatu pokok fikiran. Tapi dengan mengemukakan bahan-bahan tertentu ini lalu terdesak anasir-anasir lain yang mungkin tidak kurang bergunanya buat perkembangan Manusia. Dengan berpegang pada ketimuran yang benar dalam teori, kita menghilangkan kemungkinan-kemungkinan praktis yang lebih besar dan luas buat Manusia di Indonesia. Maka itu dengan tidak menolak apa-apa yang diteorikan menurut apa yang dikatakan buku-buku seperti didalilkan beberapa pre-adviseur di konferensi kebudayaan tanggal 4-6 Agustus yang lalu kita memperkuat tuntutan pemuda Sumardjo dalam konferensi itu juga, supaya dijalankan usaha realkultur. Segala apa yang ada dan mungkin diadakan sebagai pengucapan kehidupan kebudayaaan Manusia di Indonesia yang merdeka, supaya diperhatikan, dipelihara, disemarakkan, sehingga kebudayaan menjadi subur dari dalam, tidak khawatir akan kehilangan watak oleh pengaruh-pengaruh dari luar, bahkan mempergunakan pengaruh-pengaruh itu untuk kekuatan watak diri.

(Mimbar Indonesia, tahun IV, No. 35, 2 September 1950, hlm. 3 dan 29).

***

Hingga saat ini, boleh dikatakan bahwa umat Islam belum punya konsep kebudayaan yang matang dan utuh berkaitan dengan Indonesia dan ke-Indonesiaan. Islam bukanlah ajaran yang perlu menghancurkan tradisi dalam suatu kebudayaan. Islam justru datang sebagai intipati yang membersihkan dan memurnikan kebudayaan dari unsur-unsur yang mengotori dan menodai fitrah serta amanah kehidupan dari Allah. Kita bisa tetap memasak apa pun dengan berbagai resep yang telah diwariskan para leluhur dan memakannya asal tidak haram. Kita dapat pula berpakaian dengan batik, kain tenun, songket, atau bahan-bahan lainnya seperti para orang tua kita, hanya aurat serta kerendahan hati dalam berpakaian perlu terus dijaga. Sebagai umat Islam, kita dapat jua menggunakan istilah sehari-hari yang berasal dari bahasa-bahasa daerah atau bahasa Sansekerta, tak perlu selalu berbahasa Arab. Namun, kita dapat pula mengubah makna kata-kata tertentu dalam bahasa ibu sesuai dengan kepentingan kedirian dan keislaman kita atau memasukkan unsur Islam dalam kebudayaan kita dengan cara-cara yang baik dan memadai.

Umat Islam dapat mengambil segala hal yang baik dari mana pun berasal, baik itu Barat maupun Timur. Kita hanya perlu menimbang segala hal tersebut dengan pandangan hidup Islam sebagai intipati jati diri keislaman. Hal ini telah dilakukan oleh para ulama di Nusantara berabad lalu, dan hingga kini kita masihlah memerlukan dan menggunakannya. Kadang-kadang kita menganggap hal tersebut kuno dan tak sesuai zaman kemudian hendak mengganti tanpa mmencermatinya lebih serius dan dalam. Kita sesungguhnya dapat bergerak dan mengembangkan kebudayaan secara bebas dalam koridor kemutlakan yang sudah Allah tetapkan. Kita memerlukan konsep kebudayaan dan keIndonesiaan yang sesuai. Kita bisa mulai membangunnya bersama-sama, meneruskan dan membuka kembali hal-hal yang sudah dilakukan para ulama di Nusantara. Mereka itu beberapa abad lebih lampau dari H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Sanusi Pane. Akan tetapi, karena kekokohan akar yang terus dijaga, sesungguhnya mereka selalu memiliki rumusan yang relevan dengan kebutuhan dan keadaan kita saat ini.