Kuasa, Prahara dan Kekerasan: Luka Kebudayaan di Sekitar Gestapu ‘65 (Bagian III)
Bagikan

Kuasa, Prahara dan Kekerasan: Luka Kebudayaan di Sekitar Gestapu ‘65 (Bagian III)

Kebudayaan dan Kekuasaan: Kebijakan-kebijakan LukaKita bisa melihat bahwa Prahara Budaya dan Kekerasan Budaya memiliki persoalan karena melihat sejarah sebagai penggalan-penggalan waktu yang terpisah sama sekali. Peristiwa-peristiwa pra-Gestapu dan pasca-Gestapu dipilah dengan sangat ketat. Kaitan

Kebudayaan dan Kekuasaan: Kebijakan-kebijakan Luka

Kita bisa melihat bahwa Prahara Budaya dan Kekerasan Budaya memiliki persoalan karena melihat sejarah sebagai penggalan-penggalan waktu yang terpisah sama sekali. Peristiwa-peristiwa pra-Gestapu dan pasca-Gestapu dipilah dengan sangat ketat. Kaitan hal-hal sesudah dan sebelum Gestapu cenderung dianggap terpisah dan didekati dengan cara berbeda. Kita dapat melihat Prahara Budaya sebagai buku yang berusaha memperlihatkan kekelaman kebudayaan di bawah Demokrasi Terpimpin. Sementara Kekerasan Budaya menampilkan kekelaman kebudayaan di era Orde Baru. Ini juga menjadi kabar pembelaan bagi beberapa fihak yang bertikai. Prahara Budaya dapat dikatakan sebagai pembelaan atas kekejaman budaya yang dilakukan Lekra, dengan demikian ia anti-PKI. Sementara Kekerasan Budaya dapat dipandang sebagai pembelaan terhadap PKI dan Lekra.

Buku ketiga yang akan kita bahas berdiri di sisi yang berbeda. Tod Jones, seorang sarjana dari Australia, mencoba memandang persoalan dengan lebih utuh namun dari sisi yang agak sempit. Ia tidak memandang kebudayaan (Indonesia) dari sisi perdebatan gagasan atau peristiwa-peristiwa sejarah. Yang ia pokokkan dalam Kebudayaan dan Kekuasaan, justru kebijakan-kebijakan resmi pemerintah mengenai kebudayaan. Rentang waktu yang ia kaji cukup panjang, sepanjang abad ke-20 sampai era reformasi. 110 tahun kira-kira. Dalam bagian pendahuluan yang penuh dengan kutipan dan teori, Jones menyebut “buku ini berfokus pada lembaga-lembaga budaya yang dijalankan negara dan bagaimana konstruksi budaya mereka dalam wacana berubah selama abad kedua puluh dan selama era Reformasi” (hlm. 26). 

Mari kita melompat ke Bagian I, Sub Bagian III, “Dari Regulasi Budaya ke Kepemimpinan Budaya: Perubahan Penggunaan Budaya dalam Demokrasi Konstitusional (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965). Lompatan ini dimaksudkan agar kita dapat membandingkan apa yang disampaikan Jones dengan dua buku sebelumnya. Jones menempatkan persoalan kebudayaan di era ini dalam konteks kekuasaan Soekarno yang gagasan dan konsep-konsepnya mendominasi kebijakan budaya di Indonesia (hlm. 113). 

Konsep-konsep yang terkadang ambigu itu diterjemahkan oleh “penguasa” kebudayaan ketika itu, Profesor Prijono. Ia lah pengejawantah gagasan Soekarno dalam kebijakan-kebijakan kebudayaan ketika itu. Penerima hadiah Perdamaian Stalin ini menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sejak 1957 hingga 1966. Prijono meraih gelar Doktor dari Universitas Leiden dan menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Universitas Indonesia ketika Bung Besar mengangkatnya menjadi menteri. Ia dikenal terkait dengan partai Murba yang berafiliasi dengan PKI dan merupakan Ketua Asosiasi Persahabatan Indonesia-Cina 1955-1957. Jones menyebut:

Prijono telah menafsirkan pernyataan Soekarno untuk aplikasinya dalam kebijakan budaya dan pendidikan. Pada tahun 1959, misalnya, ia mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan sebutan Pembangunan Bangsa dan Pendidikan (1970) yang oleh Feith dan Castles dikatakan “kadang-kadang dianggap sebagai semacam terjemahan di bidang pendidikan dari Manifesto Politik Agustus 1959” (hlm. 114).

Mengenai identitas nasional, tentu saja kebijakan ketika itu mengikuti apa yang tercantum dalam “falsafah yang amat mendalam” dari Bung Karno, yaitu USDEK. ‘K’ ialah singkatan untuk Kepribadian Bangsa, yang menurut Si Bung “Indonesia memiliki identitas sosialis” (hlm. 115). Prijono tentu dengan seksama menerjemahkan gagasan junjungannya itu. Dalam catatannya untuk Musyawarah Nasional Agustus 1960 di Semarang (yang dikutip Jones) Pak Menteri mengatakan:

Kita bisa dan kita harus membentuk identitas Indonesia modern, yang saya rasa belum terbentuk sedalam dan seluas sebagaimana mestinya, dengan menggunakan apa yang telah kita warisi dari nenek moyang kita, dengan cara yang konsisten dengan Manifesto Politik dan USDEK. Dengan cara ini identitas Indonesia modern akan menjadi identitas nasional Indonesia yang karakteristiknya diterima secara luas dan yang jiwanya sosialis (hlm.116)

Rumusan ini memperlihatkan bahwa negara berusaha menyediakan alat pemilah bagi unsur-unsur kebudayaan yang berkembang di Indonesia. Kebudayaan (misalnya seni daerah) dipilah mana yang bersesuaian dan yang tidak menurut negara. Yang bersesuaian diambil serta dikukuhkan dan yang tidak disingkirkan, bahkan pelakunya dijebloskan ke dalam penjara. Celakanya alat pemilah itu ialah politik, utamanya gagasan Manipol-USDEK dan dalam kasus tertentu malah selera pribadi presiden. 

“Dialog” budaya nasional dengan budaya negara lain diduduk-sesuaikan dengan manuver diplomatik Presiden Soekarno. Pertukaran budaya terus dilakukan, meski cenderung ke negara-negara sekutu Soekarno. Sementara ceramah dan program budaya dimasuki macam-macam dukungan terhadap kebijakan politik luar negeri presiden (hlm. 119). 

Kebudayaan ketika itu benar-benar diperlakukan di bawah semboyan “Politik adalah Panglima”. Dalam kata-kata Prijono, semboyan itu diterjemahkan sebagai:

“[Izinkan] hal-hal yang sesuai dengan semua karakteristik dari Revolusi kita dan terutama yang sesuai dengan sosialisme Indonesia, dan menolak segala sesuatu yang menentang atau bertentangan dengan ciri tersebut” (hlm. 121).

Arah kesenian pun demikian. Prijono menyebut bahwa “karya terbaik adalah karya-karya yang memberikan energi, dukungan, kekuatan spiritual, kebahagiaan untuk bekerja, keyakinan diri, terutama bagi kelas pekerja, petani dan angkatan bersenjata kita” (hlm. 123). 

Tentu saja tidak ada satu pun lembaga kebudayaan non-pemerintah, yang lebih bersesuaian dengan konsep-konsep Soekarno yang ditafsirkan Prijono, selain dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Njoto dan D.N. Aidit (dua punggawa PKI setelah direformasi pada 1950) bertengger bersama A.S. Dharta, Joebaar Ajoeb, Henk Ngantung sebagai pemimpin Lekra yang terkemuka. Realisme sosialis, kebudayaan rakyat, perjuangan budaya, pekerja budaya terus disorongkan “budayawan-budayawan” Lekra dalam berbagai kongres dan musyawarah kebudayaan. 

Jones menunjukan betapa Lekra benar-benar bersedia menempatkan dan menyesuaikan segala tindakan budayanya dengan konsep-konsep Soekarno. Lekra menjadi yang terdepan dalam menjalankan revolusi budaya. Dengan posisi (politiknya) yang semakin menguat, Lekra menjadi semakin agresif terhadap lawan-lawannya. Polarisasi budaya kemudian menjadi sejalan dengan polarisasi politik. Mereka yang tergabung dalam Manikebu, ditengarai sebagai anasir-anasir budaya dari PSI yang sudah dibubarkan Soekarno, turut pula disingkirkan dan dilarang. Jones mengatakan:

LEKRA berhasil melakukan lebih dari sekadar menyerang lawan-lawannya dalam publikasi dan pidato. Para nasionalis radikal yang dipimpin oleh LEKRA, memberikan akronim kepada dokumen tersebut dengan sebutan Manikebu (yang terdengar seperti istilah dalam bahasa Indonesia untuk sperma kerbau). Di bawah tekanan dari para penasihatnya, Soekarno melarang Manikebu pada Mei 1964, setelah menuduh mereka sebagai kelompok yang melemahkan semangat revolusi dan para penandatangannya di serang di beragai media masa, karya-karya mereka dilarang, dan beberapa di antaranya diturunkan dari jabatan mereka atau dipecat (hlm. 126).

Sampai takat ini kita dapat melihat hubungan antara konsepsi-konsepsi Soekarno, penafsiran atas konsepsi itu oleh menteri Prijono dan “pelaksanaannya” justru oleh LEKRA yang berafiliasi dengan PKI. Di sini lah kita dapat melihat bahwa teori kekerasan budaya yang digunakan oleh Bung Wijaya Herlambang benar-benar terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Ini bukan hanya konsekuensi politis dari para fihak yang secara gagasan berseberangan dengan negara, tetapi juga pemaksaan atau pembelengguan (dan dengan demikian kekerasan) oleh kekuasaan terhadap kebebasan berkesenian.

Agar lumayan adil, mari kita lihat pandangan Tod Jones mengenai kebijakan budaya pada masa Orde Baru. Kita bisa melihat Bab IV, “Orde Baru Sebagai ‘Proses Budaya’: Kebudayaan Nasional di Bawah Rezim Otoritarian”. 

Apabila pada masa Demokrasi Terpimpin kata “revolusi” menjadi amat penting, kita tak dapat meninggalkan kata “pembangunan” ketika membaca Orde Baru. Kata ini kira-kira dapat dikaitkan dengan upaya meningkatkan produktivitas ekonomi, kekayaan bangsa, tingkat kesehatan atau pendidikan rakyat – singkatnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (hlm. 136). 

Masyarakat diberdayakan dalam bermacam pelatihan, distrukturkan dalam berbagai macam lembaga dan kemudian disiapkan untuk tunduk pada suatu iklim persaingan (seolah-olah) bebas yang dikendalikan oleh negara. Kongsi Orba dengan para “intelektual modernisisasi” (intelektual dan mahasiswa yang berasal dari front aksi penjatuhan rezim Orla) dan para teknokrat ekonom UI ialah cikal bakal pembangunanisme Orba. Mereka rata-rata berkiblat ke Amerika, sesuatu yang terkekang di masa Orla, dan menjadi penasehat penting kebangkitan ekonomi Orba.

Penafsir (atau malah pelaksana) utama ideologi pembangunan ini ialah Ali Moertopo, seorang prajurit ABRI yang terlibat pembasmian PKI 1948 dan juga penasihat pribadi Presiden Soeharto 1966-1974. Ide Moertopo tentang pembangunan banyak diolah dalam Unit Operasi Khusus (Opsus) yang ia pimpin dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang ia turut dirikan pada 1971. Depolitisasi dan teknoratisasi bangsa ialah dua unsur penting bagi pelancaran ideologi pembangunan ini. 

Peran budaya dalam pembangunan diejawantahkan Moertopo dalam bukunya Strategi Kebudayaan. Tod Jones mengutip Greg Acciaioli yang merangkum karya ini sebagai buku yang mengartikulasikan “teori evolusi budaya yang berkembang penuh, yang menempatkan develompentalisme dari rezim Orde Baru negara Indonesia [...] sebagai perwujudan teleologis dari proses evolusi budaya yang telah menandai masyarakat Indonesia sejak permulaannya di zaman purba” (hlm. 140). Dalam buku ini, seolah bangsa Indonesia diarahkan, dibangun dan ditempatkan sebagai “sumber daya manusia” yang sangat baik untuk bahan bakar pembangunan. Oleh karena itu, manusia Indonesia harus menjadi bahan bakar yang baik, mengembangkan diri dan patuh pada ideologi pembangunan. 

Orde Baru harus mampu menyelesaikan tugas besar yang dihadapinya itu, yaitu membuat Indonesia menjadi subjek yang stabil, subjek yang kuat, dengan standard pembangunan dunia. Orde Baru harus mampu melaksanakan tugas-tugas budaya yang sangat penting, melaksanakan peminjaman budaya (akulturasi) dalam perjalanan sejarah dunia baik sekarang maupun di masa depan. Ini adalah inti budaya yang harus kita rumuskan sekarang. Ini termasuk pikiran dan perencanaan yang terhubung ke kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi, pengembangan sistem sosial [...] kemajuan dalam bahasa dan seni dan perkembangan yang berhubungan dengan agama (hlm. 141).

Kita dapat melihat secara ringkas: apabila di masa Orla kebudayaan diarahkan untuk mendukung revolusi, di masa Orba kebudayaan diarahkan untuk menyokong pembangunan. Kita dapat mengekstrimkan dan meradikalkan kata “pembangunan” itu sebagai: kapitalisme. Tugas kebudayaan ialah membentuk manusia Indonesia yang tidak malas dan lambat. Bukan karena malas dan lambat itu tidak baik, tetapi karena keduanya menghambat penggemukkan kapitalisme itu. Tujuan akhirnya menyiapkan manusia Indonesia yang mentalnya layak untuk dimanfaatkan oleh pembangunan.

Bagaimana “nasib” para seniman pada era ini, dapat kita lihat pada halaman 153. Hubungan kaum humanis universal dan Orde Baru tidaklah senyaman yang ditelaah Wijaya Herlambang. Tod Jones menggambarkannya dengan:

Kaum humanis universal dan rezim Orde Baru bukanlah sahabat yang merasa nyaman satu sama lain. Komitmen humanisme universal terhadap integritas artistik dan nilai penting yang ia tempatkan pada kemerdekaan tidak dengan sendirinya memudahkan ia untuk duduk di samping cita-cita rezim Orde Baru tentang terbentuknya rakyat yang bermental jongos dan tidak aktif dalam politik dan penekanan pada model budaya komando dalam hal penetapan kebudayaan (hlm. 153-154).

Pandangan Jones ini menunjukkan kepada kita bahwa persekutuan Orba dengan kaum humanis atau pun dengan fihak Islam bukanlah perkongsian yang permanen dan utuh. Bersatunya Orba, kaum humanis dan umat Islam di akhir kekuasaan Soekarno dan pada awal kekuasaan Soeharto sebenarnya hanya sebuah tuntutan kepentingan. Persamaan sebagai fihak yang bermusuhan dengan PKI menyatukan mereka. Selain itu, penyingkiran oleh Soekarno membuat keduanya (kaum humanis dan kaum Islam) tidak memiliki pilihan lain selain bersekutu dengan Soeharto. Persekutuan yang akhirnya berakhir dengan pertikaian panjang satu sama lain karena hanya didasarkan pada kepentingan menjatuhkan rezim sebelumnya. 

Asas-asas kebudayaan Orba versi Moertopo (dan juga Koentjaraningrat) tidak sejalan dengan ideologi banyak seniman, baik kaum humanis atau pun bukan. Kita bisa melihat puisi-puisi Rendra yang amat keras menentang ideologi budaya Orba. Kritik Rendra terhadap pembangunanisme boleh jadi lebih keras dan dalam dari kritik seniman “kiri” mana pun. Dan kita tahu Rendra tidak pernah menjadi “kiri”. Penstrukturan kesenian dan kebudayaan yang dilakukan rezim melalui Taman Ismail Marzuki (TIM) pun tidak terlalu berhasil. Sengketa gagasan dan organisasi banyak terjadi di sana.

Dari paparan Jones kita dapat melihat bahwa antara Orde Baru dan para seniman humanis tidak terjadi hubungan saling dukung yang kukuh. Tidak seperti Lekra yang mendukung konsepsi Bung Karno, sangat sedikit seniman yang benar-benar bersedia tunduk pada konsepsi kebudayaan Orde Baru. Kasus-kasus seperti novel Pengkhianatan G30S/PKI karya Arswendo, seperti ditulis Bung Wijaya, lebih banyak berurusan dengan persoalan uang dibanding persoalan estetik. Orba tentu membatasi kritik kaum seniman. Kita tahu banyak seniman yang dilarang tampil, dibatasi karyanya atau bahkan dipenjara semasa Orba. Dan ini tidak terbatas pada seniman-seniman “kiri” semata, melainkan juga para penyair seperti Rendra.

Kita tahu pula gerakan kebudayaan di akhir tahun 1980-an dan di awal tahun 1990-an cukup mewarnai perlawanan terhadap rezim Orba. Ini tentu tidak dilakukan oleh seniman-seniman “kiri” saja. Kita bisa melihat hadirnya Kantata Takwa sebagai perlawanan budaya yang amat keras terhadap rezim. Melalui musik dan puisi kelompok ini dapat memberi gairah baru dan secara halus memberi arti pada perlawanan dan proses demokratisasi. 

Kesimpulannya sederhana saja: tidak hanya “kiri” yang melawan.

Catatan Akhir

Prahara Budaya, Kekerasan Budaya dan Kebudayaan dan Kekuasaan merupakan tiga buku penting yang menggambarkan kronik kebudayaan Indonesia, khususnya yang berkait dengan Gestapu ’65. Kita tentu memberikan penghargaan selayak-layaknya kepada para penyusun dan penulis buku-buku ini. Kritik dan tanggapan terhadap ketiganya adalah wajar belaka dalam dunia pemikiran.

Dengan mencoba menyeksamai ketiga buku ini kita dapat melihat luka-luka kebudayaan kita yang amat panjang. Apa yang terjadi setelah dan sebelum Gestapu ialah kekelaman yang kita harus berusaha sekuat jiwa agar tak terulang kembali. Melihat persoalan secara sepenggal dan tidak adil akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang tak berimbang. Kajian-kajian yang lebih seksama perlu dilakukan kembali agar kita dapat melihat sejarah dengan lebih jernih dan jujur.

Catatan lain yang perlu, bila kita menelusuri seluruh wacana dalam ketiga buku tersebut, kita akan melihat kurangnya peran umat Islam dalam persoalan kebudayaan. Pada era Demokrasi Terpimpin, faham-faham sekular (baik humanisme universal maupun realisme sosialis) mendominasi perbalahan budaya kita. Sementara di masa Orde Baru, ideologi pembangunan lebih mendominasi wacana kebudayaan. Ummat Islam terlihat seperti hanya mencari-cari pembenaran dari ajaran Islam atas perdebatan yang ada tanpa berusaha membangun gagasannya sendiri.

Di antara perdebatan-perdebatan budaya, nampaknya ummat Islam sangat jarang menampilkan gagasannya secara utuh. Hal ini bukan berarti Islam tidak memiliki gagasan tentang kebudayaan, namun usaha ummat Islam untuk merumuskan dan menata gagasan kebudayaan (khususnya dalam kasus Indonesia) terlihat amat kurang. Beberapa persoalan mungkin dapat dikemukakan di sini.

Pertama, perhatian umat Islam terhadap politik terlalu besar dan kurang diimbangi dengan pembinaan gagasan secara kokoh. Banyak melihat bahwa kejayaan Islam akan hadir apabila kekuaaan politik berhasil direbut. Karenanya pandangan-pandangan mengenai kebudayaan sangat kurang diperhatikan, karena tidak dianggap penting untuk menjayakan Islam. Tidak lebih penting dari politik dalam membangun umat. 

Kedua, “keterputusan” umat Islam di Indonesia dengan sejarahnya sendiri. Narasi kaum modernis terhadap ummat Islam di Indonesia menyeolah-olahkan kita hadir begitu saja di awal abad ke-20 tanpa terkait sama sekali dengan abad-abad sebelumnya. Akar keindonesiaan umat Islam seperti baru berkecambah di awal abad ke-20 itu, dan tidak berhubungan dengan tradisi panjang Islam di kepulauan Melayu-Nusantara ini. 

Ketiga, sekularisasi yang amat panjang terhadap umat ini, membuat persoalan-persoalan kebudayaan terlihat sebagai bukan persoalan agama, melainkan persoalan umum. Pandangan-pandangan ummat terhadap banyak hal cenderung berorientasi pada fikih, pembahasan mengenai filsafat, sejarah, sastra dan anasir-anasir kebudayaan lain masih sangat kurang. Dalam hal terkandung persoalan epistemologis yang amat akut.

Semoga pembacaan atas tiga buku di atas mendorong kita untuk lebih tekun memperhatikan persoalan kebudayaan kita.