Kisah Angkatan '66
Bagikan

Kisah Angkatan '66

Foto yang diolah dari sampul majalah "Panji Masyarakat" edisi 11, Maret 1967 /Dzulqaidah 1386 ini memperlihatkan besarnya harapan umat Islam ketika itu kepada Orde Baru dan juga angkatan '66.

Pada 20 Oktober 2017 lalu, beberapa kelompok mahasiswa menggelar demo menyikapi 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK. Selain mahasiswa, massa yang berasal dari buruh juga turut melakukan unjuk rasa dengan tema yang serupa. Dalam demo tersebut, sembilan orang mahasiswa diamankan oleh polisi karena dinilai melakukan perusakan.

Dalam perjalanan negeri ini, demo seperti di atas mungkin sudah ribuan kali terjadi. Mahasiswa atau kaum muda turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi bukanlah hal yang aneh di negara demokrasi seperti Indonesia. Setidaknya ada dua aksi demonstrasi mahasiswa yang akan terus dikenang oleh bangsa Indonesia, yaitu ketika reformasi 1998 dan aksi Tritura 1966. Kedua aksi tersebut dinilai berhasil menumbangkan rezim Orde Baru dan Orde Lama.

Cerita Foto kali ini menampilkan sampul majalah Panji Masyarakat Edisi 11, Maret 1967/Dzulqaidah 1386, kira-kira setahun setelah angkatan ’66 lahir. Angkatan ‘66 adalah sebutan untuk para mahasiswa yang melakukan dan menggerakkan aksi massa beberapa bulan setelah Gestapu. Mahasiswa-mahasiswa ini bekerja sama dengan ABRI untuk mengembalikan kondisi Indonesia yang sedang dalam keadaan karut-marut. 

Sejak awal Januari, para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, KAPI, dsb. telah melakukan aksi unjuk rasa dan mengajukan tuntutan mereka kepada pemerintah. Ada tiga tuntutan utama yang mereka ajukan, yaitu bubarkan PKI, rombak kabinnet dan bersihkan dari unsur-unsur PKI, serta turunkan harga. Tiga tuntutan ini dikenal dengan nama Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Empat bulan setelah peristiwa Gestapu, belum ada tindakan yang tegas dari pemerintah untuk menangani masalah ini. Pemerintah justru mengeluarkan uang rupiah baru dan menaikkan harga minyak bumi dan bahan bakar melalui Surat Keputusan No. 216/M/Migas/66. Harga bensin naik empat kali lipat, ongkos pos dan telekomunikasi naik sepuluh kali lipat, dan tarif kereta api naik lima kali lipat.


Pada 24 Februari 1966, tepat di hari pelantikan Kabinet Dwikora, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa, yang menimbulkan dua orang korban jiwa, Arief Rahman Hakim (mahasiswa Fakultas Kedokteran UI) dan seorang gadis cilik bernama Zubaedah.

Dari angkatan ’66 ini, lahirlah nama-nama seperti Cosmas Batubara, Abdul Gafur, Fahmi Idris, dsb. Para mahasiswa yang berperan penting dalam aksi-aksi massa ini kemudian berkontribusi sebagai menteri di masa Orde Baru. Cosmas Batubara, mahasiswa Universitas Indonesia yang juga Ketua Presidium Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ketua Presidium KAMI Pusat yang ketika itu bertindak sebagai pemimpin para mahasiswa, kelak di masa Orba sempat menjadi Menteri Tenaga Kerja Indonesia dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Indonesia. Abdul Gafur, anggota HMI dan Ketua Presidium KAMI Universitas Indonesia, menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Fahmi Idris, pimpinan HMI yang juga menjadi Ketua Senat FE UI (1965-1966), menjadi Menteri Perindustrian Indonesia dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia ke-19. Selain itu, ia juga menjabat sebagai menteri di masa Reformasi, yaitu sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia di masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono.

Kisah Angkatan 66 (dan juga aktivis Reformasi) yang di masa selanjutnya turut memperkuat sistem, sering menjadi anekdot dan bahan ironi di masyarakat kita. Di masa muda jadi aktivis, setelah menjadi pejabat di demo aktivis generasi selanjutnya. Hal ini pula yang kerap menghasilkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap gerakan mahasiswa. Anak-anak muda yang tampak idealis dipandang sebagai orang-orang yang memang belum kenal enaknya uang dan jabatan. Postulat bahwa mahasiswa hanya idealis hanya di saat muda (dan kemudian idealisme itu luntur setelah "jadi orang"), tentu tidak selamanya benar. Meski ada beberapa aktivis yang nampak demikian, tidak berarti semua aktivis mahasiswa seperti itu. 

Catatan lain yang penting ialah cara kita bersikap terhadap sejarah dan masa lalu. Kita tak dapat melihat satu sisi dari sejarah. Misal memandang satu sisi dari Orde Baru dan Orde Lama dengan mengabaikan sisi lainnya. Soekarno, presiden pertama kita, tentu memiliki kelemahan, kekurangan dan kesalahan. Pun dengan Soeharto, presiden kedua kita. Akan tetapi mereka juga ada peran dan kebaikan bagi bangsa ini. Peran-peran dan jasa mereka terhadap bangsa harus kita akui. Menolak, membenci dan merendahkan sedemikian rupa atau memuja-muji seolah mereka tanpa cela ialah sikap yang kurang bijak. Kita harus menghormati dengan penuh khidmat atas jasa dan peran mereka bagi bangsa. Dan pada kekeliruan-kekeliruan yang ada, kita dapat memaafkan tanpa melupakan, mengambil pelajaran agar hal-hal itu tak terulang kembali.

Dengan demikian sejarah bangsa akan bermakna bagi kehidupan kita hari ini. 

Diolah dari:
Christian Wibisono, Aksi-aksi Tritura: Sejarah Demonstrasi Mahasiswa 1966 (Semarang: Pusjarah, 1970).