“… Masalah urbanisasi adalah masalah nasional,“ demikian komentar Ali Sadikin suatu ketika. Mengenai masalah ini pula, menteri dalam negeri pada masa lalu, Amir Machmud, pernah berujar: “Problem urbanisasi memang tengah dipikirkan pemecahannya.†Katanya lagi, “Pemerintah harus bisa menciptakan suatu suasana agar penduduk betah tinggal di daerah asalnya. Karenanya perlu dibangun tempat-tempat rekreasi di desa-desa. Demikian pula elektrifikasi desa.†Ujaran-ujaran ini disampaikan pada tahun 1972 (38 tahun lalu) dan termuat di Majalah Ekspres, 16 Juni tahun itu, pada halaman 20 sampai 21.
Meski pernah diujarkan 38 tahun lalu, bukan berarti masalah ini sudah selesai. Biasanya desa yang disalahkan. Desa dianggap tak mampu membuat ruang pekerjaan dan ruang penghidupan lainnya. Lemah teknologi, lemah sumber daya manusia akibat lemah pendidikan. Semua dituduhkan kepada desa. Desa menjadi kambing hitam urbanisasi.
Kiranya bukan hanya desa yang menjadi kambing hitam. Kota juga bukan kambing putih, karena itu harus pula ditunjuk hidungnya. Orang-orang kota senang menggusur lahan pertanian dan membangun vila sambil memamer-mamerkan kemajuan yang bisa digapai orang-orang kota.
Dan kemudian bermunculan pabrik-pabrik demi memenuhi hasrat gaya hidup orang-orang kota. Tanah persawahan warisan turun-temurun nenek moyang anak desa dibeli paksa dengan harga murah. Orang-orang desa dibujuk rayu oknum aparat pemerintahan dengan janji segala impian kenikmatan kota.
Wajar kalau orang-orang meninggalkan desa. Berbondong-bondong mengangkut mimpi kejayaan ke tanah yang dikira menjanjikan. Tanah lahir ditinggalkan menuju pulau yang disangka surga. Kapal-kapal mengangkut ribuan harapan ke tanah tujuan. Dikira harapan, disangka surga, diterka sebagai tujuan. Sejak dulu hingga kini. Tak usai-usai..,
Sumber: Majalah Ekspres 16 Juni 1972, halaman 21